Oleh: Dr Chazali H. Situmorang, M.Sc
(Dosen FISIP UNAS-Pemerhati Kebijakan Publik)
ISTILAH Peng-Peng sekarang ini, sangat populer di masyarakat. Terlebih setelah Majalah Tempo 1-7 November 2021, mengangkat isu Para Penikmat Cuan PCR, antara lain ada perusahaan PT. GSI Lab, yang laboratoriun PCR-nya bertebaran di Jakarta ini, dan di antara pemegang sahamnya ada 2 menteri yang merupakan pejabat publik yang ditugaskan Presiden Jokowi mengendalikan Pandemi Covid-19.
Juru bicara masing-masing menteri sibuk membela diri. Menteri BUMN Erick Thohir melalui staf khususnya, Arya Sinulingga, memberikan klarifikasi. Arya menjelaskan isu yang menyeret Erick Thohir tersebut sangat tendensius.
Berdasarkan data yang ada, ujar Arya, sampai kemarin tes PCR di Indonesia sudah mencapai 28,4 juta tes. Sementara tes PCR yang dilakukan oleh PT GSI baru mencapai 700 ribu tes atau 2,5 persen dari total tes PCR yang sudah dilakukan di Indonesia.
“Jadi kalau dikatakan bermain, kan lucu ya, 2,5 persen gitu. Kalau mencapai 30 persen, 50 persen itu oke lah bisa dikatakan bahwa GSI ini ada bermain-main. Tapi ini hanya 2,5 persen,” ungkap Arya. Intinya ada pengakuan keterlibatan sebagai Peng-Peng walaupun “sedikit”.
Menteri yang satu lagi terakhir bicara langsung melalui Instagram. Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya memberikan klarifikasi yang ikut menyeret namanya. Dalam instagram storynya yang diunggah Kamis (4/11) melalui akun Instagram pribadinya, ia menegaskan bahwa dirinya tidak sedikit pun mengambil keuntungan dari bisnis yang dijalankan oleh PT GSI.
Ia menjelaskan, PT GSI tidak bertujuan untuk mencari keuntungan bagi para pemegang saham. Luhut menyebut PT GSI merupakan kewirausahaan sosial sehingga tes PCR dan antigen tidak bisa sepenuhnya diberikan secara gratis. Intinya juga ada pengakuan keterlibatan sebagai Peng-Peng walaupun untungnya “tidak diambil”, bahkan di “donasikan kembali”.
Sebagai pemegang saham, berapapun besarnya, jika perusahaan untung akan mendapatkan deviden yang menjadi hak pemegang saham. UU Perseroan Terbatas menyatakan begitu. Soal deviden itu diambil atau tidak, tidak jadi soal, itu persoalan personal, dan tidak ada yang perlu tahu, karena itu wilayah private. Apa untuk kegiatan sosial, amal ibadah, atau untuk kawin lagi, tidak menjadi urusan perusahaan.
Sebagai pejabat publik, seorang menteri itu yang diperlukan oleh rakyatnya, bagaimana kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik ditujukan dan bermanfaat untuk kepentingan rakyat, dan untuk mensejahterakan rakyat, bukan sebaliknya menambah beban kehidupan rakyat.
Jika berniat membantu masyarakat, bagi seorang menteri yang dibutuhkan adalah membuat kebijakan yang wise, sehingga masyarakat dimudahkan, diringankan, apalagi dalam situasi pandemi Covid-19, ekonomi terpuruk, pendapatan menurun. Itu saja cukup. Insya Allah mereka itu akan mendapat tempat di hati rakyat sepanjang masa.
Pejabat publik, tidak perlu menyampaikan kebijakan private yang dilakukan, dan menempatkannya seolah-olah itu kebijakan pemerintah. Menteri tidak perlu mencampurkan public goods dengan private goods. Bisa bias.
Kasus tarif Swab-PCR, tidak terlepas terjadinya hubungan mesra antara policy maker (penguasa/pejabat publik), dengan business maker (pebisnis). Bahkan kedua peran itu ada pada satu orang. Ya dia juga pembuat kebijakan publik, dan dia juga pebisnis yang mengimplementasikan kebijakan publik itu secara langsung atau tidak langsung.
Peng-Peng’ adalah istilah yang digunakan Rizal Ramli untuk menyebut pejabat yang memiliki kekuasaan sekaligus menjadi pengusaha. Singkatnya bisnis kekuasaan.
Hulu dari bisnis kekuasaan adalah di kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik yang direncanakan. Seringnya berubah kebijakan dalam waktu singkat, salah satu indikasi terjadi peng-peng yang out put-nya semakin menyulitkan masyarakat secara material atau finansial, tetapi di satu sisi ada kelompok bisnis yang diuntungkan.
Dalam suasana pandemi Covid-19 ini, pemerintah menuntut masyarakat untuk mengikuti prokes dengan 3 atau 5 M. Sudah dilakukan. Pemerintah dalam rangka tanggung jawab konstitusional, berkewajiban melakukan 3 T, Tracing, Testing, dan Treatment. Untuk melaksanakan tracing, dan testing, pemerintah melakukan pembatasan gerak masyarakat dengan regulasi ketat bagi yang melakukan mobilisasi (perjalanan). Sampai di sini sudahlah, masyarakat patuh dan melaksanakan kebijakan pemerintah.
Persoalan timbul, saat menerapkan kewajiban pemerintah melakukan tracing dan testing tadi, masyarakat dibebani biaya test PCR yang awalnya jutaan rupiah bertahan lebih setahun, dan kemudian turun dan saat ini Rp. 275.000 s/d Rp.300.000 setiap melakukan Swab.
Ternyata selama hampir 2 tahun Swab-PCR berlangsung, perusahaan yang mendirikan laboratorium Test Swab itu, adalah beberapa menteri yang bertanggungjawab atas kebijakan pemerintah untuk pengendalian Covid-19. Apakah ini niat baik, atau niat jahat untuk cari untung, tentu menjadi wilayah KPK dan BPK.
Langkah berani dari Presiden Jokowi yang menurunkan harga Swab-PCR dari Rp. 1.5 juta menjadi Rp. 495.000. dan kemudian turun lagi menjadi Rp. 300 ribu – Rp. 275 ribu, merupakan pukulan telak bagi para menteri yang bertanggung jawab atas pengendalian Covid-19 di Indonesia.
Seolah-olah ingin mengambil hati masyarakat, diubah peraturan naik pesawat cukup menggunakan Test-Antigen, jika sudah vaksin 2 kali. Swab PCR diberlakukan jika vaksin baru satu kali.
Apakah hal tersebut meredakan kekecewaan masyarakat? Ternyata belum. Suara semakin kencang menyuarakan agar menteri terkait diperiksa KPK. Nada-nada marah masih terus “mengalir” di medsos.
Untuk mendinginkan bola panas yang terus bergulir, Presiden Jokowi membuat kebijakan baru, yaitu meunjuk Menko PMK Prof. Muhadjir Effendy untuk menangani Covid-19 terutama menjelang natal dan tahun baru mendatang ini.
“Bapak Presiden sudah memberikan arahan nanti Pak Menko PMK yang akan menjadi koordinator untuk memastikan di periode Nataru tahun ini dan awal tahun depan agar tak menjadi lonjakan kasus konfirmasi,” ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam jumpa pers, Senin (1/11/2021).
Langkah ini tepat walaupun terlambat daripada tidak sama sekali. Efektifitas menteri yang ditunjuk sebelumnya, mungkin sudah diragukan Presiden. Maka dikembalikan fungsi koordinasi kepada Menko yang sebenarnya menjadi lingkup tugasnya mengkoordinasikan kementerian terkait persoalan Covid-19.
Figur Prof Muhadjir jauh dari kepentingan bisnis. Orangnya low profile, tidak meledak-ledak, kelihatannya tidak punya kepentingan politik, kecuali politik kerakyatan.
Mohon sabar Prof, jika harus mencuci piring kotor sisa makanan yang ditinggalkan penghuni sebelumnya. Niatkan saja “berikhtiar menuju kebajikan, dan kemaslahatan manusia” .
Cibubur, 8 Nopember 2021
Komentar