Oleh: Yusuf Blegur
BETAPA hebatnya merayakan Hari Pahlawan di tengah negara diselimuti mentalitas penjahat dan penghianat. Di masa lalu penjajahan melahirkan semangat pembebasan. Kini di alam kemerdekaan, kehidupan rakyat tak ubahnya seperti dalam zaman kolonial. Tak ada lagi nasionalisme dan patriotisme, yang ada hanya bagaimana mengejar jabatan dan materi. Memiliki dan menikmati kekayaan harta benda secara berlebihan, untuk diri sendiri, keluarga dan kelompoknya yang tak habis hingga tujuh turunan.*
Semakin banyak orang teriak saya Pancasila, semakin banyak bermunculan orang gila. Semakin banyak orang teriak saya NKRI semakin banyak orang tanpa nurani.
Saya cinta Indonesia hanyalah tipu daya. Saya cinta keberagaman hanyalah kedok keculasan. Semua hanyalah seolah-olah, semua hanyalah kamuflase. Slogan keberadaban yang berbusa-busa diucapkan, tak pernah hadir dalam tindakan. Kebenaran dan keadilan telanjang dikangkangi kejahatan. Kemanusiaan telah kalah oleh maraknya perilaku kesetanan.
Kemungkaran seakan telah menjadi keharusan, terlebih bagi para penyelenggara negara. Kewenangan dan kesempatan menjadi modal besar yang melahirkan penyimpangan kebijakan. Negara yang telah menyediakan kekuasaan, memicu orang berbondong-bondong memburunya demi harta dan jabatan. Tak peduli bagaimana cara meraihnya, tak peduli pada prosesnya dan tak peduli pada apa yang akan dikorbankan untuk mendapatkannya. Semua demi keinginan, semua demi kesenangan dan semua demi mumuaskan hawa nafsu yang berkepanjangan. Masa bodoh dengan semua orang, masa bodoh dengan lingkungan sekitar, masa bodoh dengan apa yang terjadi pada negara dan bangsa.
Korupsi tak terbendung dan semakin merajalela, kekerasan dan pembunuhan marak mengancam setiap nyawa anak bangsa. Intimidasi, teror dan ancaman telah menjadi bahasa sehari-hari. Isu, intrik, dan fitnah keji yang mencerai-berai habitat sosial, menguat mewujud pola interaksi yang seiring waktu menyebabkan disintegrasi bangsa. Harga diri dan kehormatan menjadi barang murah. Negara tak ubahnya menjadi tempat berhimpunnya populasi tuna sosial. Ego sentris dan rivalitas yang tidak sehat, terus-menerus membentuk bangunan sistem yang mengokohkan personal dan kelompok yang bersifat, agresor, imperior dan berwatak kanibal. Menang atau kalah, kaya atau miskin, mulia atau hina, dibunuh atau membunuh. Seperti itulah orang dan sistem menyatu, distorsi angkuh menguasai negara sembari mengubur sisi-sisi ketuhan dan kemanusiaan pada bangsanya.
Rakyat yang memiliki kedaulatan yang sesungguhnya, seketika berubah menjadi pelayan. Sementara wakil rakyat yang seharusnya mengemban amanat, berpesta pora menikmati peran sebagai majikan. Para petinggi negara yang menyandang pejabat dan politisi pelacur, bersama korporasi bertabiat haram jadah asyik dan orgasme memeras keringat, air mata dan darah rakyat kecil. Bagi penyelenggara negara yang hipokrit itu, luka dan penderitaan rakyat merupakan tontonan yang menghibur mereka. Bagai berada di kolosium yang megah, rezim dan elit partai politik dari atas kursi VIP di singgasana, menyaksikan dan menikmati pentas panggung pertarungan gladiator sesama budak yang saling meniadakan. Begitulah kekuasaan, menampilkan perilakunya menikmati kemewahan hidup yang diperoleh dari menukar nyawa rakyatnya sendiri.
Kepahlawanan perlahan dimaknai dan dirasakan sebatas dongeng. Berupa cerita masa lalu tentang keberanian dan pengorbanan menegakan kebenaran dan keadilan. Menjaga kesucian dan kehormatan diri, keluarga dan masyarakatnya dari tangan-tangan yang lalim, kini hanyalah kenangan yang tak mungkin kembali. Semua kisah-kisah nyata tentang nasionalisme dan patriotisme itu, tenggelam dan terkubur sebagai sejarah belaka. Tak ada catatan yang tertinggal, tak ada pesan yang tersampaikan, tak ada semangat dan nilai yang dibanggakan. Kepahlawanan para nenek moyang dan generasi terdahulu, nyaris tak berbekas dan tak mampu memberi pelajaran bagi manusia sesudahnya.
Warisan trasidional namun bermartabat dan berkeadaban, kini terganti oleh modernitas yang ponyah dan barbar. Bangsa pemberani sebagaimana dilukskan sejarah, telah berubah menjadi bangsa pengecut.
Terbatas materi namun kaya pada nilai-nilai spiritual, kini terhempas oleh dominasi hasrat pada kekayaan yang sejatinya berujung miskin jiwa. Boleh jadi, kemanusiaan dan ketuhanaan sulit dihadirkan di negeri sendiri. Meskipun berhasil menggali Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dari bumi nusantara. Faktanya, kepahlawanan di republik ini telah lama menjadi fosil, hanya meniiggalkan jejak yang sulit dijumpai apalagi dinikmati.
10 November 2022/15 Rabi’ul Akhir.
Komentar