Oleh: Ndoro Kakung
(Penulis Lepas)
BAYANGKAN kita sedang menonton film thriller. Kamera hanya menyorot wajah tokoh utama yang tersenyum di tengah kobaran api. Tanpa penjelasan, tanpa konteks.
Kita tentu akan berspekulasi: apakah dia pelaku? Apakah dia gila? Apakah dia…tak peduli?
Begitulah yang kita rasakan saat mendengar jawaban seorang juru bicara yang dipotong oleh media dan viral hanya karena satu kalimat: “udah dimasak aja.”
Pernyataan itu muncul saat ia menanggapi pertanyaan wartawan mengenai insiden pengiriman kepala babi ke kantor sebuah mediaโbentuk teror simbolik yang bisa mengganggu ruang kebebasan pers.
Alih-alih dimuat utuh, hanya potongan paling โmenggigitโ yang dipilih: sepenggal kalimat yang, bila dipisahkan dari tubuh narasi aslinya, terdengar seperti olok-olok terhadap intimidasi serius.
Lalu publik murka. Judul-judul berita sensasional bermunculan. Komentar di media sosial menyerbu seperti badai. Dalam sekejap, juru bicara itu bukan lagi komunikator publik. Ia menjadi meme, musuh, bahan cercaan.
๐๐ฟ๐ฎ๐บ๐ถ๐ป๐ด pun bekerja seperti kamera yang cuma memilih sisi gelap seseorang dalam cahaya temaram.
๐๐ฝ๐ฎ ๐ถ๐๐ ๐ณ๐ฟ๐ฎ๐บ๐ถ๐ป๐ด?
๐๐ฟ๐ฎ๐บ๐ถ๐ป๐ด adalah cara media membingkai realitas, menyusun potongan-potongan informasi dalam sudut pandang tertentu, hingga audiens melihat dunia dari jendela yang telah dipoles.
Bukan bohong. Tapi juga bukan sesuatu yang utuh.
Bayangkan fakta seperti cahaya putih. Media bisa memasang filter biru, merah, atau hitam. Warna yang sampai ke mata kita bukan cahaya aslinyaโtapi hasil olahan.
Di sinilah ๐๐ง๐๐ข๐๐ฃ๐ bekerja. Ia tak memalsukan peristiwa, tapi mengatur bagaimana peristiwa itu dicerna.
๐ ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ฝ๐ฎ ๐ ๐ฒ๐ฑ๐ถ๐ฎ ๐ ๐ฒ๐น๐ฎ๐ธ๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ฟ๐ฎ๐บ๐ถ๐ป๐ด?
Seperti koki yang tahu bumbu apa yang bikin orang ketagihan, media tahu bahwa rasa yang kuatโbaik itu marah, takut, haru, atau kagumโadalah kunci atensi. Dalam dunia yang penuh tab baru dan scroll tak berujung, berita yang โbiasa-biasa sajaโ akan tenggelam seperti batu di sungai arus deras.
๐๐ฟ๐ฎ๐บ๐ถ๐ป๐ด adalah strategi bertahan media:
โข ๐๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ถ๐ข๐ญ ๐ค๐ฆ๐ณ๐ช๐ต๐ข.
โข ๐๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ต๐ข๐ฉ๐ข๐ฏ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ญ๐ช๐ฌ.
โข ๐๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ซ๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐ช๐ข ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ท๐ฆ๐ณ๐ด๐ช ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข โ๐ฅ๐ช๐ซ๐ถ๐ข๐ญ.โ
Kadang untuk alasan ideologis, kadang murni karena strategi pasar. Tapi hasilnya sama: realitas yang dikurasi, bukan direkam.
๐๐ฟ๐ฎ๐บ๐ถ๐ป๐ด bisa membuat publik marah kepada orang yang salah. Seperti kaca cembung di taman sirkus: apa yang tampak besar, belum tentu penting. Apa yang tampak kecil, bisa jadi sangat mendesak.
๐ ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ฐ๐ฎ ๐ ๐ฒ๐ฑ๐ถ๐ฎ ๐ฑ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐ฐ๐ฎ๐บ๐ฎ๐๐ฎ ๐๐ฟ๐ถ๐๐ถ๐
Masyarakat hari ini perlu lebih dari sekadar mata. Kita butuh kacamata kritis.
โข ๐๐ฆ๐ญ๐ข๐ญ๐ถ ๐ต๐ข๐ฏ๐บ๐ข: โ๐๐ฑ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฅ๐ช๐ฌ๐ข๐ต๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ช๐ต๐ข ๐ช๐ฏ๐ช?โ
โข โ๐๐ฆ๐ฏ๐ข๐ฑ๐ข ๐ฏ๐ข๐ณ๐ข๐ด๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ฆ๐ณ ๐ช๐ฏ๐ช ๐ฅ๐ช๐ฑ๐ช๐ญ๐ช๐ฉ?โ
โข โ๐๐ฑ๐ข๐ฌ๐ข๐ฉ ๐ซ๐ถ๐ฅ๐ถ๐ญ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ช๐ด๐ช ๐ฌ๐ฐ๐ฏ๐ด๐ช๐ด๐ต๐ฆ๐ฏ?โ
โข โ๐๐ช๐ข๐ฑ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ญ๐ช๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฅ๐ช๐ข ๐ช๐ฏ๐ช ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข?โ
Karena berita bukan jendela yang bening, tapi cermin dua arah: kita melihat ke luar, tapi media juga bisa melihat balik dan mengarahkan cara kita berpikir.
๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ท๐ฎ๐ฟ ๐ฑ๐ฎ๐ฟ๐ถ ๐๐ฎ๐๐๐ ๐๐๐ฟ๐ ๐๐ถ๐ฐ๐ฎ๐ฟ๐ฎ
Pernyataan sang juru bicara bukanlah karya seni modern yang boleh ditafsir sesuka hati. Ia adalah respons terhadap teror yang serius, yang seharusnya kita hadapi bersama. Tapi karena ๐๐ง๐๐ข๐๐ฃ๐, publik lebih sibuk menyerang si jubir daripada mencari siapa pengirim kepala babi itu.
Di era banjir informasi, yang dibutuhkan bukan hanya kecepatan baca, tapi kedalaman cerna.
Media boleh bingkai, tapi masyarakat harus tahu: di balik bingkai ada realitas yang lebih luas. Jangan sampai publik ikut menghakimi hanya karena terjebak dalam bingkai yang sempit. |โขโข
Komentar