TILIK.ID — Dalam sejrah Orde, Soekarno awalnya sangat kuat. Dukungan rakyat tidak saja dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Soekarno menjadi idola, menjelang kemerdekaan maupun maupun sesudah kemerdekaan.
Tetapi pada perjalanannya, atau pada tahun 62-63-64, kepemimpinan Soekarno sudah mulai terasa memudar, apalagi saat terjadi pemberontakan G 30 S PKI di mana saat itu presiden Soekarno dalam kondisi sudah tidak terlalu fit, sudah tidak sehat.
“Kepemimpinan dan kebijakan Soekarno membuat bangsa bergejolak dan akhirnya Orde Lama tumbang,” kata politisi lintas masa Sofhian Mile dalam program Tilik Bang Sem di Salam Radio Channel, Rabu malam lalu.
Menurut mantan anggota DPR selana 15 tahun ini, pada masa Orde Baru pun terjadi seperti itu, ada kebijakan kebijakan yang ditempuh, yang tadinya dianggap bagus tetapi belakangan dianggap tidak populis, bahkan mungkin ada aspek ketidakadilan tersentuh di situ.
“Karena itulah muncul voters-voters dan protes dari kelompok kecil yang kemudian berkembang menjadi kelompok massa yang besar,” kata Sofhian Mile.
Pada siaran podcast dengan host N Syamsuddin Ch Haesy itu, Sofhian Mile yang besar di Golkar tersebut menyatakan, gejolak pada tahun 1998 muncul kelompok-kelompok dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang sebelumnya didahului oleh kelompok pekerja atau buruh dan pers yang dibreidel, yang tidak diberikan kebebasan.
Menurut Sofhian, semua itu kemudian berkembang menumpuk menjadi kekecewaan publik, menjadi pointed di semua stakeholder yang kemudian menimbulkan protes keras.
“Jadi, gejala-gejala seperti itu di senua pemerintahan, di semua rezim, selalu ada. Namun jika pemerintahan itu mampu mengatasi persoalannya, maka situasi bisa diatasi,” kata Sofhian Mile.
Dikatakan, masalah kebijakan ekonomi, sosial, dan ideologi yang berat selalu dikaitkan dengan poliitik. Di jaman Orde Lama, istilah ‘politik adalah panglima’ begitu kuat didengungkan sampai di jaman Orde Baru.
Berbeda dengan pemerintahaan Orde Baru, paradigma politik pelan-pelam ditinggalkan, dan yang dikedepankan adalah paradigma ekonomi dan pembangunan.
Menurut Sofhian Mile, paradigma politik dan ekonomi, keduanya sebetulnya memiliki strong point di dalamnya, ada faktor kekuatan yang diyakini pemimpinnya, kemudian menjadikannya sebagai slogan. Mereka patuhi slogan-slogan itu karena keyakinan politik.
“Dibandingkan dengan kondisi sekarang ini, di pemerintahan Jokowi yang sudah masuk pada tahun kedua, tahun kedua berarti sudah mau berakhir, kelihatannya berkonsentrasi pada sektor pembangunan, lebih detailnya adalah infrastruktur. Ini yang menjadi idola dari pemerintahan sekarang,” katanya.
Namun, menurut mantan Bupati Luwuk Banggai ini, mengapa kelompok-kelompok kritis semakin banyak. “Jika dikaji, masalahnya karena faktor keadilan. Jadi kalau kita garis bawahi ini faktor keadilan,” ungkapnya.
“Keadilan menjadi kebutuhan kita sekarang ini, yang menjadi barang langka. Jika ini disadari oleh pemerintah kemudian diperbaiki, saya kira perbedaan tajam yang berpotensi membawa gejolak akan mereda,” kata Mile lagi.
Ketidakadilan, kata dia, baik ketidakadilan hukum maupun ketidakadilan ekonomi, terasa nyata pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Juga terlihat pada penempatan person di dalam pemerintahan dan BUMN.
“Protes dan tuntutan dari kelompok kritis serta masyarakat swmakin besar karena melihat ada diskriminasi yang terjadi di dalam kelompok-kelompok masyarakat ini,” kata Sofhian Mile.
Dikatakan, jika pemerintah menyadari ini dan berusaha keluar dari problem ini, mungkin masalah bisa terselesaikan. Tapi kalau diamati, memang terasa tidak ada perbaikan sampai periode kedua ini.
“Sebagai anak bangsa, kita berkewajiban untuk bicara, bukan saja mengkritisi, tapi juga salalu memberi perhatian, warning agar jangan sampai terulang kembali peristiwa-peristiwa besar yang berdampak buruk pada bangsa, pada kondisi masyarakat,”” ujar Sofhian Mile.
Dia melanjutkan, sebagai warga bangsa kita punya kewajiban menjaga ini semua. Konstalasi politik yang buruk mari kita perbaiki sama-sama. Soal ekonomi, soal keadilan sosial, samua itu menjadi tanggung jawab kita.
“Jangan kemudian kita menutup diri, atau sengaja membungkus iseolah-olah ini tidak ada, tidak terjadi apa-apa. Mengkritisi lebih baik daripada memuja-muja. Memuja-muja sebenarnya bukan dukungan,” kata mantan Ketua Komisi V DPR RI ini.
Sofhian kembali membandingkan era Soeharto dengan era Jokowi. Di masa Orde Baru, sangat kuat istilah KKN, untuk menggambarkan fenomena ketidakadilan dan ekonomi.
“Namun KKN di era Soeharto itu mungkin tidak sampai 50 persen dibanding sekarang. Jaman Orde Baru itu kecil sekali presentasi KKN-nya dibandingkan dengan sekarang,” beber Sofhian Mile.
Sekali lagi Sofhian mengajak publik tidak masuk ke bilik yang memungkinkan terpecah. Seharusnya tetap berangkat dengan keinginan bagaimana ingin sukses, tidak ada perpecahan, persatuan bisa terpelihara dan bangsa ini bisa selamat.
“Saya kira ini pikiran ideal dan tidak mudah kita sampaikan ini. Pemerintahan yang berkuasa kita harap bisa segera membuka diri untuk bisa menerima pikiran-pikiran ktitis. Mari i kita buka dialog yang lebih panjang , lebih luas,” katanya.
Terkait kelompok yang menutup diri pada pikiran-pikiran kritis, yang dalam istilah sekarang bisa dikatakan kelompok buzzer, menurut Sofhian Mile, mereka ini terpelajar, bukan orang bodoh. Namun sebaiknya dibimbing.
“Kalau marreka dipelihara oleh penguasa atau orang yang menumpang di penguasa, ya mereka harus diedukasi juga. Jangan semua hal mereka anggap baik, tidak ada hal yang keliru, tidak ada hal yang salah. Ini kan berbahaya,” urai Mile.
Pemimpin yang ada seharusnya bisa membuka diri. Mungkin ada juga kelompok-kelompok lain yang tau kondisi bangsa ini, namun tidak memungkinkan dapat akses ke presiden.
Sebaliknya para person-person yang ada di lingkaran presiden memiliki keterbatasan, datanya tidak komprehensif, karena kurang membuka ruang dialog.
“Ini satu hal yang saya kritisi bahwa pemerihtag harus membuka ruang untuk didengarkan yang lain-lain,” ujarnya.
Tahun 2021 satu ini seharusnya Indonesia sudah bisa berdiri sejajar dengan negara negara lain meskipun ada problem ekonomi, beban utang, pandemi, dan lain lain.
“Jadi sebaiknya kita terbuka dan mau dikritisi soal ini. Karena ini berbahaya. Berbahaya,” ujarnya.
Sofhian Mile mengatakan, jatuh nya pemerintahan Orde Baru itu bukan saja faktor KKN, tapi ketika utang tidak bisa terbendung lagi. Ekonomi tergerus sekitar 85 persen, nilai tukar Rupiah mencapai Rp 17.000 per dolar.
“Sekarang ini Rp 14.000 dan sudah berlangsung setahun lebih. Jangan kita lalai, Kita mungkin terninabobokkan bahwa Rp 14.300 tetap aman saja kok. Jangan seperti itu, jangan sampai kita terlena sehingga bisa semakin memburuk,” kata Sofhian Mile. (bms)
Komentar