Kerumunan, Tema Politik yang Lagi Ngetrend

Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

AWAS kerumunan! Begitulah warning dari pemerintah dan Satgas Covid. Benar, bahwa kerumunan menjadi faktor utama penyebaran Covid-19. Karena itu, harus dicegah dan diwaspadai. Sepakat!

Semua kegiatan yang menyebabkan kerumunan harus diantisipasi. Ketegasan soal kerumunan akan berdampak terhadap tingkat penyebaran Covid-19. Gagal mencegah kerumunan, maka pandemi akan semakin panjang waktunya. Ini juga akan berdampak tidak saja kesehatan, tapi juga ekonomi. Saat ini, pertumbuhan ekonomi masih terkonstraksi yaitu minus 0,74 persen. Tiga quartal berturut-turut pertumbuhan ekononi minus. Inilah yang disebut resesi.

Karena alasan ini, pemerintah pusat dan daerah membuat aturan dan kebijakan sebagai upaya mencegah terjadinya kerumunan. Salah satunya terkait aturan mudik. Mulai dari pelarangan hingga pengetatan. Lepas dari pro-kontra dan dinamika yang tarkait dengan mudik, kita semua berharap pandemi segera berakhir.

Tidak hanya pusat, sejumlah pemerintahan daerah juga berupaya keras mengendalikan penyebaran Covid-19. Diantaranya adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI. Sebagaimana kita tahu, Jakarta kota yang padat penduduk. Mobilitas, lintasan dan lalu lalang manusia yang berasal dari berbagai kota dan desa sangat tinggi. Maklum, ibu kota. Tempat rakyat dari berbagai daerah berkerumun. 60-70 persen kekayaan Indonesia berputar di Jakarta. Wajar jika rakyat berbondong-bondong untuk datang.

BACA JUGA :  Ragunan Dibuka, Kapasitas Dibatasi 25 Persen, Pengunjung Mendaftar secara Online

Diantara kebijakan Anies adalah mengendalikan kerumunan di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Bukan melarang, tepatnya mengendalikan. Gubernur DKI ini mengkalkulasi, ziarah pada waktu yang bersamaan akan sangat berpotensi mengakibatkan penumpukan orang. Secara umum, setiap makam diziarahi 5-10 orang. Bisa dibayangkan, berapa jumlah peziarah pada hari lebaran itu. Untuk menghindari terjadinya kerumunan, ziarah baru dibuka mulai hari minggu. Ini dibuat semata-mata untuk menghindari manusia menumpuk di satu tempat pada waktu yang sama.

Begitu juga dengan wisata Ancol. Ada yang buru-buru menyimpulkan: “TPU ditutup, Ancol dibuka. Betul-betul kapitalis!”.

Pemprov DKI membuat kebijakan bahwa Ancol hanya dibuka untuk maksimal 30 persen pengunjung. Kapasitas Ancol itu sebenarnya muat untuk 192 ribu pengunjung. Jadi, 30 persennya kurang lebih 64 ribu. Jumat lalu, hari kedua lebaran, Ancol hanya dikunjungi 39 ribu. Jauh dibawah 30 persen. Jadi, kalau ada yang bilang pengunjung Ancol tembus angka di atas 30 persen dan menuduh Pemprov DKI tidak konsisten dengan 30 persen, perlu cek data ini. Lihat data, baru bicara. Itu yang benar. Bukan bicara dulu baru cari data. Ini bisa menyesatkan.

BACA JUGA :  Jangan Paranoid!

Baca data, baru bicara harus menjadi tradisi kita dalam berliterasi dan berkomunikasi, sehingga tidak tersesat dalam kesalahan dan terjebak dalam hoaks.

Bagaimana cara mengendalikan angka 30 persen? Managemen Ancol hanya menjual tiket melalui online. Jadi, terkendali di angka 30 persen. Dan ini pun hanya untuk yang ber-KTP Jakarta. Artinya, pengunjung harus warga Jakarta.

Hanya saja, pengunjung sempat menumpuk di pantai. Dari situlah lalu ada kebijakan untuk melarang mandi di pantai. Larangan ini semata-mata untuk mengendalikan kerumunan. Jangan lalu bilang: pimpinan Jakarta sudah tidak sehat karena melarang warganya berenang. Bukankah berenang itu olahraga yang menyehatkan, kenapa dilarang. Salah lagi! Repot kalau berurusan dengan orang yang fokusnya hanya nyari kesalahan.

Bisa dipastikan, kapasitas 192 ribu diisi 39 ribu pengunjung pasti Ancol longgar. Tinggal bagaimana managemen Ancol mengontrol agar 39 ribu pengunjung tidak menumpuk di satu tempat dalam waktu bersamaan. Hanya itu saja.

Dibandingkan dengan tahun 2019, pengunjung Ancol di hari kedua lebaran mencapai 90 ribu. Lebih dari dua kali lipat tahun ini. Itu tahun 2019, dua tahun lalu.

BACA JUGA :  Soal Pembagian Sembako di Jakarta

Jika pekan lebaran ini jagat medsos diramaikan dengan isu kerumunan, ini hanya semata-mata karena kurang informasi soal data yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai object politik. Bahkan ada yang menghubungkan “pengunjung Ancol” dengan elektabilitas Anies. Ini tentu terlalu jauh dan sangat politis.

Saatnya kita bermedsos secara cerdas dengan pertama, selalu cek data. Kedua, melakukan analisis logis untuk mengukur setiap informasi. Ketiga, tidak mudah percaya, apalagi ikut share sebelum meyakini validitasnya.

Jika tiga langkah ini kita lakukan, maka berbagai isu, termasuk kerumunan, tidak akan mudah memprovokasi dan menyesatkan kita.

Jakarta, 17 Mei 2021

Komentar