Oleh Komaruddin Rachmat
BUNG Karno ketika di era pergerakan adalah dalam status anak muda, dan jatuh dari tahtanya ketika sudah berumur. Pak Harto lain lagi ceritanya, ada kisahnya di Janur Kuning, yaitu ketika Soeharto muda memimpin pendudukan Yogyakarta selama enam jam. Heroisme itu kemudian membawanya kepada anak tangga karier yang berujung menjadikan dirinya sebagai Presiden RI.
Kebosanan karena terlalu lama berkuasa membuat Pak Harto jenuh sendiri, dan nasibnya seperti yang telah menjadi sejarah, penampakkannya seperti orang oon ketika dipaksa lengser.
Bung Karno begitu juga karena ketuaannya maka dirinya telah tidak mampu lagi memikul beban obsesinya untuk menjadikan Komunisme sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari dua cerita sejarah itu ternyata idealisme itu ada masanya, yaitu ketika muda dan bukannya ketika tua. Karena bila anak muda (terpelajar) maka spiritnya masih melekat dan menempel dengan dagingnya ..”solid!”. Berbeda dengan orang tua yang spiritnya tinggi tapi onderdilnya sudah rapuh.
Mobil tua mau dipaksakan jalan? bisa2-busa nasibnya tidak berbeda dengan petisi 50 di era Orde Baru yang bukan saja sulit bergerak tapi mesinnya rontok satu persatu, dan berahir tanpa nilai sejarah.
Begitu dengan orang-orang tua itu maka begitu juga nasib orang-orang yang menggadang gadang agama, nasibnya tidak berbeda dengan kasus Talang Sari dan peristiwa Tanjung Priok (1984) dan bahkan pembunuhan dukun santet di Banyuwangi (1998).
Kisahnya hanya disebutnya sebagai kasus tapi tidak bernilai sejarah. Tidak ada bedanya pula dengan kasus Imron di Bandung yang direkayasa oleh kelompok siluman dalam kekuasaan, menyerang pos polisi Cicendo dan pembajakan pesawat Woyla yang menekan psikologi umat, berujung kemudian dengan diberlakukannya asas tunggal (tahun 1983) , dan dilarangnya mengenakan jilbab di sekolah sekolah negeri ketika itu.
Kasus orang tua turun gunung dan kasus orang-orang menggadang-gadang agama di masa lalu, hampir mirip-mirip kasusnya dengan hari ini.
Kini di zaman medsos membuat orang tua dan para pengusung panji-panji agama terlena asyik dengan idealisme medsos yang sebetulnya bukan porsi mereka dalam pergerakan perubahan.
Perilaku mereka menghadapi kekuasaan tidak ubahnya seperti kucing yang sedang main topo (gombal), gampang tersulut emosi padahal kondisi mereka seperti berada di dalam rumah kaca. Tinggal dipilih yang mana yang dicomot dan yang mana yang dibiarkan agar udara tetap hangat oleh nafas-nafas kemarahan mereka.
Mereka orang-orang tua dan para pengusung panji-panji agama itu harus disadarkan, bahwa gerakan perubahan dalam sejarah bukanlah porsi mereka, tapi adalah bagiannya anak-anak muda terpelajar.
Mengapa mereka tidak menjadi mentor saja kepada anak-anak terpelajar itu, konsolidasikan diri, datangi mereka di darat ajak berdiskusi. Daripada turun sendiri apalagi hanya menghabiskan waktu, hari-hari dilewati dengan marah-marah terus di medsos, seperti orang uring-uringan tanpa konsep berpikir strategis.
Waoluhu a’lam bissawab
Komentar