Oleh: Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research — IDR)
PERKEMBANGAN politik nasional akhir-akhir ini mulai menunjukkan polarisasi yang tidak sehat. Polarisasi itu dipromotori justru oleh Presiden Jokowi sendiri. Tentu saja setiap presiden menginginkan agar penggantinya dapat meneruskan pembangunan dengan baik. Dan tentu saja pada saat yang sama pengganti seorang presiden selalu berjanji untuk memperbaiki keadaan negara dari kondisi yang ada saat ini.
Perkembangan demokrasi akan baik jika negara dalam hal ini presiden mengambil sikap yang netral dan terpuji dalam setiap tahapan politik dan suksesi kepemimpinan nasional di negeri ini. Kecerobohan seorang presiden yang sekaligus seorang kepala negara dalam ikut menjadi tim sukses salah satu kandidat presiden tertentu hanya akan merusak tatanan demokrasi. Apa yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh Presiden Jokowi yang terlibat secara aktif dan terbuka di ruang publik adalah contoh paling buruk dalam sejarah demokrasi di negeri ini. Perlakuan Jokowi yang sejatinya kepala negara sesungguhnya menunjukkan sikap-sikap yang jauh sekali dari seharusnya ditunjukkan oleh seorang kepala negara.
Dalam sistem presidensial yang kita anut, seorang presiden Indonesia itu pada dirinya akan melekat dua atribut penting kenegaraan yaitu di samping seorang kepala negara juga seorang kepala pemerintahan. Adalah sangat tidak elok jika seorang presiden ikut serta aktif menentukan siapa calon presiden penggantinya.
Sikap cawe-cawe atau ikut campur secara terbuka dalam pertarungan politik sebagaimana ditunjukkan oleh Presiden Jokowi adalah bentuk minimnya sikap kenegarawan yang sedianya menjadi pengayom semua pihak. Praktik ini sungguh memalukan Presiden Jokowi sendiri, seolah dia tidak memiliki etika publik yang baik sebagai pemimpin nasional. Sikap memaksakan kehendak atas seorang kandidat tertentu dan berusaha secara terbuka untuk menolak kandidat yang lain, merupakan contoh yang merusak kehidupan politik demokrasi di negeri ini.
Sepanjang sejarah politik di Indonesia ini, belum pernah ada seorang presiden Indonesia yang mengambil sikap terbuka dan norak seperti yang ditunjukkan Presiden Jokowi. Hal ini tentu sangat meresahkan kita semua sebagai anak bangsa yang telah memilih jalan demokrasi sebagai pilihan strategi politik suksesi kepemimpinan nasional kita.
Namun yang menarik dibahas adalah mengapa presiden Jokowi menempuh jalan yang terbuka dalam mendukung kandidat tertentu. Pertama, Presiden Jokowi secara psikologis memiliki kekhawatiran yang sangat dalam karena selama ini rezimnya memiliki banyak masalah, mulai masa depan proyek-proyek pembangunan yang dijalankan secara serampangan tanpa prioritas telah menimbulkan praktik korupsi, manipulasi dan utang yang sangat besar. Realitas tersebut menimbulkan ketakutan, jangan sampai presiden penggantinya nanti akan mempersoalkan masalah tersebut secara hukum.
Kedua, proyek proyek gigantisme seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, proyek kereta cepat, bandara yang mangkrak, bendungan, yang ditengarai. mengandung banyak masalah, sangat potensial diproses secara hukum. Tentu saja sebagaimana layaknya pembangunan infrastruktur yang tidak mengindahkan kapasitas dan kemampuan keuangan negara serta cenderung melanggar hukum akan menyeret dirinya secara hukum. Oleh karena itu, untuk menutup semua itu Presiden Jokowi berusaha keras memastikan penggantinya tidak akan mempersoalkan berbagai masalah tersebut.
Ketiga, kecenderungan Presiden Jokowi yang menyeret lembaga kepolisian sebagai alat politik telah membawa banyak masalah dalam masyarakat. Kepolisian divbawah pemerintahan Jokowi dilihat oleh banyak kalangan sudah tidak lagi bersikap profesional dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya di tengah-tengah masyarakat. Polisi lebih banyak menjalankan fungsi-fungsi politik kepentingan presiden Jokowi. Hal ini terlihat dari pengangkatan pejabat-pejabat kepolisian aktif sebagai pejabat ditempat dimana posisi itu tidak sepantasnya diduduki oleh anggota polisi. Tentu saja kebijakan tersebut telah merusak tradisi birokrasi profesional yang selalu menjadi menginginkan prinsip meritokrasi yang baik. Setidaknya ada dua akibat buruk yang lahir dari kebijakan tersebut. Pertama, penunjukan polisi aktif tersebut telah meniadakan prinsip profesionalitas dalam tata kelola pemerintahan.
Kedua, kebijakan menjadikan polisi sebagai alat politik, hanya akan merusak polisi dari tugas pokoknya.
Kebijakan yang mendorong polisi memasuki birokrasi hanya akan membuat bangsa ini kembali ke masa Orde Baru yang menjadikan tentara melaksanakan Dwi Fungsinya. Namun di zaman Jokowi telah mendorong polisi menjalankan Multi Fungsi. Tentu saja praktik seperti itu merupakan pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan akan semakin menjauh dari cita-cita nasional kita sebagai bangsa. Hal yang tak pernah dirasakan adalah efek negatif massifnya praktik multi fungsi polisi adalah munculnya keresahan dan kecemburuan tentara pada polisi. Misalnya soal keluhan yang sering muncul sebagai bahan guyonan adalah, kalau tentara hanya gajian setiap bulan, sedang polisi gajian setiap hari. Efek lanjut dari kebijakan tersebut misalnya, seringnya muncul kasus bentrok polisi dengan Tentara.
Memahami Keresahan Tentara
Tentara sebagai kekuatan inti pertahanan negara tentu akan selalu melihat segala kemungkinan munculnya fenomena instabilitas negara dari Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG). Tentara akan selalu memantau perkembangan situasi keamanan negara dari segala kemungkinan. Naluri Tentara itu membutuhkan kecepatan bertindak dan mengambil keputusan demi menjaga keamanan negara. Jika ada situasi tang membahayakan negara maka Tentara sebagai alat pertahanan negara harus bertindak cepat dan tepat. Tentara tidak mungkin bersikap lambat dan bertele telah dalam urusan mengamankan negara. Bahkan demi keselamatan negara seorang tentara rela berani mati untuk negaranya.
Melihat praktik politik pemerintahan Jokowi yang penuh ketidakpastian dan cenderung membahayakan negara tentu saja sangat mengusik naluri ketentaraan para prajurit TNI. Oleh karena itu, peringatan Pangdam III Siliwangi Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo yang disampaikan melalui artikelnya di media online kompas.com sangatlah beralasan dan dimaklumi. Jenderal Kunto yang juga anak mantan Wakil Presiden Tri sutrisno itu dengan gagah berani mengingatkan para politisi sipil agar memperhatikan cara berkomunikasi mereka agar tidak menimbulkan keresahan, polarisasi, dan benturan sosial yang akan mengancam pertahanan negara. Bahkan Kunto memberikan peringatan awal jika keadaan memburuk, maka tentara sebagai kekuatan inti pertahanan negara akan bergerak lebih maju demikian keamanan negara.
Peringatan Jenderal Kunto ini mesti dibaca sebagai keresahan Tentara secara umum. Mengapa demikian? Karena Tentara Nsional Indonesia (TNI) memiliki sifat dan garis komando yang jelas dan bersifat hirarkis. Apa yang disampaikan Jenderal Kunto itu meski melalui artikel di Kompas tersebut tentu saja sudah didiskusikan dengan Panglima TNI sebagai pemangku kekuasaan tertinggi di tubuh TNI.
Ada beberapa pertimbangan mengapa disampaikan melalui artikel. Pertama agar pernyataan tersebut lebih terukur dan tidak menimbulkan multi tafsir yang justru akan melahirkan kegaduhan yang tidak perlu.
Kedua, disampaikan oleh seorang Pangdam agar kelak ketika ada kesalahan masih memiliki peluang bagi Panglima TNI untuk melakukan klarifikasi seperlunya. Nampaknya, itulah kebijakan manajemen isu yang patut diacungi jempol ditubuh TNI.
Oleh karena itu, sebagai kekuatan yang sangat memahami dan terlatih dalam melihat kondisi keamanan negara, maka pasangan kandidat yang tepat dalam mengelola negara Indonesia yang bersifat mudah dipecah belah itu sebaiknya mengindahkan kombinasi kepemimpinan nasional yang merupakan kekuatan tokoh sipil dengan tokoh yang berlatar belakang militer. Dengan demikian, kepemimpinan nasional akan semakin demokratis, dan pada saat yang sama dapat menjamin stabilitas keamanan negara yang didambakan seluruh bangsa Indonesia.
Komentar