Pelajaran Pertama Menjabat Menteri

by Bang Sém

TIGA orang sahabat, mantan menteri pada pemerintahan yang lampau terbahak-bahak, ketika saya menyampaikan gagasan menyelenggarakan pelatihan tentang ‘bagaimana menjabat menteri.’

Saya ingin mereka berbagi pengalaman kepada siapa saja yang terobsesi atau kadung menjabat menteri, namun belum bisa melepaskaan habitus sebagai pejabat lain.

Mereka sepakat menolak dan memberi pendapat, yang pantas memberikan materi dalam pelatihan itu adalah Anies Rasyid Baswedan, Khofifah Indar Parawansa, dan Nur Mahmudi Ismail.

Menurut mereka, ketiga nama yang mereka sebut, paling pantas dan patut menjadi mentor, karena pernah menjabat menteri. Anies dan Khofifah mantan menteri (Pendidikan & Kebudayaan dan Menteri Sosial) yang kini menjabat Gubernur. Akan halnya Nur Mahmudi Ismail, mantan menteri yang pernah menjabat walikota.

Anies, Khofifah, dan Nur Mahmudi Ismail bisa bertukar wawasasan dan pengetahuan wilayah, marka, dan sisi melik tugas dan fungsi pokok seorang menteri sebagai pembantu Presiden, untuk menyelenggarakan berbagai kebijakan dan urusan pemerintahan sesuai Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Termasuk menjelaskan hakikat dan konstelasi jabatan menteri dalam keseluruhan konteks penyelenggaraan pemerintahan.

Jabatan menteri adalah jabatan politik, bukan jabatan karir yang keberadaannya terkait dengan hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur oleh undang-undang.

BACA JUGA :  Anies Gandeng Auditor Swasta, Tak Mau Formula E Ada Masalah

Meski sama-sama jabatan politik, keberadaannya berbeda dengan jabatan Gubernur/Walikota – Kepala Daerah yang sejak 2004 dipilih langsung oleh rakyat, melalui mekanisme Pemilihan Kepala Daerah.

Terbabit dengan hubungan (relasi dan korelasi) antara menteri dengan Gubernur/Bupati/Walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan di bidangnya, berlaku fatsoen, etika, dan aturan sebagaimana diatur Bab VII Pasal 26 UU No. 39/2008, ihwal hubungan antara kementerian dan pemerintah daerah.

Tersurat dalam pasal itu, hubungan kementerian dan pemerintah daerah dilaksanakan dalam kerangka sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah sesuai peraturan perundang-undangan.

Gubernur/Bupati/Walikota bukan bawahan menteri. Karena itulah berlaku norma koordinasi dan sinkronisasi untuk urusan urusan pemerintahan tertentu, misalnya, urusan sosial yang bermuara pada kesejahteraan rakyat.

Tiga mantan menteri sahabat saya, itu mengingatkan, dalam hubungan kerja, yang di dalamnya terdapat tugas dan kewenangan, fatsoen, etika, norma itu menjadi penting. Meski tidak tertulis, ada norma yang mengaturnya.

Menteri BUMN Erick Thohir, memberikan contoh terbaik, ketika dia sowan kepada Gubernur Jakarta Anies R. Baswedan yang kantornya hampir bersebelahan di Jalan Medan Merdeka Selatan, kala membicarakan sinergi terkait dengan percepatan transformasi berkaitan dengan beberapa urusan pemerintahan yang berada di wilayah kewenangannya.

BACA JUGA :  Kalau Anies Peduli Hewan Liar, Yakinlah Beliau Juga Peduli Warganya

Ada tata krama, sesuai dengan pentingnya akhlak, yang sama diyakini oleh kedua tokoh pemerintahan itu, sebagai faktor utama dan penting dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Tidak selonongan.

Sikap selonongan disertai dengan pernyataan arogan ‘saya tidak peduli orang mau ngomong apa,’ menunjukkan buruknya akhlak dan lemahnya pemahaman tentang tugas pokok dan fungsi pejabat pemerintah. Akhlak pejabat sangat penting, karena tanpa akhlak, hubungan penyelenggaraan pemerintahan bisa bermasalah.

Dalam kearifan dan kecerdasan budaya lokal, khasnya Jawa dan Sunda dikenal istilah andap asor, sikap rendah hati yang tercermin dalam berbagai perbuatan, aksi. Di dalam andap asor terdapat dimensi nilai kedalaman insaniah.

Dalam budaya Sunda, misalnya, prinsip dasar kepemimpinan praktis, mengenal idiom fatsoen yang elok, yang melekat dalam pesona persona pemimpin, yakni: sinatria pilih tanding (pemimpin kompeten yang siap berkompetisi), andap asor pamakena (sandangannya adalah akhlak — yang di dalamnya termasuk fastoen, norma, etika), tara jail – tara sirik pidik – tara hasad hasud najan kana musuh (tidak usil, tidak iri, tidak keruh hati, meskipun kepada — siapa saja yang dianggap — musuh atau kompetitor).

BACA JUGA :  Ruang Publik Jakarta, Ruang Publik Tanggap Bencana

Dalam hal mengatasi masalah-masalah sosial, seperti penyandang masalah kesejahteraan sosial, fakir miskin, orang terlantar dan sebagainya, berlaku prinsip pageuh keupeul lega awur (efektif dan efisien berdimensi edukatif), ulah inggis ka linduan ulah geudag kaanginan (tidak limbung karena guncangan budaya, tidak pula menantang-nantang hempasan reaksi sosial), nete taraje nincak hambalan (penuh perhitungan dalam bersikap), caricing pageuh kancing – saringset pageuh iket (wajar-wajar saja), dan banyak lagi.

Dalam konteks akhlak hubungan antar petinggi pemerintahan, menurut kearifan budaya Betawi, ada pantangan, yakni songong. Melakukan sesuatu melampaui batas kewajaran, sehingga bersinggungan dan melampaui otoritas orang lain.

Banyak lagi nilai-nilai baik yang berkaitan dengan fatsoen dan etika sosial dalam mengemban amanah sebagai menteri. Memahami fatsoen adalah pelajaran pertama menjabat menteri atau menjabat jabatan politik lain sebagai petinggi.

Salah satu cara menjalani tugas dan tanggung jawab sebagai menteri adalah “Aja kuminter mundak keblinger,” tak perlu merasa paling piawai, nanti bisa salah arah ! |

Komentar