Duka Sepak Bola dan Duka Palestina


Oleh: Syahrir ‘Acil’ Lantoni

SEPAK bola Indonesia menangis. Kesempatan langka tampil di ajang terakbar sejagad itu pupus sudah. FIFA menghapus Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, Rabu malam WIB.

Tiada kebanggaan pesepakbola kecuali bermain di Piala Dunia, meski hanya kelompok umur. Tidak akan ada lagi kesempatan sebaik ini jika tidak menjadi tuan rumah. Karena pembatalan itu akan membonceng sanksi dari FIFA. Sepak bola Infonesia akan dikucilkan.

Pembatalan itu memukul mental Garuda Muda yang tinggal dua bulan lagi tampil membela merah putih. Tak sedikit sumpah serapah dilayangkan kepada penyebab dibatalkannya Indonesia sebagai host World Cup U-20 Tahun 2023.

Penyebab yang dituding menjadi faktor pembatalan itu adalah politik. Memang merugikan pesepak bola Indonesia karena batal tampil di ajang bergengsi dan adanya ancaman sanksi oleh FIFA. Pengamat bola, petinggi negara, penggemar bola, legislatif, dan industri sepak bola meradang, lalu mengumpat.

Tapi apakah hanya sepakbola yang menjadi urusan negara ini? Tragedi Kanjuruhan saja menimbulkan kekececewaan. Apa tidak tambah runyam jika terjadi kasus insiden di stadion saat Israel bermain di Indonesia?

Semua pengamat sepak bola menyayangkan pembatalan Indonesia itu, dan mendukung Israel hadir di Indonesia. Survei Indikator Politik-nya Burhanuddin Muhtadi juga menghasilkan kesimpulan pendukung GP dan Jokowi  setuju Timnas Israel ke Indonesia.

Survei itu terlihat anomalis. Sebagian besar pendukung Ganjar Pranowo setuju  Timnas Israel bermain di Indonesia. Namun di sisi lain GP menolak mereka ikut ambil bagian. Pendukung dan penolak Israel  sama-sama berharap World Cup U-20 2023 digelar di Indonesia.

Apa mau dikata, misi Erick Thohir ke Doha gagal total. FIFA, tanpa ba bi bu meremove Indonesia sebagai tuan rumah. Memang disayangkan pencabutan itu, FIFA seperti mengambil keputusan sepihak. Alasan yang diterima publik Indonesia hanyalah “karena situasi saat ini”. Event sebesar Piala Dunia dibatalkan dengan alasan secuil itu?

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir tak bisa berbuat banyak. Layer hitam di akun twitternya menjelaskan kekecewaannya, memberi pesan duka, berkabung. Padahal dia ‘diutus’ menjadi Ketua Umum PSSI tujuannya, pertama membuat sepak bola Indonesia maju, dan kedua, mengamankan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Presiden Jokowi pasrah, hanya berkata menghargai keputusan FIFA.

Alasan FIFA membatalkan tuan rumah Indonesia “karena situasi saat ini” sudah diiduga saat organisasi sepak bola dunia itu membatalkan drawing atau undian di Bali. Itu akibat berbagai protes dan penolakan oleh MER-C, PA 212, Gubernur Bali Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Semua pengamat sepak bola mengecam penolakan Israel itu. Bahwa politik adalah politik, tidak bisa dikaitkan dengan sepak bola. Protes terhadap Timnas Israel itu dipersepsikan sebagai wilayah politik. Pengamat bola yang berpikir parsial bersuara. Menurutnya, bola adalah bola, bola bukanlah dimensi politik yang harus dihubung-hubungkan satu sama lain.

Pikiran pengamat ini serta merta diakomodir oleh Presiden Joko Widodo, Erick Thohir, dan Zainuddin Amali. Bahwa jangan mencampuradukkan bola dengan politik. Hanya saja Jokowi memastikan  kehadiran Timnas Israel tidak mengubah kebijakan politik luar negeri RI untuk terus berdiri di pihak kemerdekaan Palestina.

Jokowi seperti cukup taat konstitusi, meski tidak menolak parlemen Israel hadir dalam pertemuan parlemen dunia di Bali yang lalu. Di luar sepak bola, delegasi Israel tetap diizinkan ikut di Indonesia. Jokowi ambigu, kebijakannya justru tidak merefleksikan pemihakan kepada Palestina. Daya desaknya rendah, malahan tidak bersikap apa-apa atas merajalelanya kelakuan Israel di Palestina.

Jokowi lebih takut sanksi FIFA dibanding sanksi UUD 1945. Semua pihak yang berdiri mendukung kehadiran Timnas Israel satu suara menyatakan pisahkan sepak bola dengan politik, tidak ada kaitan bola dengan poltik.

Sebenarnya ada rentetatan sejarah betapa kuatnya dimensi politik di dunia sepak bola. Ketika sepak bola sudah menjadi budaya universal, maka dimensi politiknya pun hadir di sana.

Pada Kualifikasi Piala Dunia 1958 Zona Asia, negara Turki, Indonesia, Mesir dan Sudan menolak bertanding dengan Israel. Di Kualifikasi Piala Dunia 1970 Zona Asia Oceania, Korea Utara menolak bertanding dengan Israel.

Israel juga diboikot pada Asian Games 1974 di Teheran Iran. Dimensi politiknya sangat kental. Pencaplokan tanah air Palestina memicu munculnya penolakan Israel. Di Asean Games 1978 pun Israel mendapat penolakan.

Israel tidak dilibatkan dalam Dewan Olimpiade Asia pada 1981 jelang Asian Games 1982 di New Delhi India, yang kemudian ditolak ikutserta pada Asian Games 1982.

Kemudian Israel juga ditolak berpartisipasi di Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Dan juga negara Yahudi itu dikeluarkan dari AFC pada tahun 1974.

Boikot dan penolakan negara lain terhadap Israel adalah tindakan politik. Magnet politik tak bisa dilepas dari kepentingan bangsa. Sepak bola adalah  event kuat memberikan pesan politik kepada dunia. Multievent seperti olimpiade, Asian Games, Sea Games dan samacamnya termasuk ampuh dalam menyampaikan sikap politik.

Pengamat yang mencak-mencak hanya berpikir parsial semata sepakbola, buta bagaimana penderitaan rakyat Palestina atas pelanggaran HAM oleh Israel. Lupa kalau Indonesia berutang budi pada Palestina sebagai negara Timur Tengah pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Ada pula pegamat bola tiba-tiba berteriak omong kosong kalau penolakan atas Israel itu adalah demi konstitusi. China, Prancis, Inggris, Amerika, Jarman, Belanda, Spanyol, Portugal dan lainnya adalah juga penjajah, kenapa tidak menolak mereka? Pengamat jengkel.

Prancis dan Spanyol pernah berkolaborasi menjajah Maroko. Kedua negara itu mencaplok wilayah negara muslim di Afrika tersebut. Namun di akhir perang ada perjanjian melepas wilayah pendudukan kepada Maroko.

Bandingkan dengan Israel di Palestina. Perjanjian selalu mentok. Pencaplokan wiilayah di Yerusalem dan Gaza terus bertambah. Wilayah pemukiman terus dibangun dan membantai warga Palestina yang memprotes. Berthahun-tahun kesucian Ramadhan dinodai dengan serangan pembunuhan di Masjid Al Aqsa. Israel terus melakukan pelanggaran HAM di sana. Tak sejengkal pun wilayah akan disisakan kepada rakyat Palestina.

Kita pun menganggap, omong kosong kalau sepak bola tidak ada kaitan politik di dalamnya. Tim sepak bola nasional adalah duta negara. Dia membawa simbol negara di dadanya, lambang dan atributnya adalah identitas negara. Secara otomatis membawa pesan politik ke luar.

Dalam kualifikasi Euro 2024 pekan lalu, Swiss menang 3-0 atas Israel. Di seperempat bangku penonton berkibar bendera Palestina, meneriakkan antipatinya kepada negara Yahudi itu.

Membawa bendera negara adalah simbol kebjkakan dan membawa pesan politik. Menolak Israel merupakan protes dan hukuman atas pelanggaran HAM di Palestina.

Kita menyesalkan Piala Dunia di Indonesia dibatalkan. Namun kita juga menyesalkan gerakan-gerakan yang abai pada penderitaan anak-anak dan  janda-janda di Palestina. Indonesia bagi Palestina ibarat satu urat nadi. Karena itu di Gaza berdiri Rumah Sakit Indonesia sebagai bentuk dukungan penuh kepada bangsa Palestina.

Mari buka hati kita. Kesedihan Garuda Muda yang kehilangan kesempatan bermain,  tidak sebanding dengan kesedihan anak-anak Palestina yang kehilangan tanah, rumah, orang tua, dan kehidupan bahagia akibat penjajahan. Garuda Muda masih punya kesempatan berprestasi di banyak event.

Pengamat bola yang sudah teriak mengecam penolak Israel sebagai politisi busuk, kita tentu bertanya kepada mereka kontribusi apa yang sudah dipersembahkan untuk sepak bola nasional? Prestasi apa yang sudah diraih? Tragedi Kanjuruhan di mana kalian?

Statemen “jangan campuradukkan sepak bola dengan politik” adalah alasan klise. Bukankah PSSI sendiri sudah berpolitik? Lihat Jakarta International Stadium (JIS$ tidak didaftarkan sebagai salah satu stadion di Piala Dunia U-20 hanya karena dibangun oleh Anies Baswedan. Bukankah ini contoh mencampuradukkan sepak bola dengan politik?

Jika mau kecam mengecam, mari kita sama-sama kecam FIFA yang telah mengambil keputusan sepihak. Bahkan hanya lewat sebuah pengumuman tertulis di website sendiri. Meski otoritas mutlak ada di tangan FIFA, namun sejatinya mereview kembali proses bidding untuk sebuah pembatalan.

FIFA tidak boleh menggunakan standard ganda. Setiap tuan rumah sebuah event akan selalu mempertimbangkan kebijakan, kearifan lokal, dan aturan negara penyelenggara. Qatar menolak gerakan LGBT di Piala Dunia 2022 FIFA tidak bisa apa-apa.

FIFA mencoret Rusia di Piala Dunia 2022  Qatar dengan alasan Rusia menginvasi Ukraina.  Bukankah itu campur aduk politik dengan sepak bola juga?

Rakyat Indonesia menolak Israel karena konstitusi dan tidak adanya hubungan diplomatik dengan RI. Kalau perlu RI mendesak FIFA mencoret Israel dari keanggotaan FIFA. Duka bola  duka Palestina.