RUU PKS/T-PKS, Legitimasi akan Seks Bebas?

Oleh Chandra Purna Irawan SH MH
(Ketua LBH Pelita Umat)

BADAN Legislasi (Baleg) DPR menyepakati draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi usulan inisiatif DPR. Ada tujuh fraksi yang menyatakan setuju

Dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal I poin 1 RUU PKS dijelaskan kekerasan seksual adalah:
“Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.”

Sementara pada Bab dan pasal yang sama dalam RUU TPKS, kekerasan seksual diartikan sebagai:

“Setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.”

BACA JUGA :  Revisi UU ITE Harus Hadirkan Kedamaian

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

Pertama, bahwa perumusan norma kekerasan seksual yang diatur memuat frasa ‘secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas’.

Jika menggunakan tafsir argumentun a contrario mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada ‘persetujuan dan tanpa paksa.’ maka hubungan seks di luar pernikahan tidak dapat dipersoalkan dan hal ini dikhawatirkan menjadi legitimasi bagi pihak manapun yang ingin melakukan seks di luar pernikahan berbasis persetujuan;

Kedua, bahwa sudah sepatutnya Indonesia memiliki aturan hukum yang melarang perzinaan atau hubungan seks di luar pernikahan. Aturan ini akan melindungi kehormatan, harkat, martabat wanita dan juga melindungi kerusakan moral bangsa. Aturan larangan zina dapat dilakukan dengan perluasan pasal 284 KUHP. Selama Pasal 284 KUHP diterapkan jika pelaku zina telah menikah.

Ketiga, bahwa menurut pihak yang mendukung maraknya kekerasan seksual disebabkan karena tidak adanya payung hukum komprehensif yang mengatur upaya penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual sesungguhnya merupakan permasalahan sistemik. Sistem pergaulan dalam bingkai sekularisme telah melahirkan budaya permisif hedonis yang membebaskan syahwat manusia.

BACA JUGA :  Anies dan Kapal Besar Indonesia

Ketiadaan perlindungan negara dalam mengatur tata pergaulan di masyarakat telah berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan seksual pada perempuan.

Komentar