TILIK.ID — Masalah dan kebebasn pers kembali didiskusikan. Kali ini dilaksanakan oleh Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jakarta. Diskusi digelar di Petra Restaurant, kawasan Blok M, Jakarta Selaran, Jumat sore (18/8/2023).
Hadir sebagai narasumber Jus Soema Dipraja dan sambutan Ketua Umum JMSI Pusat Teguh Santoso serta Ketua JMSI Jakarta Fahd Pahdepie.
Teguh Santosa dalam sambutannya kembali menggugah posisinl dan peran pers di masa sekarang ini. Bahwa penting memberikan ruang yang luas untuk bertukar gagasan memperbaiki keadaan.
Hal itu disampaikan Teguh menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta diskusi mengenai apa yang harus dilakukan JMSI untuk memperbaiki nasib puluhan juta rakyat Indonesia yang masih berada di garis dan di bawah garis kemiskinan.
“Yang bisa dilakukan JMSI adalah mendorong anggota-anggotanya, yang adalah perusahaan pers, untuk memberikan ruang yang cukup, pertama bagi (pemberitaan) kondisi yang betul-betul dialami masyarakat. Kedua, bagi pertukaran gagasan yang positif,” ujar Teguh Santosa yang juga pendiri Kantor Berita Politik RMOL.
Menurutnya, hal ini perlu dilakukan agar dalam kompetisi politik nanti yang diperbincangkan dan yang dipercakapkan di ruang publik, terutama di ruang publik digital, adalah gagasan-gagasan dan program-program kerja. Bukan pernyataan-pernyataan yang emosional dan statement-statement yang menyerang personal.
“Saya kira itu yang perlu disampaikan JMSI dalam konteks membantu publik untuk mendapatkan buah pikiran terbaik yang itu nanti bisa dihadirkan di hadapan masyarakat sehingga pemilih nanti mendapat semacam guidance,” kata Teguh.
Dia mengatakan, tidak mungkin JMSI mengeluarkan keputusan yang isinya mendukung partai politik peserta pemilu, calon anggota legislatif, apalagi calon presiden.
“Jadi, cuma imbauan saja agar diperluas ruang bagi realitas dan ruang berbagi gagasan,” katanya.
Di tempat yang sama, wartawan tiga zaman Jus Soema Dipraja mengungkapkan, sejatinya hampir semua pemerintahan di Indonesia membelenggu kebebasan pers.
“Kecuali Habibie, yang meniadakan aturan soal keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), aturan yang benar-benar mencengkeraman kebebasan pers di masa Orde Baru,” kata Jus pada diskusi bertajuk “Pers Indonesia: Dulu, Kini dan Masa Depan” itu.
Jus mengatakan, sebagai órang lama’ ia merasakan ada paradoks pada situasi pers saat ini. Awak pers, menurutnya, terkesan gampang menyerah dan kehilangan elan untuk menegakkan wibawanya sendiri.
Berbeda dengan masa lalu, tampaknya awak pers era kini tidak lagi melihat dirinya sebagai pejuang kebebasan berbicara di dan untuk masyarakat. Ia mencontohkan peristiwa demo 212 yang hampir tidak diliput pers arus utama.
“Itu peristiwa besar, ratusan ribu, bahkan jutaan warga turun ke jalan, dan tak ada pers mainstream yang memberitakan. Ini gejala apa?” tanya Jus.
Kepada hadirin yang sebagian mewakili insan pers Indonesia, di bagian akhir pemaparannya Jus meminta insan pers untuk sadar dengan tugas utamanya, yakni penyuara kebenaran dan keadilan. “Itu ‘amanat’ saya sebagai senior kalian,” katanya sembari tertawa. (lim)
Komentar