KAMIS sore saya menghadiri undangan buka puasa di seputaran SCBD.
Menembus kemacetan yang memang selalunya luar biasa di bulan Ramadhan menjelang magrib.
Dua perempuan sosialita mengajak buka puasa bersama. Satunya bernama Retno Purwaningsih, pofesinya lawyer papan atas. Kliennya tentu saja perusahaan-perusahaan besar. Dan yang satunya lagi bernama Dewi Asaad, alumni universitas ternama di Australia jurusan Arsitek.
Setelah bergelut lama di majalah Fashion, kini dia rajin menghadiri undangan seminar di dunia internasional. Maret bulan lalu terbang ke San Francisco menghadiri undangan untuk memberi materi tentang Ekraf Indonesia.
Dewi dan Retno dua perempuan berbeda karakter. Retno suka “perang”, dalam arti menikmati pertarungan saya melawan buzzer di medsos sambil mentertawai situasi semacam itu, yang dia paham hanya terjadi di sosial media.
Bahasa-bahasa sarkasme otak dikit, liberal udik dsbnya yang selama bertahun-tahun dia tak pernah mendengar ucapan semacam itu secara langsung keluar dari mulut saya.
Namun bagi Dewi Asaad sudah dari tahun lalu selalunya protes keras. Dia tak suka bila saya sedang menghadapi para buzzer terutama di Twitter.
Banyak hal kami bicarakan, tentu saja tentang perkembangan pekerjaan masing-masing yang sedang digeluti.
Saling meledek satu sama lain terlebih bila menyangkut kekonyolan yang bersifat personal.
Di ujung pembicaraan Dewi kembali meminta agar saya tidak melayani pernyataan-pernyataan para buzzer di medsos, karena menurut Dewi itu bukan saya yang seaslinya yang dia kenal selama ini.
Menurut Dewi dia bosan menerangkan kepada teman-temannya bahwa: Aslinya tak seperti itu dan sebagainya.
Tentu saja menghadapi perempuan tak harus banyak membela diri karena bagaimanapun Dewi tentu lebih halus dalam mengungkapkan kemarahan di sosial media. Tak suka dengan ungkapan yang terlalu lugas.
“Bicaralah di medsos seperti Geisz Chalifah yang aku kenal senyatanya karena di medsos itu ga banget,” begitu katanya.
Saya mengiyakan yang diutarakan, sambil membayangkan harus banyak-banyak kembali menulis kisah-kisah kemanusiaan, yang dulu sering kami lakukan dalam mengerjakan proyek-proyek sosial secara bersama.
Malam mulai larut tawa renyah harus berhenti, tapi harapan perubahan terhadap negeri tak ikut berhenti. Mereka berdua titipkan harapan: Amanah perubahan kepada Anies Baswedan calon pemimpin masa depan.
Komentar