Oleh: Yusuf Blegur
DI negeri para bedebah, negeri ketika para bajingan menguasai pemerintahan, maka kedzoliman menjadi menu sehari-hari. Hanya ada santapan buat tuan-tuan borjuis yang diolah dari keringat, airmata dan darah rakyat.
Unjuk kekuasaan menjadi atraksi saban hari, di mana yang kuat menindas dan membunuh yang lemah. Kebenaran menjadi sesuatu hal yang tabu dan begitu menakutkan. Karena kedaulatan rakyat semakin tergerus oleh intimidasi, teror dan ancaman maut dari manusia-manusia durjana. Para penjahat pemilik kekuasaan yang digaji oleh negara dan berasal dari uang rakyat sendiri.
Kalau bangsa ini selalu bangga pada slogan-slogan moralitas dan spiritualitas. Begitu kuat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan warisan kebaikan nenek moyang. Terkesan sangat tekun mempelajari sejarah dan menghargai jasa para pahlawan serta berlimpah kecintaannya pada tanah air. Kemudian begitu gencar mengagungkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Lalu mengapa saat ini, negara sedang tidak baik-baik saja? Kenapa negara semakin dalam terpuruk?bMengapa keberadaban semakin hilang di negeri ini? Bagaimana mungkin pula republik ini terus-menerus melahirkan para pejabat dan pemimpin yang tuna susila?
Sumber daya alam semakin menipis dikuras bangsa asing, kekayaan negara terus digerogoti oleh segelintir bangsanya sendiri. Atas nama konstitusi dan demokrasi, pemerintah berhasil memperkosa kedaulatan rakyat. Rezim kekuasaan leluasa berkali-kali merampas kesadaran dan harapan rakyat untuk hidup layak. Tak peduli rakyat kecil, orang dewasa atau manula, lelaki atau perempuan dan anak-anak atau balita. Rakyat yang lemah dan tak berdaya itu, berangsur-angsur secara masif telah menjadi korban kejahatan negara yang terstruktur dan sistematik.
Kebijakan pemerintahan yang berorientasi memuaskan nafsu syahwat para oligarki korporasi, partai politik dan birokrasi. Hanya menghasilkan semakin suburnya kelompok marginal dan meningkatnya angka kemiskinan.
Situasi dan kondisi yang demikian menjadi cermin dari penderitaan hidup rakyat karena kehilangan pekerjaan, terancam kelaparan dan bahkan memicu kematian. Kecenderungan hal tersebut semakin terlihat dari banyak indikator, termasuk beberapa realitas terkait kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang meniadi denyut nadi kehidupan rakyat.
Rakyat sebagai pemiliki kedaulatan harus menerima dampak dari praktek-praktek distorsi kepemimpinan dan kesewenang-wenangan penyelenggaraan negara.
Dalam krisis ekonomi baik yang disebabkan oleh pandemi maupun bobroknya mental aparatur pemerintahan, para hipokrat dan penghianat negara itu secara terbuka dan angkuh memamerkan kejahatannya kepada rakyat. Mereka memperkaya diri dengan semakin menumpuk harta dan aset yang sejatinya milik rakyat.
Seiring itu, rakyat terus dihimpit kesulitan bahkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Harga sembako dan bahan pangan melambung tinggi, diikuti pelbagai kenaikan sektor fundamen kehidupan rakyat seperti naiknya pajak, tarif listri, harga bbm, biaya pulsa dsb. Utang negara yang ugal-ugalan dan serampangan hanya jadi ajang proyek rente dan tak bermanfaat, tak bisa dinikmati namun menjadi beban berat rakyat.
Kenyataan itu bukan saja mengakibatkan kemampuan daya beli rakyat semakin menurun, melainkan juga rakyat terancam gagal memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan hidupnya secara umum. Sepertinya ada upaya memiskinkan rakyat dengan cara menghapus subsidi untuk membayar utang dan membiayai gaya hidup mewah para pejabat, sembari terus memeras rakyat melalui upeti dengan cara-cara membajak konstitusi dan berkedok demokrasi. Sementara korupsi tetap terus mewabah di semua sektor dan institusi pemerintahan.
Jadilah rakyat harus menerima kenyataan pahit, negara telah mempertontonkan yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Para pejabat dan pucuk pimpinan pengambil keputusan, tanpa rasa malu dan bersalah hidup mewah serta tak sungkan lagi mencuri dan merampok uang rakyat secara telanjang.
Untuk menutupi dan melindungi rantai kejahatannya, penguasa memanfaatkan negara dan aparaturnya menghukum rakyat yang kritis dan sadar untuk peduli dan menyelamatkan hari ini, esok dan masa depan Indonesia. Negara hanya hanya menjadi kumpulan populasi manusia antara predator dan rantai makanan, ada penguasa yang buas dan rakyat yang siap menjadi mangsa.
Entahlah, apakah kejahatan yang begitu terorganisir tak mampu dikalahkan oleh semangat menegakkan kebenaran yang belum terkonsolidasi? Mungkinkah riak-riak gerakan perubahan di dalam negeri yang sakit dan dikuassi rezim yang dzolim akan sia-sia?
Bisa ya bisa tidak, selain upaya yang seadanya, rakyat Indonesia tak cukup hanya menumpahkan keringat, darah dan nyawa melawan penguasa. Terkadang butuh sejarah dan takdir yang akan bicara dan menuliskan guratannya.
Tapi setidaknya, untuk saat ini dan mungkin beberapa tahun ke depan. Bagi rakyat, negara dan bangsa Indonesia, tak perlu berpikir keras dan menganalisa dengan tajam. Betapa situasi dan kondisi sekarang, begitu kroditnya hingga layak disebut “ah amburadul semua”.
Masihkah rakyat membutuhkan kehadiran negara? Masihkah rakyat perlu keberadaan pemerintah?
Apakah Pancasila, UUD 1945 dan NKRI masih penting untuk diharapkan? Sampai kapan agama dijadikan komoditas?, hingga bisa tetap dipakai untuk dinista sekaligus dimanfaatkan? Haruskah negeri ini menunggu amuk massa, menunggu momen yang tepat munculnya pemberontakan? Akankah republik ini akan melahirkan revolusinya sendiri?
Tak ada yang tahu, coba kita tanyakan pada hutan yang ditebang, koruptor yang menghilang dan para pemimpin yang keahliannya hanya bisa jual tampang dan bergaya tanpa isi kepala.
“Ah amburadul semua, semuanya memang amburadul?
Munjul-Cibubur, 30 Juni 2022
Komentar