by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
BINTANG Kejora berkibar di KJRI Australia, Indonesia dinilai makin tak berdaya. Jangan salah!
Memang, kondisi Indonesia sedang parah. Ketidakpuasan umum terkait Pilpres yang dianggap curang terus menjadi ganjalan. Efeknya terlanjur tak bisa surut.
Kekhawatiran ‘akal sehat’ terbukti: pemerintah menerbitkan sejumlah UU (Minerba sampai Omnibus) dengan cara abnormal. Juga kebijakan (Investasi, TKA, ..) yang dikecam banyak pihak karena diyakini merugikan negara dan bangsa.
Perekonomian kian terpuruk. Tumbuh negatif dua kuartal terakhir. Hutang menggunung. Indonesia meyakinkan dalam resesi. Tak tertutup kemungkinan, musim semi aksi-demonstrasi segera kembali.
Rakyat secara umum masih tenang. Resesi seolah tak berarti. Rakyat sukarela menjaga diri, percaya Covid 19 tak henti merajalela. Selain itu, perhatian rakyat disedot efek HRS.
Republik sibuk mengurus HRS. Pemerintah, dalam hal ini, amat cerdik. Apapun terkait HRS dikelola agar menghasilkan kehebohan, tak boleh ada jeda: perang melawan baliho, RS. Ummi, pemanggilan oleh Polri, termasuk, kabarnya tukang tenda yang jasanya disewa HRS, juga akan dipanggil.
Semakin banyak keanehan, semakin baik, karena menimbulkan kehebohan berkelanjutan. Anies diposisikan sebagai faktor kombinasi. Karena, fokus perbincangan di republik ini, praktis dibagi dua: HRS dan Anies.
Uniknya, ‘kebetulan yang diharapkan’ tersedia dalam jumlah sesuai kebutuhan. Nyaris tak terpikirkan, lalu muncul MIT: Mujahidin Indonesia Timur. Tiba-tiba muncul sebagai raksasa yang ganas. Tentu perkara gawat, mendesak untuk segera digasak. Karena, Indonesia Timur, pasti lebih luas dari Pabar. Lebih gawat lagi: Mujahidin, golongan orang-orang yang berjihad. Tak bisa lain, pasti orang Islam. Selalu begitu, sejak zaman Warsidi Lampung.
Masuk akal bila pasukan TNI diprioritaskan ke Sigi. Selain itu, operasi militer pasti harus didukung kecukupan logistik dan biaya operasional perang yang tidak kecil, lebih-lebih ke medan tempur yang jauh: Pabar. Sementara kantong APBN kosong.
Pertimbangan lain, MIT beraksi di belantara tak terjamah. Mantan Panglima yang sedang berkantor di istana, setengah pasrah: aparat keamanan tak mampu atasi teroris MIT karena kondisi geografis.
Maka, ketika Pabar menyatakan kemerdekaan, hal itu tak terdengar sebagai ancaman bagi NKRI. Apalagi Menko Polhukam, Mahfud Md, menilai Wenda hanya buat negara ilusi. Ia berkomentar renyah: Deklarasi Benny Wenda Cuma lewat twitter, kenapa kita rebut? Jangan menganggap Mahfud sedang mbanyol.
Maka, tak terlalu menyimpang bila dibaca: Indonesia sesungguhnya sudah siap menghadapi opsi terburuk terkait Pabar. Dasarnya: Indonesia, sedang tak berdaya, karena harus menghadapi aneka persoalan berat di Jakarta dan sekitarnya gara-gara HRS yang berkelindan dengan Anies. Ditambah di Indonesia Timur.
Indonesia dalam situasi ‘sedang bermimpi buruk tengah malam, yang bakal menjadi kenyataan’. Dan, tatkala terbangun dipagi hari, kaget, tak percaya: tiba-tiba Pabar merdeka. Apa boleh buat!
Jadi, layaknya telah dinubuatkan, tampaknya, tak lama lagi, Pabar bakal merdeka. Bila benar demikian, tentu mengurangi beban APBN. Anggaran yang selama ini dialokasikan ke Pabar bisa ditambahkan untuk Covid 19.
Mata awam tentu tak mudah melihat tanda-tanda pemerdekaan Pabar berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, karena kantong APBN terisi.
Awam hanya mendengar kabar dari Mabar (Manggarai Barat) tempo hari: Oknum Pejabat Pemkab, menjual pulau. Bila tak salah, tiga triiun harganya.
Mencermati perangai pelaku pasar dewasa ini, boleh jadi, tak ada lagi: harga mati! Termasuk soal NKRI.
Komentar