TILIK.ID — Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengajak masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk bergerak mengkritisi revisi kedua atas UU ITE. Revisi UU No 11 Tahun 2008 itu tetap mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.
“Revisi kedua itu tidak memberikan perubahan signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman kemerdekaan pers,” kata Ninik Rahayu dalam siaran persnya Jumat (8/12/2023).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik itu direvisi untuk kali kedua. DPR dan pemerintah sudah menyetujui untuk disahkan menjadi UU pada 6 Desember 2023 yang lalu.
Namun menurut Dewan Pers, revisi itu justru mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.
“Dewan Pers menyerukan segenap komunitas pers pada khususnya dan berbagai pihak yang potensial terdampak pada umumnya untuk mengambil langkah konkret bersama-sama mencegah terjadinya kriminalisasi pers,” kata Ninik Rahayu.
Ninik menjelaskan, ancaman-ancaman terhadap kemerdekaan pers itu ada pad Pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan/fitnah dan/atau pencemaran nama baik.
Juga datang dari Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran pemberitahuan bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
“Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar,” kata Ninik.
Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut, kata Ninik, mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP. Padahal produk hukum warisan kolonial itu sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan putusan MK.
Kemudian, Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1) pada revisi kedua atas UU ITE berpotensi mengebiri pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik (di internet) terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian.
“Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam revisi kedua atas UU ITE ini,” terang Ninik.
Pasal-pasal itu, kata Ninik, secara tidak langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers, yang pada akhirnya akan menciderai upaya mewujudkan negara demokratis.
Dewan Pers juga menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sedangkan implementasi UU ITE sudah diatur dalam Pedoman Implementasi Undang-Undang ITE Nomor 229 Tahun 2021 berdasarkan Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri.
“Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai lex spesialis, bukan UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers,” katanya.
Namun demikian, ujar Ninik Rahayu, Pedoman No. 229/2021 akan menemui tantangan berat karena norma hukum yang memayunginya justru membuka celah penafsiran yang membelenggu kemerdekaan pers.
Di sisi lain, dalam proses legislasi revisi kedua UU ITE, Dewan Pers menilai tidak ada transparansi dan keterbukaan untuk melibatkan partisipasi publik secara luas, terutama untuk mendengarkan berbagai masukan dari stakeholder yang berpotensi terdampak.
Hal ini menunjukkan ketidakseriusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk menjalankan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022.
“Bahkan naskah revisi kedua atas UU ITE yang baru disahkan oleh DPR dan Pemerintah juga sulit diperoleh,” kata Ninik.
Oleh karena itu, Dewan Pers mengajak masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk bergerak mengkritisi revisi kedua atas UU ITE tersebut. | • tis
Komentar