Santri Gerbang

Bang Sém

PAGI yang cerah. Sambil jalan sehat menikmati matahari pagi, seorang teman melontar isu mutakhir omongan seorang menteri yang memicu kegaduhan.
Sejumlah teman lain merespon. Yang menarik, respon yang mengemuka semuanya negatif. Sama dengan berbagai pendapat dan opini yang mengemuka di media arus utama dan media sosial.

Saya terkekeh, ketika mendengar seorang teman mengulang opini yang merebak di khalayak, kelak di masa depan, sebaiknya Presiden hanya mengangkat mereka yang aqil baligh saja sebagai pembantunya, terutama dalam posisi menteri.

Alasannya masuk akal, hanya mereka yang dewasa secara mental spiritual, pantas dan patut beroleh amanah. Kriterianya ‘kan sudah jelas: dapat dipercaya, berkomitmen kepada kebenaran, cerdas, dan mampu berkomunikasi secara arif dan tak multi tafsir.

Teman yang lain, seorang santri, berkomentar, “Terlalu banyak santri kobong dan asrama yang mempunyai keluasan ilmu, matang dan berintegritas pribadi, tidak gamang kala menyandang kuasa jabatan dengan segala atribusi, serta berjiwa negarawan inklusif, yang pantas menyandang jabatan setingkat menteri. Bukan santri gerbang.”

Saya dan beberapa teman lain terkekeh mendengar istilah santri kobong dan santri gerbang. Sekelebat tampak wajah seorang kyai sepuh pemimpin pesantren di Banten.

Suatu ketika, kyai sepuh yang kini allahyarham, itu bicara dengan saya tentang dua istilah itu. Santri kobong dan asrama, adalah santri yang tekun mempelajari beragam ilmu pengetahuan terkait aqidah, syariah, muamalah, dan akhlak, termasuk ihwal tarikh (sejarah) dan ashabiyah.

BACA JUGA :  Ketika Saya Harus Menghadapi Para Perempuan Cerdas

Ilmuwan Islam, Ibn Khaldun mengupas mendalam ihwal ashabiyah yang bertalian dengan proses pembentukan institusi, jami’iyah, proses keberjayaan dan kehancuran suatu negara, serta soliditas dan solidaritas perkauman.

Ashabiyah dalam skala kecil, misalnya, bertalian dengan konsep perkauman, puak, kelompok dan golongan berdasarkan nasab dan nasib.

Ketidakmampuan mengelola esensi ashabiyah yang dimaksudkan Ibn Khaldun, akhirnya tergelincir menjadi fanatisme golongan dan inklusivisme. Juga membuka celah bagi terjadinya kolusi dan nepotisma buruk.

Santri kobong dengan kedalaman sekaligus keluasan ilmu yang dikaji dan ditelisiknya, mendapatkan pemahaman yang kuat dan intens dari para ustadz, kyai, bahkan syeikh mereka. Karena itu tak mudah terjebak dalam fanatisme golongan.

Akan halnya santri gerbang? He.. he.. inilah santri malas dan bangor yang lebih kerap melipir ke gapura atau gerbang pesantren, mencari celah untuk melanggar norma dan kaidah yang berlaku di dalam pesantren. Lari dari kobong dan merugi, karena abai dengan waktu belajar dan mendalami ilmu. Biasanya, santri gerbang suka serampangan.

Boleh jadi santri gerbang mempunyai bakat cerdas, namun karena kemalasan dan kebangorannya, tak menguasai ilmu yang mesti dipelajari dan ditekuninya, termasuk ilmu tarikh atawa sejarah.

Di tengah masyarakat, perbedaan santri kobong dan santri gerbang jelas dan nyata perbedaannya. Santri kobong cenderung tartil dalam berkomunikasi, sebaliknya, santri gerbang cenderung serampangan.

BACA JUGA :  Manuver Cawapres Tak Kalah Gesit Dengan Capres

Santri kobong selalu memegang prinsip bil hikmah wal mauidzatil hasanah – dengan kearifan dan tata bahasa (narasi dan diksi) yang elok, menyejukkan, dan menghidupkan soliditas dan solidaritas khalayak secara inklusif.

Menghidupkan gairah dan ghirah dalam mencapai persatuan ummah. Mau dan mampu menyampaikan informasi yang benar dengan tujuan yang benar, sekaligus paham siapa dan bagaimana khalayaknya. Mengerti situasi dan kondisi sosiologis khalayak. Apa saja yang dikemukakan menimbulkan kepuasan dan ketenangan jiwa khalayak.

Kalaupun terdapat perbedaan, jalan yang dipilih adalah mujadalah billati hiya ahsan, berdialog, sesuai situasi dan kondisi khalayaknya, tanpa melukai perasaan dan sikap siapa pun.

Santri gerbang, kebalikannya. Bicara dan beraksi dulu, mikir belakangan. Cenderung pongah dan gagah-gagahan karena ilmu tak cukup, gamang menghadapi realitas kehidupan sosial yang tak menentu, kompleks, dan mendua. Biasanya, menganut prinsip ‘lontarkan apa yang mau dilontarkan, ketika keliru dan membuat gaduh, memilih kiat berkilah, ngelés dengan berbagai alasan.

He.. he.. saya terkekeh lagi, ketika teman lain nyeletuk, santri gerbang, pelajaran pertama jadi santri — ihwal thaharah — saja tak tuntas. “Diajarkan pipis sambil jongkok, dia berdiri.. dan pipisnya pun belum lurus.”

Mereka inilah, yang ketika diberi amanah berat merasa beroleh anugerah tinggi, karenanya seringkali ‘takuruang di lua, tarimpik di ateh (terkurung di luar, terhimpit di atas),’ dan kala menjadi petinggi, ibarat ‘pandita ilang komara,’ kehilangan wibawa dan marwah.

BACA JUGA :  Jakarta Menyambut Hari Rabies Sedunia di Ancol

Kita mempunyai banyak santri kobong dengan ilmu yang dalam dan luas, yang dengan ilmu itu mampu menggapai makna yang tersimpan di cakrawala dengan tetap membumi. Mengapa pula kita memberikan kepada santri gerbang untuk memimpin institusi yang berfungsi mengurusi ‘langit dan bumi’ ?

Saya teringat syair dola bololo dari Ternate dan ingin berseru, sagadi no fere gaku, uci sala masalima. (Jangan kamu terlalu tinggi, nanti turunnya salah). Sambil mengingatkan siapa saja petinggi negeri, hikmah dari Madura, jangan bermain-main dengan suatu pernyataan, meskipun lidah ta’ atolang, karena dapat menjadi racun atobba dibi’ – meracuni diri sendiri.

Khalayak, sudah lelah ‘ngakak’ sambil sedih menyaksikan petinggi mengenakan arompi buluna merrak – rompi berbulu merak — atau bangkong dikongkorong kujang – katak berkalung pusaka. Ka cai kundang cameti – pergi ke tempat mandi membawa pecut, ka darat kundang heurap – ke ladang membawa gayung.

Jangan menuding siapapun ‘menggoreng isu’ yang meletik dari ungkap kata tanpa fikir. Bercerminlah di bawah mentari, sambil meminjam sikap hidup urang Banjar, “Bila wani menimbai lunta, wani tu manajuni – Berani melakukan sesuatu, berani juga menanggung dampaknya.” |

Komentar