Oleh: Komaruddin Rachmat
(Ketua Umum Badko HMI Jawa Barat 1981- 1983)
PEMBERITAAN tentang berdirinya HMI baru dimuat 23 hari kemudian, yaitu di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta tertanggal 28 Februari 1947.
Beritanya sebagai berikut:
“Baru2 ini di Yogyakarta, telah didirikan Himpunan Mahasiswa Islam. Anggota2nya terdiri dari mahasiswa2 Indonesia yg beragama Islam. Perhimpunan tersebut akan menjadi anggota Kongres Mahasiswa Indonesia.
Sekretariat Asrama Mahasiswa di jalan Setyodiningrat 5, Yogyakarta”.
Kelahiran HMI ternyata kemudian mendapat respon positif dari pimpinan STI, sehingga setelah itu setiap bulan HMI mendapat subsidi sebesar Rp 25,00 (dua puluh lima rupiah) untuk biaya operasional organisasi.
Perjuangan Lafran Pane ternyata tidak sampai di situ, karena hari-hari berikutnya setelah hari pendirian adalah hari-hari uji mental, yaitu akibat reaksi negatif dari berdirinya HMI, baik yang datangnya dari luar kalangan Islam maupun dari kalangan Islam sendiri.
Dari kalangan bukan Islam reaksi keras datangnya dari mahasiswa-mahasiswa kiri yang berorientasi kepada partai sosialis yang ketika itu sedang berkuasa. Sedangkan dari kalangan Islam adalah dari GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) , yang salah paham dan menganggap berdirinya HMI sebagai pemecah belah umat Islam.
Bila bukan Lafran Pane yang memiliki dasar pemikiran yang kuat tentang mengapa HMI harus berdiri, kemungkinan anggota-anggota HMI yang lainnya belum tentu kuat menghadapi tekanan-tekanan tersebut. Tapi Lafran Pane adalah Lafran Pane, sosok yang teguh pendirian karena menguasai masalah dan tau apa yang harus dituju.
Lafran Pane yang mulai menjejakkan kakinya di Pulau Jawa tahun 1937 sejak usia belia dan kemudian menetap di Yogya sejak tahun 1945, sosoknya adalah seperti bocah ajaib yang pikirannya jauh melampaui zamannya.
Entah apa pergulatan yang ada di pemikirannya ketika itu sehingga mewujud pada sikap yang teguh dan tekad yang kuat untuk mendirikan organisasi mahasiswa Islam.
Kesadaran terdalamnya mungkin adalah ketika bukan saja dia melihat tapi merasakan kondisi dunia kemahasiswaan yang dianggapnya sedang mengalami krisis keseimbangan, yaitu “tidak serasinya antara iman dan ilmu pengetahuan”.
Mungkin pula Lafran membayangkan bagaimana jadinya bangsa ini bila mahasiswanya kelak setelah menjadi sarjana dan pemimpin bangsa, tapi tidak mendapat pengajaran agama ketika di bangku kuliah.
Bagaimana pula bila kaum intelektual yang semata-mata mengutamakan logika tanpa didasari ajaran agama sama sekali, dan kemudian tampil sebagai tokoh-tokoh masyarakat, memegang tampuk pemerintahan, memimpin rakyat dan Bangsa Indonesia?
Dari dasar pemikiran itu, Lafran Pane kemudian membayangkan, bagaimana seandainya bila bangsa ini dipimpin oleh orang yang tidak berjiwa agama atau bahkan membenci/anti agama, maka Lafran berpikir tentulah Bangsa Indonesia akan mengalami nasib yang sangat menyedihkan, dan agama Islampun akan terancam kemusnahan.
Menurut Lafran Pane, bila kondisi ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ada usaha penanggulangan yang terencana dan sistimatis untuk mengubahnya kepada keadaan yang lebih baik, maka ini adalah merupakan ancaman yang serius dan berbahaya bagi kehidupan rakyat dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Karena itu berdiri tidaknya HMI bagi Lafran Pane adalah pertaruhan hidup dan mati. Obsesinya adalah bagaimana cara merealisasikannya sehingga menjadi kenyataan dan tidak hanya mati di hayalan.
Bagi Lafran ini adalah pekerjaan besar dan mulia, gagasan ini tidak bisa dikerjakan dengan sambil lalu, tetapi harus dengan tekad yang kuat dan usaha yang teratur lagi terencana.
Dengan tekad dan pemikiran yang solid seperti itulah maka Lafran Pane tidak mundur sedikitpun menghadapi tantangan di depan matanya.
Reaksi keras dari mahasiswa kiri datang dari Perhimpunan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang dimotori oleh ketuanya Milono Ahmad yang memprovokasi terus menerus, “menuntut agar HMI membubarkan diri karena dianggap sebagai pemecah belah mahasiswa, sedangkan rakyat menginginkan persatuan”.
Reaksi ini adalah gerakan ideologis karena jelas maksudnya yaitu anti agama.
Namun keberuntungan kemudian mengiringi HMI, karena PMY yang berganti nama menjadi Perserikatan Mahasiswa Indonesia(PMI) setelah sebelumnya bergabung dengan Perserikatan Mahasiswa Malang (PPM), sejak tanggal 19 Desember 1948 hilang dari peredaran sampai sekarang, menyusul tenggelamnya Partai Sosialis ketika itu.
Reaksi keras dari kalangan muslim datangnya dari GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) yang menuduh HMI sebagai pemecah belah umat yang ketika itu sedang bersatu di bawah naungan Partai Masyumi. HMI dihujat sebagai Pakistan, yaitu negara yang memisahkan diri dari India. “Wooy..hati-hati Pakistan lewat!.”
Masa-masa tegang dan kritis itu terjadi selama sepuluh bulan antara bulan Februari sampai dengan November 1947.
Demikian beratnya reaksi yang datang itu, tapi dengan jiwa besar dan kepala dingin, Lafran Pane, Asmin Nasution, Maisoroh Hilal , Karnoto dan kawan-kawannya menghadapi kenyataan ini, yang setiap waktu harus sanggup menghadapi hujatan-hujatan yang datang dari dalam maupun luar kalangan Islam silih berganti.
Namun Lafran Pane dengan gigih dan tidak kenal lelah selalu berusaha untuk menjelaskan maksud dan tujuan didirikannya HMI.
Akhirnya dengan sentuhan hati dan penjelasan yang rasional Lafran Pane berhasil mencairkan suasana, yaitu ketika Lafran Pane diberi kesempatan berbicara di depan Konprensi Besar PII (Pelajar Islam Indonesia) tanggal 3 – 6 November 1947. Apa katanya?
“Menurut pandangan saya antara GPII, PII dan HMI harus ada pembagian tugas masing-masing. GPII menggarap pemuda, PII menggarap pelajar dan HMI menggarap mahasiswa. Satu sama lain tidak ada persaingan, satu sama lain saling mengisi, sama-sama bertujuan untuk syiar, kemuliaan, dan ketinggian agama Islam menuju “baldatun toyibatun warobun gofur”.
Peserta konprensi tertegun dan termangu-mangu mendengar kata-kata yang belum pernah mereka dengar sebelumnya itu.
Keterangan Lafran Pane di acara Konfrensi Besar PII yang sengaja diagendakan sebagai salah satu materi persidangan itu, membawa perubahan yang radikal dari PII.
Sejak saat itu PII maupun GPII telah memahami dan menerima hakikat, maksud dan tujuan berdirinya HMI dan tidak ada lagi pro dan kontra, semuanya menjadi pro.
(Bersambung)
Komentar