Tawaran Membaca Indonesia sebagai Keruwetan

TILIK.ID — | Risa Permanadeli, Pendiri dan Direktur Pusat Representasi Sosial yang juga anggota Laboratoire Eropa de la Psyhology Sociale, dari Maison des Sciences de l’ Homme, Paris, memnyampaikan tawaran untuk membaca Indonesia sebagai sebuah keruwetan.

Tawaran itu hanyalah satu cara untuk membangunkan kita semua bahwa kita masih memiliki peluang untuk keluar dan mengakhiri keruwetan dengan cara elegan, bermartabat, dan tanpa mengorbankan mimpi yang pernah kita bangun bersama.

Pengajar di Universitas Indonesia yang meraih gelar doktor di Psikologi Sosial dari École des Hautes en Sciences Sociales, Paris, itu mengemukakannya ketika menyampaikan Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana, di Teater Kecil – Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki, Senin (24.07.23) petang.

Kuliah Kenangan STA – AJ yang disampaikan Risa, bertajuk, “Menaksir Kemandirian Pikiran untuk Menemukan Haluan.”

Risa menyampaikan tawaran tersebut, karena tahun 2023 merupakan tahun penting untuk kita.

“Bukan hanya karena tahun depan kita akan menyongsong peristiwa besar yang akan menentukan nasib kita bersama. Tetapi juga karena 25 tahun yang silam, kita pernah mengoyak sebuah tirani pikiran tentang menjadi Indonesia, untuk memilih menjadi Indonesia yang lain. 25 tahun berlalu, dan kita semua berada pada titik yang sama: keruwetan!” ungkapnya.

“Saya mengajak kepada kita semua untuk menakar kembali keberanian untuk menemukan haluan baru dan memutus keruwetan,” serunya kemudian..

BACA JUGA :  UMA Takziah Virtual untuk Awad Bahasoan, Ibu Arfah Nasution dan Muchlis Rantoni

Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) – Akademi Jakarta, kali ini tentang kemandirian pikiran. Terkait dengan program tersebut, sebelumnya di lobi Teater Kecil, digelar pameran dan diskusi “Daya Ubah Seni.” Dua program yang berlangsung paralel dan diberi tajuk, “Terobos: Daya Ubah Seni dan Kemandirian Pikiran.”

Terobos

Mengantar kedua program sehari tersebut, Ketua AJ, Seno Gumira Ajidarma mengemukakan, “Berbeda dengan pandangan tentang seni yang sering keliru, seni itu tidaklah mesti eksklusif, mahal, elitis, sulit dimengerti, dan apalagi terasing dari masyarakatnya sendiri.”

Kesan seperti ini, menurut Seno, terlalu mudah mengundang pemikiran, betapa dana besar yang digelontorkan atas nama kebudayaan adalah sesuatu yang mubazir.

Menurut Seno, dalam kesempatan untuk menghadirkan Komunitas eks-Bioskop Dian, Ruang Reda, Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi, dan Imah Budaya Cigondewah ini, diperkenalkan pendekatan seni yang terjelma langsung dari kehidupan sehari-hari.

Empat komunitas tersebut berbasis di Bandung. Sebagian mereka merupakan warga kota, ibu rumah tangga, dan anak-anak. Mereka menggunakan seni sebagai media utama untuk menerjemahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi, mengarsipkan ingatan, sebagai proses healing, saling belajar, maupun sebagai pengikat untuk kesadaran kebersamaan.

“Itulah seni yang murah sekaligus vital bagaikan udara,” ungkap Seno. Seni yang menerjemahkan persoalan di depan mata, seperti wilayah domestik; memanfaatkan ruang mangkrak, sehingga yang terlantar menjadi gelanggang kebudayaan; mengarsipkan ingatan, agar masa lalu sungguh menjadi pelajaran; dan memberdayakan seni sampai mengubah, karena krisis lingkungan hidup tak layak direlakan menjadi kehancuran.

BACA JUGA :  Geisz Chalifah, Berjuanglah Terus Demi Orang-Orang Kecil

Diskusi yang terkait dengan pameran tersebut, menghadirkan para nara sumber, masing-masing Wahyu Dian (Komunitas Bekas Bioskop Dian); Ami Juandi Husin dan Ima Rochmawati (Komunitas Ruang Jeda); Meita Meilita (Komunitas Imah Budaya Cigondewah); Susentono Tono dan Deden Sambas (Komunitas Olah Seni Babakan Siliwangi). Anggota AJ, Tisna Sanjaya, memandu diskusi ini sebagai moderator. Pameran dan diskusi berlangsung dari pukul 10.00 sampai pukul 14.00.

Pada Kuliah Kenangan ini, menurut Seno, selain dijaga semangat pemikiran STA, bahwa kunci kemajuan bangsa Indonesia adalah keterbukaan, digarisbawahi konsekuensi menjadi Indonesia itu sendiri, sebagai pembongkaran atas nasib kesejarahan bersama, demi suatu haluan berbudaya dalam pengertian seluas-luasnya.
Keruwetan

Kuliah Kenangan STA, merupakan program AJ untuk pengembangan pemikiran kritis sebagai respon atas persoalan-persoalan di sekitar kita. Menggunakan nama Sutan Takdir Alisjahbana, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya di bidang bahasa, budaya, sastra, seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Berorientasi terciptanya masyarakat Indonesia yang terbuka ke masadepan.

Pada bagian lain kuliah yang disampaikannya, Risa mengemukakan, mungkin kita harus bersedia menengok kembali hal yang paling dasar dari pikiran tentang bersekolah bagi sebuah negara. Membuat warga negara menjadi pintar; Mengentaskan kebodohan; Menjaga kesadaran bahwa kesejahteraan bersama hanya mungkin dicapai dengan kecerdasan; Menyelesaikan masalah dengan mengembangkan pengetahuan tentang masalah itu sendiri (untuk tidak mengatakan mengambil penyelesaian yang berasal dari buku dan teori yang tidak terhubung dengan kenyaan sendiri)!.

BACA JUGA :  Maknai Hari Raya Natal, Anies Gaungkan Semangat Trilogi Pembangunan Agama

“Bangku sekolah, bagaimanapun, adalah tempat paling strategis untuk menyemai pikiran tersebut, dan kehidupan nyata harus menjadi laboratorium nyata yang memungkinkan penyemaian tersebut tumbuh menjadi common-sense baru yang akan selalu mengingatkan kita pada mimpi STA, Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara dan para pendahulu yang pernah menyemaikan mimpi baik tentang Indonesia.

Risa berpendapat, tahun 2023 adalah tahun penting untuk kita. Bukan hanya karena tahun depan kita akan menyongsong peristiwa besar yang akan menentukan nasib kita bersama. Tetapi juga karena 25 tahun yang silam, kita pernah mengoyak sebuah tirani pikiran tentang menjadi Indonesia, untuk memilih menjadi Indonesia yang lain. 25 tahun berlalu, dan kita semua berada pada titik yang sama: keruwetan!

Tawaran untuk membaca Indonesia sebagai sebuah keruwetan, hanyalah satu cara untuk membangunkan kita, bahwa kita masih memiliki peluang untuk keluar dan mengakhiri keruwetan dengan cara elegan, bermartabat, dan tanpa mengorbankan mimpi yang pernah kita bangun bersama.

Risa mengajak kepada kita semua (khalayak, warga bangsa Indonesia) untuk menakar kembali keberanian menemukan haluan baru dan memutus keruwetan. | din

Komentar