Dari Pilu ke Pilu

Bang Sém

SELAMA dua tahun terakhir, kita hidup di tengah pergerakan duka dan nestapa.
Hidup sebagian terbesar rakyat seolah begerak dari sansai ke lara, dari lara ke pilu, dan dari pilu ke pilu, berputar seolah arus katastrop yang tak menemukan jalan keluar.

Di tengah pandemi, bantuan sosial untuk rakyat dimaling. Di tengah pandemi bencana banjir dan longsor menghadang.

Mereka yang diterjang oleh coronastrope, bagai hidup dimainkan oleh gelombang virus, yang semula dilecehkan, dan kemudian menerjang kita dengan caranya sendiri.

Belum lagi was-was lenyap dari realitas kehidupan kita, Rabu (8.09.21) dinihari, tersiar kabar, 41 narapidana tewas di lembaga pemasyarakatan Tangerang, karena peristiwa kebakaran.
Penyebabnya, sebagaimana diberitakan media, adalah korsleting listrik. Tak sedikit yang mati, karena terjebak di dalam sel tahanan mereka.
Tersiar melalui media (arus utama dan sosial) rekaman gambar dinding sel yang hangus, jeruji dan pintu besi yang hangus.

Lembaga pemasyarakatan (lapas) di Tangerang, yang dulu pernah populer karena mengilhami lahirnya sebuah lagu bertajuk “Hidup Dibui,” itu memang penjara yang dibangun tahun 1970-an di atas bekas penjara lama.

BACA JUGA :  Pilkada Dalam Bayangan Kematian

Sistem kabelisasi listrik di lapas itu belum mengalami peremajaan, seperti yang tersirat dalam penjelasan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yasona Laoly.

Blok penjara telah dijejali lebih dari tiga kali lebih banyak orang daripada yang bisa ditampungnya.

Para pejabat mengatakan mereka telah meluncurkan penyelidikan atas apa yang memicu kebakaran, meskipun kecurigaan awal menunjuk ke korsleting listrik.

Yang mengejutkan dan mengusik rasa kemanusiaan adalah, penjelasan juru bicara Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Rika Aprianti, yang mengatakan, ketika kebakaran terjadi, 122 orang ditahan di blok C2 tahanan yang seharusnya menampung 38 orang itu.

119 orang ditahan karena kasus narkoba, 2 orang ditahan di situ karena kasus terorisme, dan 1 orang lagi, karena kasus lain. Dari 41 korban yang mati, 40 orang tahanan narkoba dan 1 orang tahanan kasus terorisme. Termasuk dua orang asing dari Afrika Selatan dan Portugal.

Dengan jumlah tahanan sebanyak itu dan penempatan mereka dalam sel sebegitu padat dan sesak, serta beberapa pintu sel susah dibuka, penyelamatan mereka susah dilakukan.

BACA JUGA :  Gibran vs Kotak Kosong

Untung ada Masjid, yang dipakai untuk menyelamatkan sementara korban yang selamat.

***

Bila pusaran arus derita semacam ini akan berakhir? Tak ada yang tahu, dan tak ada yang bisa memprediksi. Tapi, kabar duka semacam ini di antara berbagai kabar duka lainnya, sungguh membuat kiota miris. Sekaligus membuat kiota mengelus dada.
Terutama, ketika para petinggi politik (parlemen dan non parlemen, kecuali yang mengambil posisi di luar pemerintahan) dalam pertemuan terbatas tingkat petinggi, terkesan lebih berkonsentrasi kepada isu-isu yang dipaksakan. Antara lain, perpanjangan waktu masa jabatan Presiden, dan periodesasi kepemimpinan politik nasional.

Boleh jadi masih ada celah untuk berharap, kita segera keluar dari kepungan cooronastrope, sekaligus keluar dari jerat jaring oligarki kekuasaan.
Setarikan nafas, boleh jadi kita masih bisa berharap, tak berkurang kalangan yang bersikap kritis dan tak henti memberi peringatan kepada penguasa.
Setidaknya membuka katarsis sosial, atau paling tidak ventilasi politik, agar khalayak tidak terjebak oleh kabar buaian dan bualan, yang semakin membuat hidup terombang-ambing dalam ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan.

BACA JUGA :  Manuver Cawapres Tak Kalah Gesit Dengan Capres

Teriakan-teriakan ekspresif rakyat melalui mural, grafiti, poster dan pamflet, mudah-mudahan tidak tersumbat, sehingga arus informasi kritis tidak tertutup juga.
Pemerintah bersama seluruh kalangan khalayak perlu sama menjaga situasi kondusif, agar api kesadaran dan penyadaran terhadap beragam masalah yang kompleks, masih tetap menyala.
Bila tidak, kita kuatir depresi sosial akan menjalar, lantas membuat khalayak hidup dalam kegelapan. Bila ini terjadi, kita akan sampai pada situasi jauh dari keadilan yang diperjuangkan oleh pera pendiri bangsa ini.

“Keadilan tak ada di tempat yang gelap,” kata Kahlil Gibran. |

Komentar