Allah Tak Pernah Berjarak


catatan bang sém

SURAH Al Kautsar tentang nikmat yang berlimpah, menghiasi Idul Adha 1442 Hijriah, yang diselenggarakan di dalam lingkungan keluarga selama masa PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat.

Sebagian besar kabar tekstual, visual dan audiovisual melalui whatsapp group menyitir surah pendek terdiri dari tiga ayat itu. Dari berbagai riwayat, antara lain yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik, dikemukakan, firman Allah tersebut disampaikan malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW, menyusulnya wafat putranya, Ibrahim.

Wafatnya Ibrahim di Madinah dan sebelumnya, Qasim di Makkah, telah menyebabkan Rasulullah Muhammad SAW tak lagi memiliki anak laki-laki. Dari sistem budaya masyarakat Arab, patriaki, tiadanya putera laki-laki, merupakan putusnya nasab. Hal ini, menjadi kegembirakan bagi kaum kafir yang memusuhi dan menentang syi’ar Islam yang dilakukan Rasulullah.

Kaum kafir membayangkan, Rasulullah akan kehilangan spirit, sehingga akan melemahkan gerakan syiar – nida’ yang mereka ambil sebgai momentum untuk melakukan bully dan ‘tekanan psikologis’ kepada Rasulullah. Kaum kafir selalu cenderung mengambil momen kemalangan dan musibah yang dialami kaum mukmin, untuk beraksi, melakukan agresi dan intervensi jahatnya.

Anas bin Malik berkesaksian (sebagaimana diriwayatkan Ima Achmad), dalam suasana masih diselimuti duka, itu Rasulullah nampak menundukkan kepala. Lantas mengangkat kepalanya dan tersenyum. Para sahabat yang menyaksikan agak terkejut dan spontan bertanya, “Ada apa ya Rasulullah, sehingga engkau tersenyum?”

Lalu, Rasulullah menyampaikan informasi, bahwa dirinya baru saja menerima firman Allah dari malaikat Jibril. Rasulullah pun membacakan surah itu:

“Inna a’tainã kal kautsar. Fa salli lirabbika wan-har. Inna syãni’aka huwal-abtar.” Sesungguhnya Kami (Allah dan semesta yang diciptakan-Nya) telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhan-mu, dan berqurban-lah. Sesungguhnya para pembencimu, dialah yang terputus.

Lantas, Rasulullah menjelaskan ihwal Kautsar, telaga dari sungai-sungai yang diberikan Allah di dalam surga, yang di dalamnya terdapat kebaikan. Kelak, umatku akan mendatangi telaga itu di hari kiamat. Mereka membawa bejana yang bilangannya sama dengan bilangan bintang-bintang. Seorang hamba terusir dari telaga itu, sehingga Rasulullah berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya dia dari umatku.” Kemudian Rasulullah beroleh respon, “Sesungguhnya engkau tak tahu apa yang diperbuatnya sesudah (masa kerasulan) mu.” (HR Achmad).

BACA JUGA :  Politik Bandul Perubahan

Kaum kafir menyatakan, turunnya surah itu sebagai penghibur bagi Rasulullah yang sedang dalam keadaan dukacita. Padahal, tidaklah demikian.

Allah menyediakan Al Kautsar, karena ke telaga itulah, segala kebaikan dan kebajikan sejati. Alir kebaikan dan kebajikan yang tidak terkontaminasi oleh hasad, hasud, iri, dengki, khianat, inkar, dan segala kejahatan berat yang dianggap sepele.

Ketika melihat konteks esensial surah ini dengan Surah Al Waqi’ah, yang memberikan deskripsi tentang surga dan neraka secara maknawi, dan kepada siapa diperuntukkan, akan terasa hakikat Al Kautsar yang paradoks dengan Abtar.

Surga bagi golongan kanan yang teguh dalam tauhid, menjalani kehidupan berdasarkan ketentuan Allah dan pengajaran Rasulullah (syar’i) dalam menjalankan kehidupan sosial – ekonomi – budaya (muamalah) dilandasi peradaban mulia (akhlaq kariimah) dan golongan tengah yang menjadi telangkai antara generasi kaum beriman terdahulu ke generasi-generasi berikutnya secara konsisten (istiqamah) dan konsekuen.

Neraka bagi golongan kiri yang inkar, yang dalam hidup duniawi melakukan melakukan kehidupan yang bermegah-megahan, tamak, loba, rakus dengan harta dan kuasa, bakhil, pongah, jumawa, takabur, dzalim, khianat, dusta, dan melakukan kerusakan atas semesta (secara ekologis dan ekosistem) dengan ketidak-adilan dan dehumanitas. Tata kehidupan maksiyat (dalam makna yang luas), yang kelak berimbal dengan sesajian dari pohon zaqqum, air yang menggelegak, dahaga tak usai sudah. Inilah golongan yang tak menyadari dirinya.

Pandemi nanomonster Covid-19 yang kini kita alami, yang dengan berbagai pertimbangan asasi (aqli dan naqli) membatasi ‘ruang perjumpaan’ manusia dengan Al Khaliq – Rabb alamiin – di ruang semesta dan bait-Nya, melatih manusia – khasnya kaum beriman – menemukan cara (the way) untuk menjadikan rumah harafiah dan rumah isyarah (sukma), sebagai surga.

Baiti jannati, rumahku surgaku. Rumah dan ‘rumah’ yang mesti dikelola sebagaimana bait-nya dikelola, bersih dari segala noda dan dosa, bersih dari segala virus keburukan dan kejahatan – dari nanomonster yang menimbulkan penyakit sampai noktah segala kejahilan dimensional.

Dibersihkan dari kecenderungan menjadi sarang ghibah, buhtan, fitnah, riba, serta dari segala hal, termasuk ‘penyakit hati’ yang mengundang iblis dan syaithan ikut bersemayam di dalamnya. Rumah yang memungkinkan rahmat dan nikmat Allah yang melimpah ruah, terus terus mengalir, karena penghuninya selalu bersyukur nikmat, yang ditampakkan oleh tegaknya salat dengan segala sesandingnya.

BACA JUGA :  AWAS GEJOLAK SOSIAL

Shalat bersesanding dengan qurban dalam satu tarikan nafas, sebagaimana shalat dengan sabar dalam konteks ikhtiar, shalat dengan zakat dalam konteks aksi kehidupan.

Dalam konteks idul qurban di tengah masa pandemi, masa ketika Allah menyeleksi para insan yang beroleh kemuliaan sebagai syahid dan syahidah bagi kalangan insan yang beriman dan bertaqwa, serta petaka bagi kaum yang inkar, Surah Al Kautsar menjadi sangat relevan dan kontekstual. Sekaligus menjadi i’tibar bagi kaum yang berfikir.

Shalat adalah ibadah yang mendidik setiap muslim untuk selalu meningkatkan kualitas dan kualifikasi dirinya menjadi mukmin, muttaqin, dan muhsinin, sebagai mursyid yang mengemban fungsi sebagai representasi Allah di atas mukabumi – khalifatullah fil ardh.

Shalat melatih dan mendidik setiap insan yang berkewajiban menegakkannya untuk selalu bertasbih kepada Allah, menyadari eksistensinya yang bukan apa-apa dan tak sesiapa tanpa Allah. Selalu menyadari dan memahami, hanya Allah saja yang Maha Besar. Selalu menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu kembali kepada pemilik semesta termasuk dirinya. Selalu terlatih untuk melihat semesta yang amat luas, sebagai hamparan sajadah, karena ia diciptakan – dari tiada menjadi ada menuju tiada – untuk mengabdikan diri kepada Tuhan, insan sesama, dan semesta.

Untuk itu, Allah memerintahkannya membaca semesta, mengajarinya dengan kalam, mendidiknya dengan ujian – tantangan – cobaan yang memungkinkannya menguasai dan memanusiawikan sains dan teknologi. Dengan semua perangkat mulia (nalar, naluri, nurani, rasa dan dria) untuk menjalani hidup dan kehidupan sebagai sesempurna makhluk (ahsanit taqwiim) dan bukan sebagai hewan yang berakal, mencapai puncak ketinggia insaniah dengan sikap rendah hati; mencapai mahligai kebesaran dengan sikap tawaddu,’ sebagai al faqir, ad dhaif, sehingga selalu lapang dada. Dan karenanya, ia bersujud di bumi-Nya.

Qurban, melatih dan mendidiknya untuk selalu mempunyai kesadaran dan antusias menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek dan cinta kepada Allah, sesama manusia dan semesta dengan sepenuh keikhlasan dan kesabaran. Lantas, mampu menyerap isyarat Allah melalui berbagai fenomena semesta, termasuk pandemi nanomonster virus corona, untuk selalu menghadirkan Allah sebagai penguasa tunggal atas dirinya.

BACA JUGA :  KAHMI Jabar Tuntut Kembalikan Madrasah dalam RUU Sisdiknas

Telaga Al Kautsar itu menanti mereka, yang memahami realitas pandemi nanomonster virus corona sebagai isyarat untuk segera mendekat kepada Allah, karena Allah akan semakin dekat dengannya. Tak lagi di bait-Nya, bahkan di bait insani masing-masing, seraya memulihkan seluruh masjid sebagai bait Allah, termasuk ka’bah, sungguh tempat bersujud para insan bertaqwa. Masjid-masjid taqwa, dan bukan masjid-masjid dhirar. Mulai dengan mengembalikan kota Makkah yang terlindungi oleh-Nya sebagai Makkah al Mukarramah dan tidak akan pernah berubah menjadi Makkahattan.

Untuk itulah seluruh manusia harus membasuh tangan mereka dengan salsabil yang tak henti mengalir, sebagai isyarat melakukan kewajiban membersihkan kekuasaan dalam makna power clearing and power cleansing dari segala kepentingan sesat, sehingga sungguh menjadi kekuasaan yang memakmurkan dan berkeadilan.

Manusia harus memakai pelitup (masker) untuk melatih manusia mensyukuri nikmat oksigen alami yang disediakan gratis oleh Allah yang memungkinkan manusia memahami hakikat nafas, yang semestinya menyadari setiap manusia wajib menjaga dan memelihara semesta.

Manusia harus memutus mata rantai segala keburukan dan kejahatan sebagai pangkal petaka, dengan menjaga jarak kepada siapa saja yang dapat dijangkiti keburukan, dan lebih mendekatkan diri dengan Allah, sehingga tiada berjarak dengan-Nya. Karena Allah lebih dekat dari urat-nadimu.

Manusia harus menjauhkan dirinya dari kerumunan, karena selemah-lemahnya umat adalah kerumunan, untuk kembali ke pangkal integritas diri yang mampu menguatkan sistem sosial kemasyarakatan sebagai sesuatu yang integratif dan integralistik. Asasnya adalah kesadaran tentang ummatan wahidah pangkal mula dari silaturrahmi, ta’awun, kolaborasi, solidaritas dan soliditas, dimulai dari ukhuwah insaniah.

Manusia harus kembali ke pangkal siklus kehidupan dinamisnya dengan mengurangi dan mengendalikan mobilitas sosial agar mampu memberi makna hakiki atas mobilitas sebagai gerakan kebajikan, yang dihidupkan oleh kompetisi kualitatif dalam berbuat kebajikan.

Keseluruhan aksi tersebut adalah rangkaian aksi untuk sungguh memahami dan mengerti hakikat al kautsar. Maka, tak ada kata lain, bagi siapa saja, untuk selalu mensyukuri nikmatnya dengan terus menegakkan shalat dan berqurban. Allah tak pernah berjarak dengan hamba-Nya, karenanya, shalat dan qurban menjadi utama.|

PaDu – BonJer: 20.07.21

Komentar