TILIK.ID — Tuntutan mahasiswa melalui demo yang dimotori Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di Hari Sumpah Pemuda menjadi topik hangat media. Ada 10 tuntutan mahasiswa melalui aksi massa yang digelar serentak di berbagai wilayah Indonesia namun tidak dipenuhi.
Karena itu, INews TV mengangkatnya dalam program INews Prime dengan nara sumber Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin dan Koordinator Hukum, HAM dan Korupsi BEM Indonesia Raihan Fudloli.
Dalam penjelasannya, Raihan yang mewakili BEM SI mengatakan 10 tuntutan mahasiswa didasati oleh kemunduran dalam pengelolaan negara yang dipimpin oleh Presiden Jokowi. Kemunduran negara di berbagai sektor menjadi perhatian pemuda dan mahasiswa.
“Kami turun lagi di Hari Sumpah Pemuda ini karena tuntutan mahasiswa belum terpenuhi. Jadi kita lanjutkan turun lagi hari ini,” kata Raihan.
Di antara sepuluh tuntutan itu, Raihan mengatakan salah satunya yang harus dicabut adalah Permen Kemendikti yang mengatur kebebasan mimbar akademik di kampus. Juga soal UU ITE yang membatasi pendapat publik karena ancaman delik aduan.
“Kebebasan mimbar akademik adalah salah satu tuntutan kami. Faktanya banyak teman-teman mahasiswa yang harus diberhentikan, suara kritis dibatasi dan harusnya kampus mengakhiri semua itu,” kata Raihan.
Dikatakan, sanksi dan penangkapan kepada mahasiswa yang bersuara kritis, baik dilakukan di kampus maupun demo-demo di jalan dan di ruang digital harus dihentikan.
“Hari ini, Bang. Kementerian bisa
menghapus itu. Tinggal dilakukan atau tidak malakukan. Masalahnya ada keinginan atau tidak,” tambah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang ini.
Menanggapi itu, Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, Pemerintah Indonesia berdasarkan UUD tahun 1945 memberikan kebebasan kepada siapa saja, termasuk mahasiswa untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya di ruang publik.
“Kalau Raihan menyebutkan soal kebebasan berpendapat dan berekspresi di kampus, itu sudah diatur dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Aturan turunannya memberikan ruang kepada mahasiswa untuk melakukan langkah-langkah untuk berkembang,” kata Ngabalin.
Ngabalin juga memastikan Presiden Jokowi memberikan ruang berpendapat kepada mahasiswa. Sama halnya dengan masyarakat, Presiden juga selalu terbuka
memerima kritikan.
“Jadi Mas Latief (host) ini normal saja, dan kita apresiasi kepada Raihan dan kawan-kawan,” katanya lagi.
Namun Ngabalin mengatakan, narasi-narasi dari mahasiswa jangan sampai mendapat penilaian dan tuduhan dari publik karena politik praktis. Mahasiswa itu juga adalah representasi dari masyarakat dalam menyampaikan pendapat dan pikiran.
Tuduhan mahasiswa berpolitik praktis oleh Ngabalin itu membuat Raihan heran. Kemana arah tuduhan tersebut, karena pada dasarnya menyampaikan pendapat itu dijamin di negara demokrasi.
“Arahnya kemana tuduhan politik praktis itu. Kalau disebut mundur, kan memang tidak sesuai dengan narasi Kabinet Indonesia Maju. Ini tidak maju, malah secara rasional terjadi kemunduran,” kata Raihan.
Dikatakan Raihan, jika memang pemerintah tidak sanggup menjamin kebebasan berpendapat, demokrasi di dalam kampus dan demokrasi secara umum, penuntasan pelanggaran HAM berat dan janji-janji kampanye Jokowi-Maruf Amin, tidak masalah kalau diminta mundur.
Terkait itu, Ali Ngabalin berharap bahwa tuntutan apapun dari mahasiswa mestinya disertai dengan data-data yang valid. Jangan manyebut ada kemunduran namun tanpa data yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Ciri mendasar dari mahasiswa itu adalah menggunakan data-data yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Coba nanti kasi kami data yang bisa diterima publik,” kata Ali Ngabalin.
Raihan Fudloli pun menegaskan bahwa tuntutan mahasiswa telah melalui kajian yang lama dan komprehensif, tidak asal bicara. Kesimpulannya adalah Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Jokowi-Maruf Amin lebih tepat disebut Kabinet Indonesia Mundur.
Raihan mengatakan, tidak hanya janji politik yang tidak dipenuhi tapi juga banyak permasalahan-permasalahan lain di ruang publik melalui ruang digital. Salah satunya UU ITE yang membuat kita jadi terbatas dalam berpendapat.
“Sekarang saya live dengan Abang, salah ngomong saya bisa dipidana, karena pasal-pasalnya miltitafsir, pasal karet, bisa dijadikan delik hukum,” kata Raihan.
Ali Ngabalin kemudian minta menunjukkan siapa yang pernah dipenjarakan oleh Jokowi-Maruf Amin melalui IU ITE. UU ini, katanya, tentu tidak akan membiarkan setiap warga difitnah, dicacimaki di ruang publik.
Raihan mengatakan, kritik dibenarkan di alam demokrasi, termasuk di ruang publik. Kritik konstruktif adalah bentuk partisipasi rakyat kepada pemerintah. Itu risiko sebagai pejabat publik.
“Kalau kritik dilawan dengan UU ITE, maka jelas itu membatasi masyarakat sipil untuk melakukan kritik. Penyelesaiannya jangan pakai UU ITE yang multitafsir itu,” jelas aktivis HMI dari Undip ini.
Di akhir dialog, Ali Mochtar Ngabalin
mangajak Raihan dan kawan-kawan untuk mencari waktu mendiskusikan di kantor KSP. Namun Raihan mengaku lebih mengapresiasi jika tuntutan mahasiswa dipenuhi.
“Kita berterima kasih. Tapi kami lebih mengapresiasi pemerintah dan legialslatif jika memenuhi tuntutan kami yang sudah kami berikan,” tegas Raihan Fadloli. (lms)
Komentar