bang sém
SAYA ingin mengucapkan terima kasih kepada Anies Rasyid Baswedan, yang kebetulan sedang mengemban amanah sebagai Gubernur DK(I) — I dalam kurungan — Jakarta.
Banyak hal yang menjadi pertimbangan saya untuk berterima kasih. Selain karena dia telah memberi teladan baik bagaimana menjadi pemimpin yang tidak kupis (kuping tipis), tidak balka (tebal muka), dan terlatih sebagai ‘pegulat’ tangguh dalam menghadapi aneka tekanan dan menepis kuasa-kuasa oligarki.
Saya juga berterima kasih kepada dia, lantaran eksistensi dan kapasitasnya sebagai pemimpin kaliber dunia, dia tidak songong, dan selalu memberi contoh bagaimana memuliakan anak-anak dan para orang tua atau dituakan.
Pemimpin yang tanpa dibuat-buat dan dapat dilihat dengan mata fisik dan mata batin, sebagai seorang intelektual yang mampu memilih dan memilah mana pembenaran dan mana pula kebenaran.
Dari dia saya belajar, bagaimana menjadi seorang demokrat yang berkomitmen pada keadilan dan kesejahteraan.
Saya juga belajar dari dia, bagaimana menjadi seorang cendekiawan yang paham sosialisme dan kapitalisme tanpa harus menjadi seorang sosialis atau kapitalis. Memahami filosofi dan agama sebagai cara hidup (berfikir, bersikap, dan bertindak), tanpa harus menjadi failasuf dan ulama.
Meski setiap kali melihat sosoknya, selalu terbayang allahyarham kakeknya, pahlawan nasional yang jelas jejak dan kontribusi perjuangannya bagi bangsa ini. Namun, dia adalah dirinya: Anies Rasyid Baswedan.
Saya teringat sahabat saya, seorang petinggi di lingkungan Kantor Perdana Menteri Malaysia (2012), yang dengan sangat yakin memprediksi Anies sebagai pemimpin masa depan yang menjadi salah satu figur penting representasi ASEAN di kancah dunia. Prediksi itu terbukti.
Saya beterima kasih kepada dia, karena keberadaannya, masih memungkinkan saya rada bangga di antara kolega, bahwa demokrasi tak pernah mati di Indonesia.
***
Saya juga ingin berterima kasih kepada Rocky Gerung (RG). Sosok intelektual yang konsisten dengan tanggungjawab menjaga dan memelihara akal sehat di tengah arus besar pusaran politik ‘akal-akalan.’
Dengan sikapnya itu, RG menyediakan dirinya sebagai pelantang aspirasi dan nurani rakyat, sehingga suara yang selama ini tersimpan dalam ‘diam,’ masih terasa resonansinya.
Tak hanya karena dia membuka seluruh pintu dan jendela rumah batin banyak khalayak untuk melihat realitas persoalan tidak lewat lubang kunci, melainkan dengan berdiri di beranda. Juga, karena dia menjadi penanda pentingnya simpul kesadaran memelihara sisa daya untuk terus menjadi manusia merdeka.
RG dan sejumlah koleganya tak pernah henti mengusik kesadaran kita untuk senantiasa terjaga dan waspada terhadap ‘anomali’ politik, ekonomi, dan sosial yang kerap mengembuskan berbagai isu yang bisa menjadi ‘angin koncang’ menebar kepandiran di tengah arus singularitas, sehingga kita tak mampu melayari transhumanitas.
Khasnya, ketika arus besar materialisme bakal mendorong siapa saja menjadi barisan zombie di tengah perubahan zaman yang kian tidak jelas.
Tentu saya kudu berterima kasih ribuan tenaga kesehatan, yang konsisten dan konsekuen dengan tugas dan tanggungjawab profesional mereka dalam menghadapi coronastrope, nanomonster Covid-19.
Tak hanya karena mereka setia merawat para penderita korban virus – zoonosis. Virus yang langsung tak langsung juga tersebab oleh menurunnya daya dukung ekologi dan ekosistem kehidupan manusia. Antara lain, karena terjadinya alih fungsi lahan secar besar-besaran.
Lebih dari itu, kesusahpayahan para petugas kesehatan, yang setiap saat menjadi sasaran ancaman nanomonster Covid-19, menunjukkan, betapa selama ini sistem kesehatan kita begitu rapuh.
Setarikan nafas, budaya hidup sehat kita, sangat parah. Terutama, ketika gaya hidup yang terbentuk oleh kapitalisme global melemahkan imunitas diri.
Dalam situasi demikian, yang cenderung menguat adalah imunitas politik kalangan tertentu, misalnya politisi yang hilang daya sebagai negarawan. Meski demikian, imunitas itu menjadi sangat lemah ketika berhadapan dengan virus oligarki, sebagai konsekuensi logis dari pragmatisme politik dan politik transaksional.
Terutama, ketika sebagian besar politisi yang mampu melakukan aksi ‘silap mata,’ lantas mendapat ‘amanah’ dari rakyat di parlemen — dengan bekal pengetahuan dan tanggungjawab sosial pas-pasan — dimanjakan oleh fasilitas yang membuatnya berjarak dengan rakyat.
Saya berterima kasih kepada satu dua anggota parlemen yang konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat yang diwakilinya. Pun, kepada satu dua anggota parlemen yang karena keluguannya mau dan sukacita membuka rahasia ihwal fasilitas yang diberikan negara kepada mereka. Mulai dari gaji, tunjangan ini itu, dana reses, dan dana aspirasi.
Dalam konteks ini, saya berterima kasih kepada Krisdayanti – penyanyi yang kali ini ‘bernyanyi’ tentang sesuatu yang membuka mata rakyat tentang ‘dapur anggota parlemen.’
Tentu saya juga perlu berterima kasih dengan berbagai kalangan lain, yang mesti diekspresikan secara khas di kesempatan lain. Antara lain kepada para ulama dan kalangan yang konsisten memantik kesadaran saya sebagai manusia yang oleh Tuhan, diberikan modal dasar sebagai makhluk merdeka dan berintegritas. |
Komunitas Teri Jengki, 18.09.21]
Komentar