Oleh Muhammad Nabil
(Ketua Umum Badko HMI Jawa Timur 1995-1997)
KALAU prihatin dan miris kongres di Surabaya ini molor, ya bukan Baper. Kalau ada transaksi uang yang cukup besar dalam kongres, ya juga mengkhawatirkan, karena biasanya hanya uang untuk pulang setelah kongres selesai.
Kalau melihat kongres selama 5 hari tidak melakukan kegiatan, ya kita harus prihatin. Ceramah tidak ada, rapat tidak ada, yang ada hanya penundaan tanpa ada hal yang bisa dijelaskan dan tidak bisa dijelaskan.
Kalau peserta tidak bisa hadir karena diikat oleh para kandidat, ini ya juga tidak sehat. Semua peserta (ya… Semua peserta) tidak ada yang mengikuti sidang dan kegiatan apapun dalam agenda kongres selama beberapa hari.
Jauh-jauh hadir dari daerahnya ke Surabaya kan ingin ikut kongres. Berarti sudah tahu apa agenda yang ada dalam kongres. Tidak boleh ditoleransi karena sudah jauh menyimpang dari ruh HMI yaitu ada suasana dan tradisi intelektual yang sudah punah.
Kalau soal lempar kursi, berantem antar peserta, itu memang tradisi yang sejak lama karena HMI masih diikuti oleh mahasiswa yang masih muda, jiwa muda dan darah muda.
Tapi, seramai-ramainya suasana berantem dan lempar kursi atau lompat meja, ketika dibacakan ayat-ayat Al Quran, semuanya diam dan tenang. Walaupun nanti muncul kejadian seperti ini lagi.
Dengan bahasa bercanda salah satu senior saya Mas Taufikurrahman Saleh (biasa dipanggil Cak opik), mantan Ketua Umum HMI Cabang Surabaya tahun 1980-an, mengatakan : biasanya orang marah itu disebabkan oleh dua hal. Pertama karena kemiskinan. Kedua karena kebodohan.
Pengalaman di Kongres Riau pada 1992 (saat terpilihnya Mas Yahya) jelas sekali kejadian ini ada karena saya juga peserta utusan dari cabang Surabaya. Juga saat kongres di Surabaya di tahun 1995 (waktu terpilihnya Taufik Hidayat) saat sudah dibuka ada ceramah. Setiap narasumber tidak pernah sepi peserta dan mereka sangat antusias untuk ikut.
Apa karena saat itu narasumbernya hebat-hebat dan berkualitas serta pesertanya masih punya semangat tradisi intelektual atau apa, saya tidak tahu. Tapi Faktanya seperti itu.
Kalau penundaan atau penambahan waktu kongres itu karena banyak agenda kemahasiswaan, keorganisasian, keummatan atau kebangsaan belum tuntas, masih bisa ditoleransi.
Tapi kalau tidak ada kegiatan apapun selama berhari-hari kita sebagai alumni tentu harus prihatin, harus malu dan sedih.
Sekarang fokusnya adalah bagaimana kongres selesai dan terpilih Ketua Umum PB HMI yang baru dan mendapatkan amanah dari kongres. Hasil kongres Surabaya tahun 2021 ini hanya menghasilkan pemilihan ketua umum baru yang sah dan sesuai AD ART. Itu mungkin sekarang yang urgent dan harus segera direalisasikan.
Kita semua malu, malu kepada diri kita, malu kepada kampus sebagai basicnya HMI, malu kepada pihak luar karena HMI tidak (belum) bisa memberi tauladan dalam berkongres dengan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan.
Kita hanya bisa malu karena kita sudah bukan lagi peserta. Tapi, kami masih punya tanggung jawab moral karena kita dibesarkan di HMI. Minimal masih punya rasa malu. “Apabila engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa yang engkau suka ” (HR. Bukhori).
Jangan sampai kita melihat fakta seperti ini malah jadi permisif, cuek atau menganggap ini peristiwa biasa. Ini peristiwa luar biasa bagi organisasi setua dan sebesar HMI.
Dan yang menjadi catatan penting lagi, bagaimana respon kampus (sebagai bidang harap utama HMI) dan mahasiswa baru yang akan menjadi calon anggota HMI melihat peristiwa nyata dalam kongres HMI di Surabaya. Apa menjadi daya tarik atau daya tolak? Mohon maaf dan Wallahu a’lam.
Komentar