Oleh: Komaruddin Rachmat
PERISTIWANYA mirip permainan catur (1962–1965), dimana ketika itu umat Islam baik individu atau kelompok yang kritis dianggap sebagai lawan oleh penguasa ditindas habis. Tapi tanggal 23 Mei 1965 itu adalah puncak dari segala puncak dengan tekanan yang amat luar biasa.
Pada 23 Mei 1965 itu di Stadion Senayan itu bergema tuntutan agar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan. Yaitu di hari ulang tahun PKI yang gegap gempita dan dihadiri oleh Presiden RI, Ir Soekarno.
Sampai saat itu tidak ada satupun manusia Indonesia yang berani macam-macam kepada penguasa yang diduga di belakang layarnya adalah Polit Biro PKI. Polit Biro dianggap sebagai dapur khusus di belakang layar untuk semua produk kekuasaan. termasuk yang merancang untuk menekan, mengadu domba kelompok/golongan yang dianggap membahayakan rezim.
Penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang yang kritis adalah peristiwa biasa ketika itu.
Namun posisi permainan catur tiba-tiba berubah ketika satu kelompok kepentingan di dalam kekuasaan (DN Aidit cs) melakukan blunder, yaitu ketika tujuh Jenderal TNI diculik dan dibantai.
Maka seperti di permainan catur, ternyata blunder itu menyebabkan otomatis skak mat bagi sang raja (penguasa), sehingga ahirnya raja sulit keluar dari tekanan itu. Segala cara dilakukan untuk mengalihkan agar bisa keluar dari sekak mat itu tapi hasilnya nihil.
DN Aidit sebagai Menko di pemerintahan rezim ketika sekaligus sebagai Ketua CC PKI, nasibnyapun berubah mendadak dari yang tadinya orang nomor satu sebagai pengatur laku dan kemudian menjadi orang nomor satu yang diburu.
Rupanya begitulah ketika kekuasaan asyik dengan arogansinya, menyebabkan rezim ketika itu semakin haus ingin memperoleh lebih lagi dari yang telah diperolehnya. Terhadap perasaan rakyat mereka under estimate.
DN Aidit cs menganggap melakukan penculikan dan pembunuhan para Jenderal bisa dirasionalkan dengan hanya dilogikakan sebagai konflik internal TNI saja. Tapi ternyata yang terjadi malah justru gelombang tsunami, karena masalahnya bukan hanya kepada TNI tapi adalah kepada seluruh Rakyat yang kemarahannya sudah di ubun2. Ketakutan rakyat akan ditangkap seketika kemudian berubah menjadi kebal takut dan nekad.
Skak mat itu betul-betul mematikan langkah penguasa, usaha apapun untuk merubah keadaan setelah itu tetap nihil, akibat semua kekuatan rakyat bergabung dan fokus pada peristiwa penculikan dan pembunuhan itu saja. Pandangannya tidak mau teralihkan.
Bung Karno sebagai Presiden RI ketika itu hanya bisa mengungkapkan kekesalannya kepada menteri yang paling dekatnya ketika itu, DN Aidid si pembuat ulah ..dengan ungkapan kesel “keblinger!!”.
Ketika itu seperti harimau yang tidak mau melepaskan gigitan pada mangsanya. Seluruh komponen bangsa terus fokus kepada siapa di balik penculikan dan pembunuhan itu.
Semakin ditekan oleh penguasa, konsolidasi hati nurani di kalangan rakyat semakin menjadi, ditandai dengan munculnya berbagai macam kesatuan-kesatuan aksi di luar organisasi-organisasi formalnya. Demo ber jilid-jilid akhirnya melahirkan pahlawan ampera almarhum Arif Rahman Hakim, mahasiswa UI yang gugur tertembak.
Tuntutan para pendemo itu sebetulnya sederhana, yaitu salah satunya agar penanggung jawab pelaku penculikan dan pembantaian para jenderal itu dihukum atau dibubarkan, tapi sampai saat terakhir presiden tidak mau melakukannya.
Kekuasaanpun ahirnya stroke, karena apa yang diinginkan kekuasaan tidak lagi nyambung ke bawah, rakyat bergerak sendiri-sendiri, konflik horizontal terjadi antara rakyat dan PKI di berbagai wilayah.
Setelah pusat tidak mampu lagi menguasai keadaan, akhirnya kurang dari enam bulan sejak kasus penculikan dan pembantaian itu, Bung Barno menyerahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang dikenal sebagai Supersemar kepada Jenderal Soeharto.
Peristiwa itupun menandakan runtuhnya kekuasaan rezim Orde Lama dan berpindah kepada rezim Orde Baru.
Waoluhuw a’ lam bissawab
Komentar