JOKOWI memang event organizer yang handal. Untuk menjadikan panggung IKN agar gaungnya membumi maka dibuatlah upacara penyatuan nusantara. Apa yang dilakukan oleh Jokowi dalam rangka soft launching ibu kota baru terkesan sangat luar biasa.
Betapa tidak, Jokowi meminta kepada seluruh gubernur untuk membawa tanah dan air dari masing-masing provinsi sebagai penanda nusantara bersatu. Jokowi mungkin sedang berhalusinasi nusantara sedang terpecah. Kata banyak pengamat memang harus begitu membaca Jokowi, sebaliknya dari apa yang diucapkan maupun dilakukan.
Hampir semua Gubernur membawakan tanah dan air dari tempat-tempat spesial yang selama ini sudah dikeramatkan. Sehingga soft launching yang dikemas dalam bentuk kemah semalam didahului dengan penyerahan tanah dan air yang disatukan terkesan luar biasa dan beraura mistis.
Tanah dan air yang dibawa oleh masing-masing gubernur lebih menggambarkan kepada keluhuran tanah dan petirtaaan masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh Khofifah dan Ganjar, tanah dan air diambil dari tempat dimana melambangkan kekuatan tempat karena digunakan oleh para raja dan orang-orang terpandang saat itu.
Khofifah mengambil tanah dan air di sekitaran Trowulan yang melambangkan kejayaan kerajaan Majapahit. Sebuah kerajaan yang dipandang mampu mempersatukan Nusantara, sedangkan Ganjar mengambil air dari Sendang Bancolono, Tawangmangu, dan tanah dari Gunung Tidar yang diyakini sebagai puser bumi.
Sebagai sebuah pertunjukan, maka sejatinya yang dimainkan oleh para gubernur tersebut adalah peran yang wajar, karena soft launching IKN sebagaimana dalam tradisi kebudayaan memang seharusnya seperti itu. Sehingga kering makna, kecuali sebagai peristiwa budaya.
Berbeda seandainya kalau Ganjar mengambil tanah dari Wadas, maka selain ada pesan peristiwa budaya ada pesan lain yang sangat kuat, bahwa ibu kota nusantara tak boleh lagi memarjinalkan kelompok kecil. Ibu kota harus adil memperlakukan semua warganya. Sayangnya Ganjar tidak mampu melihat Wadas sebagai ruh perjuangan bila menjadi pemimpin, pemimpin yang mengayomi, melindungi dan mensejahterakan.
Hal berbeda justru dilakukan oleh Anies, Anies mampu melihat panggung IKN tidak sekedar sebagai panggung peristiwa budaya, tapi Anies mampu memanfaatkan sebagai sebuah tempat yang memberi tambahan nilai untuk mengingatkan kembali bahwa ibu kota negara adalah tempat presiden bertugas, sebagai ibu kota maka presiden harus mampu mengayomi, melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.
Secara sombolis untuk pesan itu, Anies membawakan tanah dan air dari Kampung Akuarium. Apalagi dalam pengambilan tanah dan air tersebut, Anies dibantu oleh kaum ibu dari Kampung Akuarium untuk mendapatkannya. Anies ingin mengatakan bahwa Ibu Kota Negara harus adil dalam memperlakukan rakyatnya, Ibu Kota Negara tidak boleh memarjinalkan warganya, membangun negara tidak bisa hanya dilakukan oleh seorang pemimpin saja atau segolongan saja, membangun negara harus melibatkan seluruh warga negara.
Lebih jauh Anies juga ingin menyiratkan pesan bahwa warganegara akan mudah dipersatukan kalau mereka diperlakukan dengan adil, diberikan kesejahteraan sehingga akan tercipta perdamaian dan persatuan yang kokoh.
Makna simbolis yang disampaikan Anies ternyata menjadi magnet yang luar biasa bagi masyarakat Kalimantan yang kelak akan menjadi tempat didirikannya Ibu Kota Nusantara. Kedatangan Anies di Bandara Balikpapan mencuri perhatian masyarakat, Anies disambut dan dielu elukan oleh warga. Setiap jengkal Anies melangkah, selalu disambut dengan histeria masyarakat.
Anies sejak keberangkatannya dari Jakarta dan mengambil tanah dan air dari Kampung Akuarium, ibarat pemain bola yang mampu menciptakan gol gol indah di jala lawan. Panggung IKN seolah menjadi stadion Anies melakukan selebrasi dengan pesan-pesan indah dan menukik.
Anies telah menjadi maestro dalam panggung IKN dengan mampu menghadirkan permainan yang apik dan mencuri skor dari lawan.
Anies menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin, di panggung IKN Anies melakukan selebrasi yang indah dengan pesan-pesan keadilan, kerakyatan dan kolaborasi.
Selamat kepada Mas Anies, meski panggung itu milik Jokowi, ternyata Mas Anieslah bintangnya.
Surabaya, 16 April 2022
Komentar