Oleh: Moh. Bahri, S.Pd.I., SH
(Anggota DPRD Prov Banten, Fraksi Gerindra)
SALAH satu kaidah usul fiqh menyebutkan ‘Almasyaqqatu Tajlibut Taisir’ : kesulitan akan memunculkan kemudahan. Dengan kata lain, ada kemudahan di balik kesulitan.
Maksudnya, dalam kondisi tertentu, ada sejumlah pilihan alternatif, yang memungkinkan sebuah perkara dikerjakan dengan cara yang lebih ringan.
Semisal saat shalat tak bisa dilakukan dengan berdiri, maka boleh sembari duduk. Saat kita bershafar (dalam perjalanan) maka shalat yang 4 rakaat boleh diqashar menjadi 2 rakaat.
Inilah merupakan ijtihad penting dari Ulama-Ulama terdahulu. Agar Ummat berikutnya (seperti kita), tetap bisa beribadah dengan semampunya.
Juga membuktikan rahmat Allah, yang menginginkan kemudahan bagi hambanya. Sebagaimana firman Allah yang bunyinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS. Al Baqarah: 185). Serta di Surat Al Insyirah, ayat 5-6 (Maka sesungguhnya di balik kesukaran itu ada kemudahan. Sesungguhnya di balik kesukaran itu ada kemudahan).
Idul Fitri kali ini (sebagaimana tahun lalu), terlihat fakta yang memberatkan kita semua. Bahkan dalam sejumlah soal, terasa lebih berat.
Suasana lebaran yang penuh kegembiraan, terpaksa harus dibatasi. Biasanya shalat Ied beramai-ramai, kini tidak lagi sebebas dulu. Malam Takbiran meriah, pawai keliling kota, juga tidak dikehendaki. Dan yang meletupkan kontroversi berisik adalah larangan mudik.
Lantas apakah kita akan bergeming? Memaksa suasana hari raya sebagaimana lazimnya?
Kearifan saatnya datang. Kita tahu, dalam urusan ibadah pokok pun (ibadah mahdhah), ada kondisi yang meringankan, tanpa kehilangan aspek kualitas. Apalagi jika sekadar tradisi dan kebiasaan. Maka tentu pilihan kemudahan kian banyak.
Para pihak yang kompeten, terutama tenaga medis, tahu persis risiko penyebaran Covid 19 belum surut tuntas. Mereka wajib mengingatkan kita, untuk waspada. Dan kita butuh patuh.
Keimanan dan nalar kita mestinya bertemu dengan sikap lapang, tanpa perlu marah atas musibah bersama ini. Lebih-lebih dengan menyiram narasi negatif yang merusak.
Momen mudik misalnya, memang sangat dirindukan, dan belum tentu kita bisa bertemu lagi di lain waktu. Namun ini sama sekali tak berarti “mengunci” silaturahmi. Kita masih bisa bermaaf-maafan, takzim dengan orangtua, dan menyapa sanak saudara (via online).
Memang pasti tak akan puas —kurang afdhal. Tetapi inti perkara tetap terlaksana, yakni menyambung tali kasih sayang.
Daya cerna akal kita sebaiknya menjangkau multi aspek. Hitungan resiko, mafasad (potensi kerugian), dan menjaga keselamatan bersama.
Lagipula, sesuatu yang tak bisa kita peroleh seluruhnya, bukan berarti tak bisa kita niknati sama sekali. Masih ada unsur-unsur kebaikan dalam Idul Fitri yang serba sulit ini.
Sejauh kita ada kesungguhan merayakan Idul Fitri dengan khidmat, maka kemenangan ini tetap hadir.
Selamat Idul Fitri 1442 Hijriyah. Mohon maaf lahir dan batin.
Komentar