TILIK.id, Jakarta — Pemerintah Indonesia melalui SKB Menteri resmi mengumumkan pembubaran Front Pembela Islam (FPI). Keputusan iti disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD Rabu siang (30/12/2020).
Sesaat setelah dinyatakan dibubarkan, sejumlah pentolan FPI merencanakam berkumpul dan menggelar jumpa pers. Namun urung karana sudah dilarang atas nama ormas FPI.
Para pentolan FPI itu kemudian mendeklarasikan berdirinya ormas pengganti dengan nama Front Persatuan Islam atau disingkat FPI.
“Bahwa kepada seluruh pengurus, anggota dan simpatisan FRONT PEMBELA ISLAM di seluruh Indonesia dan mancanegara, untuk menghindari hal-hal yang tidak penting dan benturan dengan rezim dzalim maka dengan ini kami deklarasikan FRONT PERSATUAN ISLAM untuk melanjutkan perjuangan membela Agama, Bangsa, dan Negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945,” demikian kata deklarator Front Persatuan Islam, Rabu (30/12/2020).
Keterangan Front Persatuan Islam tersebut disampaikan lewat rilis pers tertulis. Deklarator dari Front Persatuan Islam ini termasuk Munarman, sebelumnya dikenal sebagai Sekretaris Umum FPI sekaligus pengacara Habib Rizieq.
Selain Munarman, nama-nama lain yang menjadi deklarator adalah Habib Abu Fihir Alattas, Tb Abdurrahman Anwar, Ahmad Sabri Lubis, Abdul Qadir Aka, Awit Mashuri, Haris Ubaidillah, Habib Idrus Al Habsyi, Idrus Hasan, Habib Ali Alattas SH, Habib Ali Alattas S.Kom, Tuankota Basalamah, Habib Syafiq Alaydrus, Baharuzaman, Amir Ortega, Syahroji, Waluyo, Joko, dan M Luthfi.
Mereka semua menolak keputusan pemerintah yang dituangkan lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) soal pelarangan FPI. SKB itu mereka anggap sebagai bertentangan dengan konstitusi.
“Bahwa oleh karena Keputusan Bersama tersebut adalah melanggar konstitusi dan bertentangan dengan hukum, secara substansi Keputusan Bersama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum baik dari segi legalitas maupun dari segi legitimasi,” kata Front Persatuan Islam.
Seperti diketahui, FPI resmi dilarang oleh pemerintah dengan alasan kerap melakukan tindak kekerasan yang bertentangan dengan hukum.
“Bahwa FPI sejak 21 Juni tahun 2019 telah bubar sebagai ormas tetapi sebagai organisasi FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan yang bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping sepihak, provokasi,” kata Menteri Polhukam Mahfud Md dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Rabu siang.
Pakar hukum tata negara Dr Refly Harun mempertanyakan alasan pembubaran FPI tersebut. Refly menilai belum ada alasan signifikan untuk melarang Front Pembela Islam itu.
“Tentu larangan sebuah organisasi ada alasannya. Kita tidak tau apa alasannya. Kita Tidak tahu apa alasan melarang Front Pembela Islam, karena sajak kedatangan Habib Rizieq sampai sekarang justru FPI banyak dirugikan,” kata Refly di channel Youtube nya, Rabu sore (30/12/2020).
Sedangkan pakar hukum tata negara lainnya, Prof. Dr. Suteki, SH., MH mengaku hatinya perih menyaksikan “style” penegakan hukum di Indonesia ini yang mengutamakan tindakan “memukul” daripada “meraangkul” ormas-ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah.
“Sebuah elegi hukum dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan,” kata Suteki dalam artikelnya, Rabu (30/12/2020).
Prof Suteki mengatakan, tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup “ilmu aturan” yang tidak beraturan bahkan “chaos” karena diracuni oleh arogansi kekuasaan.
“Kondisi ini menyebabkan krisis dalam penegakan hukum yang didesain dengan slogan “negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum,” kata Suteki.
Menurut Suteki, seringkali pemerintah menyatakan bahwa Indonesia itu negara hukum. Artinya, sebanarnya setiap penyelenggara negara sejak awal harus memahami bahwa kekuasaan yang dipegang itu dibatasi, diatur dan diarahkan oleh negara agar tidak digunakan secara suka-suka kami (SSK).
“Ada rule of the game. Saya melihat proses penjatuhan sanksi terhadap FPI ini tidak didasarkan pada SOP yang benar, yakni sesuai dengan Pasal 62 UU Ormas 2017, yakni ada 3 tahap yang harus dilalui, yaitu peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan pembubaran,” ujarnya.
Suteki tidak melihat SOP itu dilakukan pemerintah namun langsung membubarkan FPI. Dengan begitu, maka Hukum yang tidak dipatuhi oleh Pemerintah berakibat sekaratnya demokrasi dan berakhir pada penindasan atas HAM.
“Jika demikian, Anda masih berani menepuk dada seraya berucap: Indonesia negara hukum?” tanya Suteki. (lms)
Komentar