HMI 74 TAHUN (1)


Oleh: Komaruddin Rachmat
(Mantan Ketua Umum Badan Koordinasi (Badko) HMI Jawa Barat 1981–1983)

HARI ini tanggal 5 Februri adalah 74 tahun yang lalu (1947), ketika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta oleh mahasiswa-mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta tingkat pertama (semester 1).

STI itu yang kemudian berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia ( UII) pada tanggal 20 Mei 1948.

Perlu diketahui Universitas Gajah Mada sendiri pada waktu itu masih berstatus swasta dan baru dinegerikan pada tanggal 19 Desember 1949. Bandingkan pula dengan Unpad Bandung yang baru berdiri 11 September tahun 1957 dan ITB pada 2 Maret 1959.

Situasi Yogyakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya ketika itu janganlah digambarkan seperti sekarang ini. Jumlah mahasiswa masih sangat sedikit, sementara kehidupan mahasiswa ketika itu sangat sekuler dan jauh dari nilai-nilai agama, belum ditambah oleh orang/kelompok yang membenci Islam.

Perguruan-perguruan tinggi yang ada ketika itu di Yogya selain STI dan UGM adalah antara lain Akademi Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Teknik. Di luar Yogyakarta (di Solo dan Klaten) ada Fakultas Pertanian yang kemudian pada tahun 1948 di pindahkan ke Yogyakarta bergabung dengan Universitas Gajah Mada.

Adalah seorang mahasiswa STI tingkat pertama (semester pertama) bernama Lafran Pane, yang ketika itu gelisah melihat kondisi kemahasiswaan yang menurut pandangannya jauh dari nilai nilai keIslaman, padahal saat itu di Yogyakarta telah eksist berdiri organisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang berpengaruh dan menyatakan dirinya sebagai organisasi non Agama.

BACA JUGA :  Demokrasi Makin Buram di Pemilu Serentak 2024

Kegelisahan Lafran Pane adalah kegelisahan sendirian dan karenanya kemudian ia mulai menebarkan kegelisahannya kepada Mahasiswa STI yang lainnya. Tapi kenyataannya kemudian ada yang suka dan ada yang tidak suka, termasuk gagasan atas keinginannya untuk mendirikan organisasi mahasiswa Islam, banyak yang menentangnya.

Padahal situasi revolusi fisik menjelang agresi militer Belanda sedang melingkupi atmosfir Yogyakarta ketika itu yang kemudian seperti diketahui agresi militer pertama itu terjadi pada 21 Juli 1947. Sementara itu pemerintahan Indonesia baru seumur jagung yang penuh dengan dinamika dan tekanan, mengharuskan ibu kota pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 13 Januari 1946. Suatu pemindahan ibu kota yang terburu-buru dan tidak matang menimbulkan konsekwensi-konsekuensi politik di kemudian hari.

Sementara itu akibat penjajahan Belanda dunia pendidikan dan kemahasiswaan dicekoki dan dipengaruhi unsur-unsur dan sistim pendidikan barat yang mengarah kepada “sekulerisme” dengan mendangkalkan agama pada setiap kehidupan manusia Indonesia (dikutip dari buku sejarah perjuangan HMI, oleh Prof DR H Agus Salim Sitompul, hal. 8).

Namun demikian menghadapi kondisi kegelapan seperti itu bagi Lafran Pane bukanlah waktu yang tepat untuk menyerah. “Sejarah harus segera dibuat!”..itulah tekadnya.

Lapren Pane bukanlah mahasiswa kebanyakan, dirinya yang kenal baik dengan para dosen STI memanfaatkan sebaik-baiknya kedekatannya itu dengan menjadikannya sebagai alat pendekatan untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu mendaratkan idealismenya membentuk organisasi Islam yang kemudian bernama HMI.

Langkah pertamanya adalah konsolidasi di antara mahasiswa STI sendiri yang kondisinya ketika itu ada yang mendukung dan ada yang menentang, dan untuk bergerilya di luar mahasiswa STI Lafran Pane setiap menjelang solat Jumat duduk-duduk di depan Madjid (yang paling sering di Masjid besar Kauman) , melihat bila ada yang diduganya sebagai mahasiswa, maka dihampirinya untuk diajak berdiskusi dan diyakininya tentang pentingnya akan keberadaan organisasi mahasiswa Islam bagi umat Islam dan juga bangsa.

BACA JUGA :  PPKM: Kegilaan Level 4

Semangatnya untuk mensosialisasikan berdirinya organisasi mahasiswa Islam menyebabkan Lafran Pane terkenal di kalangan civitas-civitas academika kampus yang ada di Yogya dan dikenal sebagai orang baik.

Setelah selama tiga bulan bergerilya, detik-detik kelahiran organisasi yang dirindukannya itupun tiba. Saat itu adalah masa perkuliahan, tanpa diduga di antara mahasiswa yang paling vokal menolak kehadiran organisasi mahasiswa Islam pada hari itu tidak hadir.

Dengan sigap Lafran Pane melakukan pendekatan kepada Bapak Husen Yahya dosen pengajar yg pada hari itu mengajar di kelasnya, yg kebetulan juga jabatannya adalah sebagai sebagai ketua 3 bidang kemahasiswaan STI Yogyakarta.

Lucunya Bapak Husein Yahya sendiri tidak tau mau rapat apa itu sebenarnya, tapi karena percaya kepada Lafran Pane yang dikenalnya sebagai mshasiswa dan anak baik, maka dia membiarkan dirinya menuruti kemauan Lafran Pane untuk ikut serta dalam rapat pembentukan tersebut.

Lafran Pane dengan percaya diri berdiri di depan kelas, lantas memimpin rapat yang antara lain berkata:

“Hari ini adalah rapat pembentukan Organisasi Mahasiswa Islam, karena semua persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan semua sudah beres”.

BACA JUGA :  Kesuksesan Anies Baswedan Juga Kesuksesan Jokowi

Selanjutnya, Lafran berkata lagi, “Di antara saudara boleh ada yang setuju dan boleh juga ada yang tidak setuju. Namun demikian walaupun ada yang tidak setuju, pada hari ini juga organisasi Mahasiswa Islam secara formal harus berdiri karena persiapannya sudah matang!”.

Setelah melalui rapat panjang lebar maka ditetapkanlah organisasi itu bernama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat (HMI).

Sebelum sang surya tenggelam di ufuk barat, maka dengan disaksikan Bapak Husein Yahya, para peserta rapat berketetapan hati mengambil keputusan:
1. Hari rabu pon 1878, 14 Rabiul Awal1336 bertepatan dengan 5 Februari 1947, menetapkan berdirinya organisasi “Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI yang ertujuan:
a. Mempertahankan Negara RI dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia.
b. Mengesahkan AD/ART HMI yang akan dibuat kemudian.
c. Membentuk susunan kepengurusan HMI dengan ketuanya Lafran Pane (yang kemudian dikenal sebagai Prof. Drs. Lafran Pane).

Hal yang wajaib bagi semua yang hadir dalam rapat tersebut adalah mahasiswa STI tingkat 1 (semester 1), yang bila dibandingkan dengan kondisi hari ini sebagai hal yang sulit bisa terjadi.

Para peserta rapat tersebut kemudian disebut sebagai pendiri HMI sedangkan Lafran Pane sebagai penggagas sekaligus pendiri.

Nama pendiri HMI tersebut adalah, Lafran Pane, Karnoto, Dahlan Husein, Maisaroh Hilal, Soewali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainah, M Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, dan beberapa yang namanya terlupakan ( jumlah keseluruhan 20).

(Bersambung)

Komentar