Menilik Penghormatan Singapura Kepada Anies Baswedan


Bang Sèm

GUBERNUR Jakarta Anies Rasyid Baswedan diundang khas pemerintah Singapura, via Kementerian Luar Negeri Singapura, 12-15 September 2022, atas program Lee Kuan Yew Exchange Fellow (LKYEF) – yang didirikan pada tahun 1991.

Secara berkala, program ini secara khusus mengundang individu-individu luar biasa untuk mengunjungi Singapura berjumpa dan berdialog dengan para tokoh serta pemimpin di negeri kota – City State) yang berpengaruh di dunia itu.

Dalam release Kementerian Luar Negeri Singapura disebutkan, para fellows adalah figur prominen yang dipilih berdasarkan rekam jejak dan potensi luar biasa mereka untuk berkontribusi pada pengembangan negaranya masing-masing dan hubungan bilateral dengan Singapura.

Wajar, bila Anies dalam postingan di akun media sosialnya menerima undangan tersebut sebagai suatu kehormatan. Ia adalah pribadi ke 72 yang menerima penghormatan tersebut.

Artinya, Anies merupakan bagian dari para tokoh berbagai dunia, yang dipandang pemerintah Singapura sebagai pribadi yang fit dan proper untuk menjalin kolaborasi dan dialog mendalam dengan para pemimpin di Singapura.

Salah seorang pemimpin muda di Asia Tenggara yang menjadi tetamu khas pemerintah Singapura melalui program LKYEF, adalah Menteri Kesehatan Malaysia, Khairy Jamaluddin, yang sebelumnya adalah Menteri Belia dan Sukan, lalu Menteri Sains Teknologi & Inovasi Malaysia.

Selain itu, program ini secara khas pernah mengundang Hajime Funada – Chairman Asia Pacific Committee – LDP Research Commission on Foreign Affair; Gregory Hunt – Shadow Minister fore Climate Changes; Dato’ Mustafa Mohammed -Executive Director National Economic Council- Malaysia; Hu Xiaolian – Deputi Gubernur Bank of China; Bassem Awadallah – Vice Chairman of The King Abdullah – Jordania; Chaturan Chaisang – Menteri Kehakiman Thailand; dan lain-lain.

Anies mengemukakan, Singapura dan Indonesia, khususnya Jakarta, kita adalah sama-sama kota pusat perekonomian yang bertetangga di Asia Tenggara.

Dia menjelaskan, sesaat setelah mulai bertugas di Jakarta, “kami berkomunikasi dengan pengelola kota Singapura, untuk bisa mengirimkan jajaran agar bisa belajar bersama dengan tim kota di Singapura.”

BACA JUGA :  Buruh Mogok Gara-Gara Anies? Koplak!

Sejak saat itulah, menurut Anies, proses ‘saling belajar’ antara pengelola kota Jakarta – Singapura, berlangsung dari dekat soal pembangunan teknis infrastruktur kota. Apalagi, Jakarta dan Singapura akan selamanya bertetangga, maka sudah sewajarnya kita saling belajar, bekerja sama dan saling menghormati.

Cermin Lee Kuan Yew

Program LKYEF adalah bagian tak terpisahkan dari strategi diplomasi Singapura yang menyadari eksistensinya berada di antara ‘gajah,’ ‘panda,’ ‘harimau,’ dan ‘jonga’ di Asia. Beberapa kolega di negeri yang semula bernama Temasik, itu sering mengamsalkan demikian.

Singapura laiknya anak singa yang terus berproses menjadi sesungguh singa di kawasan Asia Pasifik. Paling tidak, sejak Lee Kuan Yew mengambil peluang, saat Tengku Abdul Rakhman melepasnya dari Malaya, 9 Agustus 1945. Apalagi kini, ketika orientasi geopolitik dan geoekonomi sedang bergerak ke Asia Pasifik.

Informasi yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Singapura menjelaskan, selama di Singapura, Anies diagendakan berdialog dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong, Menteri Luar Negeri Dr Vivian Balakrishnan, Menteri Perhubungan S Iswaran.

Anies juga diagendakan berdialog dalam berbagai majelis jamuan dengan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Keuangan Lawrence Wong, Menteri Senior dan Menteri Koordinator Kebijakan Sosial Tharman Shanmugaratnam, Menteri Pendidikan Chan Chun Sing, dan Menteri Kesehatan Ong Ye Kung. Ia akan didampingi Lee Tzu Yang, Ketua LKYEF, yang menjadi tuan rumah.

Selebihnya, Anies diagendakan mengunjungi Galeri Singapura Berkelanjutan di Marina Barrage, yang diselenggarakan oleh Menteri Keberlanjutan dan Lingkungan Grace Fu. Lantas bertemu dan berdialog dengan pejabat dari Economic Development Board, dan menyampaikan pidato S.T. Lee Distinguished . Termasuk berceramah di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew.

Sosok Lee Kuan Yew – pemimpin perubahan Singapura, boleh jadi pas untuk siapa saja pemimpin kota dan negara yang visioner, meski lebih sebanding dengan Monaco, katimbang negara lain yang mengalami beban sangat berat secara demografik dan politik. Tentu, Lee Kuan Yew juga sosok yang patut menjadi cermin dalam hal menegaskan keunggulan nilai-nilai Asia.

BACA JUGA :  Merdeka (2): Geliat Abad 21

Lee Kuan Yew yang sering diamsalkan berperilaku mirip Stalin – pemimpin Uni Sovyet dan Rudy Guiliani – Walikota New York di masanya. Ia dianggap berhasil memadu padan sosialisme dan kapitalisme menjadi dua sisi dalam satu koin mata uang. Tak terkecuali melakukan transformasi minda, yang membuat Singapura menjadi negara kota yang diperhitungkan dalam dinamika perekonomian dunia.

Lee di tengah masyarakat berbilang kaum yang sangat plural di negeri seberang Batam, itu dipandang berhasil menjadikan Singapura sebagai negeri yang lebih bersih, lebih aman, lebih sejahtera, lebih steril, dan mampu membawa Singapura melampaui kota-kota global lainnya di dunia.

Dia dan penerusnya, mampu – sekaligus berhasil -membersihkan jalan-jalan dan saluran air, memilih pohon-pohon peneduh, menata utilitas dan infrastruktur kota dengan konsistensi yang kuat pada pelaksanaan rencana tata ruang.

Lee memberlakukan meritokrasi berbasis ujian, dan kini oleh para pelanjutnya diperkaya dengan pola yang agak robotik dalam pendidikan, serta menjamin kenyamanan investor dan turis.

Komitmen Kemanusiaan

Dalam menerapkan disiplin kehidupan sosial, Lee yang dipandang terlalu agresif dan mencampuri wilayah pribadi warganya, pernah menyatakan, “Saya sering dituduh mencampuri kehidupan pribadi warga. Ya, jika saya tidak melakukannya, jika saya tidak melakukan itu, kita tidak akan berada di sini hari ini.” (The Straits Times, 20/4/87).

Lee lantas menyatakan, “Saya katakan tanpa penyesalan sedikit pun, bahwa kita tidak akan berada di sini, kita tidak akan membuat kemajuan ekonomi, jika kita tidak mengintervensi hal-hal yang sangat pribadi: Siapa tetangga Anda, bagaimana Anda hidup, kebisingan yang Anda buat, bagaimana Anda meludah, atau bahasa apa yang Anda gunakan. Kami memutuskan apa yang benar. Tidak peduli apa yang orang pikirkan.”

Sikap Lee semacam ini, acap gagal ditiru oleh para petinggi yang memimpin berbagai kota di negara lain. Terutama karena watak dan karakter multikulturalisma-nya berbeda. Terutama, ketika mereka tak melihat, bahwa Lee melakukan transformasi untuk negerinya dari tribun kaum tertindas menjadi otokrat. Termasuk kepiawaiannya melakukan berbagai adaptasi terhadap perkembangan sains dan teknologi, dan kemampuan melihat fenomena ekologi dan ekosistem sosial.

BACA JUGA :  Dihadang Dari Seluruh Penjuru, Mampukah Anies Tetap Melaju?

Singapura adalah negara kota seluas 718 kilometer persegi, kepulauan kecil (64 pulau kecil lepas pantai) berjarak sekitar 87 mil di utara katulistiwa, tepat di selatan ujung Semenanjung Malaysia yang dipisahkan oleh selat Johor. Jembatan Johor Singapore Causeway menghubungkan negeri itu dengan daratan Malaysia. Selat Singapura memisahkan pulau-pulau negara dari Kepulauan Riau Indonesia di selatan.

Kunjungan Anies memenuhi undangan LKYEF ke Singapura menjadi penting, meski di ujung masa pengabdiannya sebagai Gubernur Jakarta. Tak hanya untuk menguatkan kolaborasi antar pemerintah yang dapat dilanjutkan oleh para pemimpin berikutnya.

Terutama dalam konteks kedudukan Jakarta Raya ke depan sebagai kota global yang perlu dipacu sebagai pusat keuangan global, pusat perdagangan dan belanja, destinasi investasi dan wisata. Pun sebagai potret Asia Instan, yang dalam konteks Jakarta, sangat memungkinkan — ketika produk budaya Betawi terus dikemas sesuai dengan perkembangan era.

Yang terpenting kemudian — dan saya membayangkannya — akan terjadi dialog antara Anies dengan para petinggi Singapura, ihwal bagaimana strategi kolektif Asia Tenggara menghadapi kecemasan dan harapan. Termasuk ihwal krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh aksi politik nirbudaya yang gemar menciptakan friksi sosial dan ketegangan politik.

Termasuk melakukan kolaborasi aktif dalam menaklukan pandemik, sehingga secara sosial, manusia kembali dapat merayakan pola komunikasi dan interaksi antar manusia secara langsung.

Persis seperti kata Menteri Luar Negeri Singapura – Vivian Balakrishnan (10/9/22) kada Konferensi Kemaanusiaan Palang Merah Singapura : “Jangan menunggu politisi menyelesaikan semua masalah. Kekuatan kita adalah komitmen pada kemanusiaan bersama.”

Muaranya adalah keadilan yang mensejahterakan dan membahagiakan, seperti yang diperjuangkan Anies di Jakarta, yang membuatnya terus dirundung dan dicerca oleh para pecundang. |

Komentar