Oleh: Geisz Chalifah
SEKIAN banyak Gubernur Jakarta datang dan pergi, meninggalkan jejak melalui kebijakan. Umum, formal, dan sering terasa jauh dari kehidupan sehari-hari warganya.
Namun, lima tahun masa Anies Baswedan memimpin Jakarta menghadirkan kisah yang berbeda. Entah berapa puluh kali ia hadir di tengah pernikahan warganya—di gang-gang sempit, kadang becek, yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ia datang menyapa, menghangatkan suasana pesta sederhana, melengkapi keriangan mempelai dan keluarga. Kehadirannya menggirangkan hati banyak orang.
Di hari lain—atau bahkan pada hari yang sama di jam berbeda—Anies mendatangi rumah duka. Menyaksikan keluarga yang kehilangan ayah, ibu, atau orang terkasih. Tak jarang ia ikut mengangkat keranda jenazah, berjalan bersama warga mengantarkan ke pemakaman. Ia hadir, menenangkan hati mereka yang sedang bersedih.
Kehadirannya bukan sekadar dalam bentuk kebijakan di atas kertas. Ia hadir dengan tubuh dan wajahnya. Menyentuh tangan warga, menatap mata mereka, mendatangi rumah-rumah di sudut-sudut Jakarta.
Selama ini, pelaminan di gang sempit maupun kurung batang jenazah di kampung kumuh bukanlah pemandangan yang lazim disinggahi seorang pemimpin, apalagi seorang gubernur.
Namun bagi Anies Baswedan, manusialah yang utama. Ia bukan hanya menyapa, tetapi juga melindungi mereka dari kezaliman yang kerap mengatasnamakan negara.
Kehadiran Anies Baswedan di acara pernikahan warga kebanyakan maupun taziah kepada warga yang sedang berduka, sudah lama dilakukan dari sejak menjadi Rektor Paramadina. Terutama di wilayah tempat tinggalnya.
Kini Anies tak lagi menjadi gubernur, Anies tetap meneruskan kebiasaan lamanya, menghadiri undangan pernikahan warga maupun hadir taziah ke rumah duka. Ikut mensholatkan jenazah dan memakamkan.
Berbagai komentar memenuhi pemberitaan. Jawaban saya bagi yang berkomentar secara negatif. Pendek saja: OD.
