by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
NEGARA menampilkan kementerengan kekuasaan melalui Menko Polhukam Mahfud Md, didampingi sejumlah petinggi negara, termasuk petinggi urusan terorisme, ketika mengumumkan pembubaran dan pelarangan segala hal terkait FPI ( *Front Pembela Islam).*
Markasnya di Petamburan digeruduk aparat. Nampak, tarikannya ke arah terorisme. Menampakkan penyerobotan logika dengan mengambilalih situasi dan pengalaman FPI sebagai korban. Hal yang sudah lama dilakukan Israel terhadap Palestina.
Bila harus diungkapkan dengan satu kata, pembubaran FPI dan segenap konsekuensinya tercakup dalam makna dan sensasi kata: pongah. Negara menyeret dirinya sendiri ke dalam situasi ke-pongah-an dengan menggunakan kekuasaannya sampai batas maksimum.
Tak ada lagi yang yang bisa dilakukan terhadap FPI. Meminjam kurva konsumsi, kekuasaan sudah sampai pada titik U=0 (Nol), tak berguna. Selanjutnya, hanya residunya: menerapkan kekerasan.
Bagaimanapun kekuasaan berbatas. Kecuali bila kekuasaan hendak memaksakan dirinya memroduksi keganjilan. Mao memang pernah mencoba melakukannya: meniadakan nama diri setiap individu karena dianggap kapitalistis. Lalu menggantinya dengan angka, si nomor 01, 02, -—.
Mahfud MD dengan kekuasaan Menko Polhukamnya yang digdaya itu, bisa saja melarang penggunaan singkatan FPI, bahkan huruf F, P, I untuk keperluan apapun. Baik secara lisan maupun tulisan. Dengan bantuan BIN dan Polisi, menggeledah mimpi untuk menyingkirkan FPI dari mekanisme bawah sadar manusia. Tapi, bila demikian, kekuasaan tak lagi berada dalam domain pongah, melainkan sinthing.
Kepongahan ditandai dengan memeragakan tindakan _over kill._ Memamerkan wajah bengisnya. Memertontonkan cara menggunakan kekuasaan secara ugal-ugalan. Mengingatkan penilaian Raffles terhadap raja-raja Mataram: bangsa ini gemar menggunakan kekuasaan secara boros. Lalu, merontokkan dirinya sendiri.
Cenderung kurang disadari, bahwa kepongahan menunjukkan _sesuatu berada pada titik terlemah_ untuk ditika-tiki. Hanya selang beberapa jam setelah pertunjukan kekuasaan itu usai, dideklarasikan FPI yang bukan FPI, sebagaimana pemerintah memaksudkan FPI, di Jakarta, lalu Banten. Tampaknya deklarasi itu bakal disusul berbagai daerah.
FPI ( *Front Persatuan Islam* ) memang siasat, tika-tiki warga menghadapi pameran kekuasaan. Tak kehilangan cita rasa humor, sekalipun pada situasi sulit menanggung nasib, menghadapi kekuasaan yang bersungut.
Melalui tulisan ini, dari sebuah desa di Banyuwangi, dideklarasikan *Front Pembela Indonesia* (FPI). Guna menghormati FPI (organisasi dan anggota laskarnya) yang mati dibunuh secara keji. Serta menyeru kepada segenap warga yang sanggup menjaga kewarasannya: gencarkan tuntutan penegakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam kejahatan terhadap HAM (pembunuhan 6 orang anggota laskar FPI) dan korupsi Bansos.
Dapat dimengerti bila, nanti, dimana-mana muncul prakarsa dan kreatifitas warga mentika-tiki kekuasaan. Terlepas tika-tiki itu menunjukkan empati kepada FPI atau tidak.
Kepongahan kekuasaan, tak terhindarkan, justru mendorong glorifikasi FPI. Juga merangsang ingatan sejarah ketika PKI mati-matian berusaha membubarkan Masyumi.
Di sisi lain, kepongahan kekuasaan justru memunculkan barisan penentang: Koalisi Masyarakat Sipil, sekalipun tak simpati kepada FPI, mereka tak sudi demokrasi diamputasi. Aliansi Perguruan Tinggi Bersatu lantang menentang. Kalangan Pers mereaksi Maklumat Kapolri (Pasal 2d): Masyarakat tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui websute maupun media sosial. Memang, hanya kekuasaan yang dapat mengubah katak menjadi singa.
Perlakuan terhadap FPI yang kelewat batas, justru menggelar di hadapan publik kesemena-menaan. Kekuasaan memang sering kali: pongah!
Komentar