by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SANDIAGA telah merapat, mengenapkan promosi demokrasi: beli satu dapat dua. Prof. Soepomo pasti tak menduga, ternyata ada jalan berliku demokrasi menuju negara kekeluargaan. Awalnya, ia bersama Anies memenangkan Pilgub DKI. Lalu bersama Prabowo, pasangan 02 dalam Pilpres. Kalah melawan matematika yang aneh.
Emak-Emak, faksi pendukung 02 yang amat gigih, dipaksa dua kali menelan kekecewaan. Jagoannya kalah dan, keduanya merapat. Tapi, dunia belum berakhir. Cita-cita tak sirna begitu saja.
Emak-Emak telah menorehkan warna dalam landscape politik Indonesia. Simbol gerakan swadaya politik warga: kritis, spontan dan, sanggup berkorban. Ditangan mereka penggalangan dana kampanye amat mengesankan. Menjadi antithesis politik uang. Politik Emak-Emak memang bukan untuk sembako.
Setelah ditinggal sang idola yang tersisa, manusiawi bila Emak-Emak patah hati. Akankah mereka patah arang? Dan, memutuskan bercerai dari laki-laki bernama politik? Adakah lelaki yang layak beryanyi lagu Gubernur Basofi: Tidak semua laki-laki?
Emak memang tubuh cinta. Elan kecintaan, cinta sejati yang tak berhenti pada tubuh. Emak-Emak pasti menyadari, cinta memang rentan dimanipulasi, dikapitalisasi, dikhianati. Patah hati tentu menimbulkan rasa sakit. Apakah obatnya? Waktu, sesuai resep Augustinus: tempore lenitum est vulnus meum, dalam perjalanan waktu, luk-lukaku sembuh. Dan, kembali memerjuangkan cita-cita, perkara yang umumnya tak selesai sekali putaran.
Emak-Emak memang harus kembali pada kesejatian cinta dan cita-citanya melalui pemurnian 02. Melucuti 02 dari figur, membersihkan dari idola: sihir dalam perspektif Baconian. Nol Dua tak mati sebatas Prabowo-Sandi. Tapi notasi cinta, cita-cita dan, keswadayaan politik (Perempuan) untuk mewujudkan kedaulatan bangsa, keadilan, kejujuran, menyelamatkan NKRI, …..
Seiring kegalauan itu, Risma mendekat. Tak perlu waktu lama untuk memastikan tujuan kepindahannya ke Jakarta. Tampaknya memang dipersiapkan tampil 2022 nanti dengan mengefektifkan sumberdaya Kementerian Sosial.
Masalah sosial yang pelik sepanjang zaman: gelandangan, ternyata perkara sepele. Di kepala Risma persoalan itu selesai hanya dengan sedikit otak: jadikan gelandangan pegawai BUMN.
Beberapa hari setelah menjabat Menteri. Pasutri deklarasi. Pasukan yang mendukung Risma menjadi Gubernur DKI. Etika demokrasi-birokrasi tampaknya tak relevan bagi sepak terjang Risma. Pasutri menyatakan diri sebagai warga Jawa Timur yang mukim di Ibu Kota. Risma tiba-tiba mengalami perluasan dari Surabaya menjadi Jawa Timur.
Mengaktifkan sentimen-elemen kedaerahan menjadi fenomena menarik Pasutri. Jakarta memang melting pot. Tapi, tak sepatutnya mengabaikan eksistensi Betawi. Perlu waktu untuk mengetahui efek Pasutri, pada tataran pergaulan antar warga (sopan santun tamu), maupun dalam dinamika politik yang menghadirkan isu-sentimen kedaerahan.
Sebagai representasi perempuan, akankan Risma menerima limpahan cinta dan menjadi tumpuhan cita-cita Emak-Emak? Kemungkinan besar tidak. Karena, Risma jelas berangkat dari parpol yang ditentang keras Emak-Emak. Mereka juga menentang keras politik pencitraan selama ini. Emak-Emak anti segala sesuatu yang tak sesuai warna aslinya.
Cinta eksis dalam diri objek, cita-cita progresif dalam diri subjek: agen terpercaya untuk mewujudkannya. Siapakah yang layak mewarisi cinta dan cita-cita Emak-Emak itu?
Perjalanan Emak-Emak dimulai pada Pilgub yang mengantarkan Anies-Sandi menduduki kursi Gubernur DKI. Logis bila Anies masih menjadi bagian investasi politik Emak-Emak.
Tentu tak tertutup kemungkinan terjadi perubahan preferensi Emak-Emak. Sejauh ini, tampaknya Anies tak mengecewakan hati mereka. Anies berpeluang besar mewarisi 02: cinta dan cita-cita politik Emak-Emak. Apalagi bila waktu yang tersisa difokuskan mewujudkan pembangunan DKI peka emak.
Komentar