Oleh: Tamsil Linrung
(Anggota DPD RI)
MOMENTUMNYA nyaris berbarengan. Ketika Mahkamah Konstitusi menolak uji materi ambang batas pencalonan presiden oleh Partai Politik, tiga Ketua Umum Parpol mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda. Urusannya, konon, sama-sama demi negara. Tapi kita melihat ada pembeda yang begitu terang: uji materi senafas dengan konstitusi, sedangkan usulan penundaan pemilu melawan konstitusi.
Wacana penundaan pemilu begitu kuat hingga menelikung semua pembicaraan tentang penegakan hukum dan demokrasi. Kita seolah diarahkan untuk tidak lagi berbicara substansi proses pemilu, proses penjaringan kandidat, dan seterusnya. Bayangkan, isunya didorong sekaligus oleh tiga ketua umum partai.
Begitu terasa upaya sistemik melanggengkan kekuasaan. Tadinya, skenario yang santer terdengar ada dua, yakni presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden. Namun, wacana presiden tiga periode memerlukan dua substansi mendasar. Yang pertama adalah soal konstitusionalitas dan kedua tentang prestasi. Mungkin karena argumentasi prestasi sulit didapat, maka yang mengerucut adalah penundaan pemilu yang secara tidak langsung merupakan bentuk lain dari perpanjangan masa jabatan presiden.
Menunda Pemilu tidak memerlukan argumentasi prestasi, melainkan cukup dengan alasan situasional. Itulah sebabnya narasi yang dibangun berputar-putar pada soal pandemi Covid-19 atau situasi perekonomian bangsa yang tidak stabil. Padahal, justru karena berlarutnya dua permasalahan ini maka Pemilu harus dilakukan tepat waktu, tidak menunda-nunda lagi. Semakin ditunda, semakin menutup harapan bagi bangsa untuk segera beranjak dari keterpurukannya.
Narasi lainnya adalah atas nama keinginan rakyat. Tapi ini tak layak dijadikan diskursus karena indikatornya juga tidak jelas. Rakyat yang mana? Studinya berdasarkan apa? Semua kabur, tetapi dengan gagah dijadikan dalil pembenar. Ah, rasanya, baru kali inilah situasi politik negeri sungguh kehilangan akal sehat.
Untungnya, kita masih bisa bernapas lega. Mayoritas Parpol di DPR menolak gagasan penundaan Pemilu. Media melaporkan, dari sembilan partai politik (parpol) di parlemen, setidaknya sudah lima parpol yang menolak gagasan penundaan Pemilu 2024. Kelima parpol itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan terakhir Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kita berharap, Ketua Umum Parpol ini tetap dengan sikapnya, tidak mengikuti sikap tiga Ketua Umum Parpol yang begitu mudah menelan ludah. Kita tahu, rencana pelaksanaan pada 14 Februari 2024 telah disepakati oleh DPR, Pemerintah, dan KPU. Konstitusi mengatakan, Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali, tidak lebih, tidak juga kurang. Maka usulan menunda Pemilu dapat dimaknai seruan melawan konstitusi.
Apa jadinya jika pemilu ditunda? Siapa yang bakal menjadi presiden? Bagaimana dengan menteri-menterinya? Apa dasar hukum bagi presiden selama rentang waktu penundaan itu? Sederet pertanyaan ini harus diajukan karena pemerintahan Joko Widodo pasca 2024 jelas tidak memiliki legitimasi hukum.
Sementara itu, UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Pelaksana tugas kepresidenan memang dimungkinkan oleh pasal 8 UUD 1945 dijabat Menteri Dalam Negeri. Tetapi itu hanya jika presiden dan atau Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan. Lagi pula, masa jabatan Mendagri akan berakhir seiring berakhirnya masa jabatan presiden.
Kalaulah Jokowi-Ma’ruf Amin dipaksakan tetap memimpin, maka pasangan ini dan para menterinya ilegal, termasuk MPR, DPR dan DPD yang siklus pemilihannya ikut dalam Pemilu. Jika penyelengara negara ini ilegal, Ketua Umum PBB yang juga ahli hukum tata negara mengatakan, rakyat tidak ada kewajiban apapun untuk mengikuti. Dan negara akan kacau sekacau-kacaunya.
Pada akhirnya, gerakan people power akan mencari celah dan legitimasinya sendiri. Sinyalnya mulai muncul. Belum lama ini, Partai Buruh menyatakan akan memimpin gerakan people power bila gagasan itu tetap dipaksakan. Risiko people power tentu tidak sedikit. Namun setidaknya gerakan rakyat memiliki landasan konstitusionalitas yang jauh lebih kuat ketimbang gagasan konyol penundaan Pemilu.
Maka, para Ketum Parpol pengusung ide penundaan pemilu seharusnya menyadari situasi buruk di atas. Taruhannya bukan hanya masa depan partai politik, tetapi masa depan Indonesia secara keseluruhan. Memang sangat mengherankan. Bagaimana mungkin tiga Ketum Parpol seperti dalam satu komando mengusulkan sesuatu yang melawan konstitusi dan berpotensi besar merusak negeri?
Lamat-lamat, ada isu ide itu mereka lontarkan di bawah tekanan. Sinyalemen ini disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti. Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menduga ada pihak tertentu yang ingin mempertahankan dan tidak ingin kehilangan kekuasaannya terkait ide penundaan Pemilu 2024.
Siapa orang itu? Kita tak tahu. Namun, Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menduga bahwa usulan penundaan Pemilu 2024 datang dari Presiden Joko Widodo. Feri membangun logika, tidak mungkin para Ketum Partai menyampaikan ide penundaan pemilu yang notabene melawan konstitusi jika tidak karena keinginan dari presiden.
Betulkah ide itu datang dari Jokowi? Wallahu a’lam. Tentu hanya tiga Ketum Partai pengusung ide penundaan Pemilu dan presiden Jokowilah yang bisa menjawab.
Presiden Jokowi sebaiknya merespon persoalan ini tidak hanya sebagai pihak tertuduh, melainkan juga sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang paling bertanggung jawab terhadap arah perjalananan negeri: bertumbuh atau menuju titik nadir.
Komentar