Oleh: Tarmidzi Yusuf
(Pegiat Dakwah dan Sosial)
JUDUL di atas tidak asing lagi bagi kita. Tagline yang sangat familiar. Tidak saja bagi warga Jakarta, bahkan gaungnya seantaro nusantara. Saking serunya Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Maju kotanya. Parameternya sederhana. Fisik. Mengukur kemajuan sebuah kota. Tidak pakai ngejelimat. Paling mudah mengukurnya dari pembangunan infrastruktur. Kasat mata. Ngitungnya pun tidak pakai rumus atau hitungan lainnya.
Jakarta International Stadium (JIS) sebagai karya monumental contohnya. Contoh lain. Menghadirkan integrasi dalam bermobilitas. Moda transportasi Jakarta makin terintegrasi. Paling Gress simpang temu CSW-ASEAN atau Skybridge di simpang Centrale Stichting Wederopbouw (CSW) dan jembatan penyeberangan orang (JPO) Karet Sudirman. Menambah indah Jakarta sebagai kota modern kelas dunia.
Kemajuan kota bisa pula diukur dari pertumbuhan ekonomi hingga indeks pembangunan manusia. Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada tahun 2017 sebesar 6,22% naik pada tahun 2019 menjadi 6,23%. Menariknya, seiring mulai terkendalinya Covid-19, pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan kedua 2021 sebesar 10,91% dan tumbuh 2,43% di triwulan ketiga.
Demikian pula dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di DKI Jakarta mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tahun 2019 IPM Jakarta tercatat 80,76 naik menjadi 80,77 pada tahun 2020 dan 81,11 pada tahun 2021. Pencapaian tersebut membuat DKI Jakarta berada pada peringkat dengan nilai IPM tertinggi di Indonesia. Bahkan secara total, nilai IPM DKI Jakarta berada jauh diatas IPM Nasional yaitu sebesar 71,92.
Jakarta sangat berbeda jauh setelah Anies Rasyid Baswedan menjadi Gubernur. Pangling kata orang Sunda, bila Anda menelusuri ibu kota hasil besutan Anies Baswedan. Gubernur yang tak banyak berwacana tapi karya-karyanya dirasakan oleh semua warga. Tidak hanya oleh warga Jakarta. Tapi dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia bila berkunjung ke Jakarta.
Yang agak susah mengukur indeks kebahagiaan warga. Tidak hanya warga Jakarta tapi juga warga diluar Jakarta. Bahagia itu abstraks dan relatif. Masing-masing warga punya persepsi dan parameter masing-masing.
Berdasarkan data BPS tahun 2021, Indeks Kebahagiaan warga Jakarta berkisar di angka 70,68. Angka ini mengalami penurunan 0,65 poin dari sebelumnya 71,33 pada 2017 lalu.
Seperti dilansir dari detikcom (1/1/22). Beragam reaksi warga Jakarta tentang bahagia tidaknya. Jakarta keras, Kak!” ucap seorang buruh bernama Novi (20). Saat ditanya apakah bahagia? Novi menjawab ringkas, syukuri aja. Demikian pula dengan seorang juru parkir. Joko (29) namanya. Ketika ditanya apakah Anda bahagia tinggal di Jakarta? Ya, alhamdulillah bahagia jawab Joko.
Bahagia itu rasa. Sulit untuk mengukurnya. Hanya dapat dirasakan dan dilukiskan tapi tak berwujud. Masing-masing warga punya parameter sendiri. Ukuran bahagia itu bukan materi dan menteri.
Bisa jadi anak-anak sangat berbahagia saat bertemu gubernur idolanya, Anies Rasyid Baswedan di Danau Cincin. Ekspresi kebahagiaan para anak-anak tadi bermacam-macam. Bisa berupa bahan obrolan berhari-hari. Atau foto bersama Gubernur Anies Baswedan jadi status WhatsApp dan foto profil. Dishare ke teman-teman. Bahagianya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Bagi buruh di Jakarta, betapa bahagianya ketika Gubernur Anies Baswedan menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 5,1%. Besaran kenaikan UMP yang tidak dialami di propinsi atau kabupaten/kota lainnya di Indonesia.
Bahagia itu adanya dihati. Bukan pura-pura apalagi sandiwara. Bahagia itu rasa tak bisa diraba. Tanpa beban dan mudah dijalankan. Bahagia bukan bebas masalah. Semua orang pasti punya masalah. Bedanya, sikap kita terhadap masalah. Rasa dan hati menjadikan masalah menjadi bahagia.
Ternyata, bahagia atau tidaknya hidup seseorang itu, bukan ditentukan oleh seberapa kayanya, tenarnya, cantiknya, kuasanya, sehatnya atau sesukses apapun hidupnya.
Tapi yang bisa membuat seseorang itu bahagia adalah dirinya sendiri. Mampukah ia mensyukuri semua yang sudah dimilikinya dalam segala hal, seperti Joko juru parkir itu.
Kalau kebahagiaan bisa dibeli, pasti orang-orang kaya akan membeli kebahagiaan itu. Dan kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan karena sudah diborong oleh mereka.
Kalau kebahagiaan itu ada di suatu tempat, pasti belahan lain di bumi ini akan kosong karena semua orang berbondong-bondong akan ke sana. Berkumpul di mana kebahagiaan itu berada.
Untungnya kebahagiaan itu berada di dalam hati setiap manusia. Kita tidak perlu membeli atau pergi mencari kebahagiaan itu.
Yang kita perlukan adalah hati yang bersih dan selamat serta pikiran yang jernih. Maka kita bisa menciptakan rasa bahagia itu kapanpun, di manapun dan dengan kondisi apapun. Jika tidak memiliki apa yang disukai, maka sukailah apa yang dimiliki saat ini.
Bukan karena hari ini Jakarta maju, lantas kita bahagia. Karena kita bahagia, Jakarta hari ini maju.
Komentar