Mati Rasa dan Mati Gaya A la Jokowi


Oleh: Yusuf Blegur

MENARIK mengupas tulisan Lempar Batu Sembunyi Tangan dari Adian Napitupulu, aktifis 98 yang kini berada dalam lingkar kekuasaan.

Dalam paparannya pemilik panggilan Kakek ini, seolah-olah menegaskan wacana penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden bukan berasal dari Jokowi.

Adian secara tersurat mengatakan bergulirnya isu penundaan Pemilu 2024 yang menjadi bola panas dan menimbulkan resistensi secara nasional, lebih disebabkan oleh empat unsur.

Pertama, dari orang-orang yang ingin mencari muka sebagaimana yang pernah dilansir Jokowi sendiri.

Kedua, dari release beberapa lembaga survey yang dianggap mewakili aspirasi dan keinginan rakyat.

Ketiga, dari para petinggi partai yakni Zulkifli Hasan-PAN, Airlanggga Hartarto-Golkar dan Muhaimin Iskandar-PPP.

Keempat dari pelbagai pernyataan para menteri yang notabene menjadi pembantu presiden.

Pemaparan pentolan organ gerakan Forkot saat menjelang bergulirnya gerakan reformasi, seperti menjadi penguatan alibi atau setidaknya menjadi bagian dari parade dukungan terhadap Jokowi yang berusaha menolak terseret-seret usulan presiden 3 periode dan segala macam modusnya.

Pernyataan Adian menjadi semacam iringan paduan suara dari yang pernah dilontarkan Luhut Binsar Panjaitan beserta orang-orang di seputar Istana, organisasi APDESI dan banyak lagi penganut dan penjilat kepentingan kekuasaan lainnya.

Menjadi layak ditelisik, bisa dibilang ahistoris dan cenderung mengalami amnesia politik. Analisa anggota DPR RI dari Fraksi PDIP ini secara tersirat mengatakan Jokowi tidak berinisiasi, tidak bersalah dan tidak bertanggungjawab terhadap bergulirnya rencana politik yang kental dengan premis kejahatan konstitusi.

Secara tidak langsung Adian juga ingin memberi kesan ke publik bahwasanya Jokowi begitu polos, tidak terlibat dan jujur mengatakan apa adanya tentang polemik dan kotroversi itu yang begitu penuh distorsi.

Adian sepertinya ingin menegakkan kembali citra diri Jokowi yang identik sederhana, merakyat dan pro wong cilik, yang semakin hari semakin terus tergerus dan runtuh akibat ulah kebijakan politiknya sendiri.

BACA JUGA :  Imlek, Kesetaraan, dan Keadilan di Jakarta

Lebih dari itu dan menjadi penting juga, aktifis yang mendirikan komunitas Bendera dan Pospera ini, mengusik sikap PDIP yang direpresentasikan oleh Ketua umum, Sekjend dan bahkan kadernya yang menjadi ketua DPR RI. Baik Megawati Soekarno Putri, Hasto Kristianto dan Puan Maharani, berulangkali menyampaikan penolakan terhadap apapun keinginan dan anasir politik yang menginginkan penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan jabatan presiden dan segala retorika dan jastifikasi di dalamnya.

Apakah ini bisa dinilai sebagai pembangkangan kepada Megawati dari Adian sebagai kader sekaligus petugas partainya yang lain? Atau bisa jadi ungkapan Adian sebagai sinyal telah terjadi pergeseran sikap PDIP dari menentang menjadi akomodatif terhadap konten penundaan pemilu atau perpanjangan jabatan presiden yang sudah semakin terlihat konspiratif. Mungkin saja itu bisa dimaklumi dan dibenarkan, karena politik itu juga berarti peluang dan kesepakatan. Rakyat hanya bisa menunggu akhir skenario sikap politik PDIP yang sesungguhnya.

Modifikasi Disfungsi

Sayangnya, ikhtiar aktifis yang dinilai lincah dan gesit bermanuver memainkan entitas politik sebagian besar eksponen 98 ini, tak cukup berwibawa dan bermakna mengatrol politik bunglon Jokowi. Narasi tendensius Adian yang justru mengarah pada kelompok kepentingan yang ada dalam lingkungan kekuasaan maupun yang memiliki agenda ingin merebut kekuasaan. Tak mampu menyelamatkan muka presiden yang telah hilang dan sebelumnya sering ditampar berkali-berkali.

Betapapun sejak awal, Jokowi mengatakan tak kepikiran dan tak ada niat menjadi presiden untuk perode ketiga. Meskipun telah berkepanjangan dan menuai respon keras dari rakyat, Jokowi memberikan statemen agar semua menteri menghentikan wacana penundaan pemilu.

BACA JUGA :  Komunikasi Yes, Koalisi No

Rakyat belum lupa dan tak akan pernah lupa, saat dalam kampanye Pilpres 2014 dan 2019, Jokowi menghembuskan topan angin surga. Propaganda mengadakan mobil Esemka, membuka jutaan lapangan kerja, membatasi utang negara, menolak impor, menciptakan kesejahteraan buruh tani nelayan, kartu sehat, kartu cerdas, kartu sejahtera, dan segunung janji yang terlontar tanpa beban dan dosa. Semuanya alhamdulillah tak ada yang terealisasi, lain janjinya lain pula kenyataannya. Tanpa malu dan harga diri, malah bangga seolah-olah penuh prestasi.

Jokowi sebagai presiden sudah dianggap sebagai pemimpin yang terbiasa melanggar janji. Mulai dari janji kampanye hingga janji upaya-upaya kongkrit mengatasi pandemi, krisis dan kompleksitas permasalahan bangsa. Selain tak terbukti menunaikan janji, Jokowi oleh mahasiswa, buruh tani nelayan, akademisi dan dunia usaha berbasis ekonomi kerakyatan serta hampir seluruh rakyat Indonesia, dijuluki *”King Of Lip Service”*. Ambisi dan orientasi kepentingan politiknya tak bisa lagi ditutupi kamuflase dan manipulasi.

Ditambah lagi tabiat Jokowi yang sering menggunakan tangan dan meminjam mulut orang lain, sering menjadikannya ahli membuat tameng dalam melindungi citra dan kepentingan politik tersembunyi. Apapun wacana dan kebijakan yang dianggap kontroversi dan mengancam eksistensi kekuasaan baik dalan tatanan usulan maupun yang sudah menjadi regulasi, selalu saja ada upaya mencari kambing hitam dan para pencuci piring kotor. Jokowi harus sesuai dengan identifikasi dan klasifikasi sebagai orang bersih meskipun dipenuhi kotoran dan dibentuk dari pencitraan semu.

Tak bisa dicegah, Jokowi akhirnya dikenal publik lihai dan piawai menjadikan setiap orang atau kelompok tertentu menjadi korban ambisi kepentingan politiknya. Mirisnya lagi, tidak hanya membersihkan tangan kotornya, Jokowi juga cekatan membangun kesan pahlawan dalam dirinya dari konflik yang merugikan kepentingan rakyat, keberadaan dan eksistensi NKRI, oleh perilaku kekuasaannya.

BACA JUGA :  Masyarakat Kalbar Deklarasi Dukung Anies Baswedan Presiden 2024

Episode dari drama penundaan pemilu, memperpanjang jabatan presiden dan berujung amandemen UUD 1945 terkait presiden 3 periode, semakin membuktikan Jokowi menjadi sosok yang sudah tak pantas lagi menjadi pemimpin dan tak ada lagi yang bisa dipercaya dari mulut maupun tindakannya. Jokowi tak ubahnya barang rongsokan yang betapapun dimodifikasi tetap tak berfungsi, apalagi sampai bisa bermanfaat. Kalaupun ada pemaksaan dan rekayasa apapun yang dilakukan, presiden boneka itu hanya akan menjadi kelinci percobaan yang mengalami eksperimen modifikasi disfungsi.

Jokowi yang meskipun telah didandani dengan kosmetik paling canggih dan berbiaya tinggi sekalipun, tak akan pernah menjadi keindahan yang hakiki dan sejati. Pikirannya tak disertai batin, bahasanya terpisah dari jiwa dan tindakannya tanpa spiritual. Meminjam istilah Rocky Gerung, kedunguan tidak akan berubah hanya oleh karena harta dan jabatan. Begitupun kepintarannya tak akan bermakna dengan menjadi penghianat dan pelacur politik kekuasaan.

Di tengah deru bising mesin kebohongan kekuasan dan produk-produk politik kemunafikan, Jokowi menjadi contoh kasus, sirkus dan akrobat politik tak selamanya menghibur dan pasti ada batas masanya. Begitupun pesona pencitraan akan memudar seiring kesadaran tak lagi melulu membutuhkan kecantikan dan keelokan. Bius sihir massal dalam diri jokowi, perlahan mulai menipis. Jokowi tak mampu lagi menyembunyikan watak asli yang semakin menyeruak.

Setelah hampir 8 tahun berkuasa, Jokowi kini telah mati rasa dan mati gaya di hadapan rakyat, negara dan bangsa.
Mati rasa dan mati gaya yang pada akhirnya menjadi korban dan kebusukan dari sebuah citra.

Komentar