NYARIS semua kawan-kawan di Gerindra yang saya temui, meradang, tak terima Anies menjadi Capres. Bahkan Anies dianggap manusia yang tak tahu membalas budi, bak kacang lupa kulit. Tak hanya itu, malah ada yang menyebut Anies pengkhianat.
Kata mereka, setelah didepak dari kabinet pada 2016, Anies bukan sesuatu dan tidak pernah menjadi seperti sekarang ini, kalau bukan karena Prabowo. Kalau dipikir-pikir, tidak salah, tetapi juga tak sepenuhnya benar.
Saya sebenarnya sangat bisa memahami perasaan kawan-kawan itu, kendati pihak lain menyebutnya lebai. Maklum, saya pernah bersama mereka. Setidaknya, di Pilkada DKI Jakarta 2017, kami sama-sama berjibaku memenangkan Anies – Sandi, meski saya hanya semacam baut kecil dari sebuah mesin pemenangan yang bernama “Roemah Djoeang Anies – Sandi”.
Karena itu, sedikit banyaknya saya mengetahui, merasakan dan mengalami perjuangan di Pilkada DKI kala itu. Mulai dari saat Prabowo memutuskan memasangkan Anies dengan Sandi untuk diusung Partai Gerindra, hingga dinyatakan secara resmi sebagai pemenang. Namun perlu dicatat bahwa Prabowo melakukan itu dalam kerangka semangat perjuangan oposisi.
Bahwa JK kemudian disebut-sebut juga punya andil di dalamnya, itu hal lain. Tetapi keputusan jadi tidaknya pasangan Anies – Sandi maju di Pilkada DKI 2017, tetap saja ada di tangan Prabowo. Tak ada seorangpun yang bisa membantah hal itu.
Saya masih ingat pada sebuah diskusi kecil dengan kawan-kawan Gerindra saat Anies – Sandi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
“Apa kira-kira Anies tidak ikut nyapres pada 2019, mengikuti jejak Pak Jokowi?” lontar seorang kawan.
“Lihat saja nanti,” sambut seorang kawan lainnya. “Sebab meskipun Anies telah berjanji menyelesaikan lima tahun di Jakarta, tapi tidak ada yang bisa menjamin kalau Anies tetap konsisten, tidak tiba-tiba berubah pikiran lalu ikut nyapres?” sambungnya.
“Kalau Anies melakukan itu, ia tidak hanya mengkhianati Pak Prabowo, tetapi juga mengkhianati rakyat Jakarta,” kataku menimpali.
Namun terbukti kemudian kalau Anies dapat memupus kekhawatiran kawan-kawan itu. Ia membuktikan komitmennya untuk tetap memimpin DKI Jakarta. Padahal tak kurang partai politik mencoba datang menggodanya. Bahkan, konon, Pak Prabowo sendiri menawarinya untuk menjadi pasangannya. Tapi Anies tetap bergeming tak ingin mengkhianati rakyatnya.
Itu konteks Pilpres 2019. Pasca itu, konteksnya berubah, terutama setelah Prabowo memutuskan memilih bergabung dengan istana. Prabowo mengambil langkah itu, mungkin karena prihatin melihat kondisi bangsa ini sedang tercabik-cabik oleh Pilpres. Namun motif sesungguhnya, hanya Prabowo sendiri dan segelintir elit Gerindra yang tahu pasti.
Tetapi pilihan itu, bukan tidak punya konsekuensi. Lebih dari separuh pendukung Prabowo meninggalkannya karena kecewa dan merasa dikhianati. Apakah Prabowo menyadari hal itu? Tentu saja. Tetapi itulah harga yang harus ia bayar dengan amat sangat mahal.
Bayangkan, massa pendukung Prabowo di luar Gerindra, adalah massa pemilih PKS, Demokrat, PAN, dan PPP, jumlahnya mencapai 38 juta. Jumlah itu equal dengan 56% dari total pemilih Prabowo – Sandi pada Pilres 2019, yang mencapai 68 juta.
Lalu, kemana perginya massa sebesar itu? Satu-satunya alternatif bagi mereka adalah Anies Baswedan. Mereka pun mulai menyebut-nyebut nama Anies semenjak itu. Mula-mula samar, tapi lama kelamaan nyaring juga. Merekalah yang menyuarakan nama Anies hingga beresonasi di suluruh penjuru tanah air.
Bukti terjadinya peralihan dukungan sejumlah besar massa kepada Anies, terbaca pada survei di penghujung 2021. Dapat dipastikan bahwa massa besar itu nyaris seluruhnya adalah eks-pendukung Prabowo.
Tidak hanya itu, sepanjang 2022, dukungan massa kepada Anies terus mengalir, seiring dengan meningkatnya apresiasi publik terhadap kinerja Anies di Jakarta. Sedangkan Prabowo, terjadi sebaliknya.
Memandang relasi Prabowo – Anies pada konteks Pilpres 2024, tentu semangatnya sudah tak sama dengan Pilpres 2019. Diakui atau tidak, Anies saat ini lebih dilihat sebagai tokoh utama oposisi, sedangkan Prabowo adalah bagian dari istana.
Konteks semangat itulah yang sulit dipahami oleh kawan-kawan itu, sehingga saya berbeda melihat Anies yang mereka anggap mengkhianati Prabowo. Mengkhianati bagaimana kalau memang sudah berseberangan sejak awal? Dan Prabowo sendirilah yang memilih pergi – menyeberang, sedangkan Anies sendiri tak kemana-mana. Lalu, siapa mengkhianati siapa?
Lagi pula, faktor relasi Prabowo – Anies terlalu dominan dilihat sebagai hubungan pribadi. Padahal, urusan suksesi kepemimpinan nasional itu adalah masalah bangsa dan negara, bukan urusan pribadi Prabowo dan Anies. Di situlah naifnya kawan-kawan itu, sehingga wajar saja kalau ada pihak menilainya lebai.
Coba, taruh misalnya, Anies tak pernah ada, maka, apakah eks-pendukung Prabowo itu akan kembali? Saya yakin, tidak. Mereka akan tetap mengalihkan dukungannya atau tidak memilih sama sekali. Begitulah cara rakyat menghukum sosok pemimpin yang dianggap khianat.
Jika situasinya tetap begitu, maka pada akhirnya Prabowo akan mengalami situasi yang dilematis menghadapi Pilpres 2024. Sebab di satu sisi, dukungan massa kepada dirinya terus menurun, menurut survei yang sengaja dipublis maupun yang tidak dipublis, tapi hanya beredar secara terbatas di kalangan tertentu.
Sementara di sisi lain, dukungan istana juga tak pasti. Apa lagi, jika nyanyian Hasnaeni terkait skandalnya dengan Hasyim Asyari, Ketua KPU, itu benar, maka dapat dipastikan Prabowo bakal kandas lagi untuk ketiga kalinya.
Karena itulah sehingga saya memiliki keyakinan bahwa tidak mustahil Prabowo akan mendukung Anies. Mengapa tidak? Toh di antara mereka tidak ada masalah. Anies sangat menghormati sosok Prabowo. Sedangkan Prabowo sendiri tak pernah terdengar bicara buruk tentang Anies.
Dan, satu-satunya jalan bagi Prabowo agar dapat dimaafkan oleh puluhan juta massa yang pernah ia tinggalkan, adalah kembali bersama mereka mendukung Anies.
Makassar, 27 Desember 2022
Komentar