by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SEPANJANG abad 20, dunia giat mencetak negara baru. Jumlah yang dihasilkan mengesankan. Diawali paska Perang Dunia ke-2, sejumlah negara merdeka. Umumnya di kawasan Asia dan Afrika. Dua bentangan benua yang melebihi separoh luas bumi, tempat kolonialisme bercokol, menebar semua hal yang tak senonoh bagi kemanusiaan.
Kolonialisme: babakan kelam sejarah peradaban manusia moderen. Penyebabnya: perluasan kapitalisme, dan boleh jadi, gegar nalar akut yang merundung bangsa-bangsa barat. Mereka melihat aneka barang yang dibutuhkan pasar Eropa. Dan, memandang manusia di tanah seberang, layaknya makhluk setengah manusia, muncul dari celah-celah tanah: peri bumi-pribumi. Mengganggu perdagangan rempah dan mengotori sumur minyak. Lalu, ditembaki sesuka hati sembari minum jenever.
Sebagian makhluk pribumi dipelihara karena berguna untuk bercocok tanam: karet, tebu, cengkih, rempah-rempah. Juga serdadu yang bertugas menembaki bangsanya sendiri. Sebagian memilih menyemai ideologi dan perlawanan di tanah terjajah.
Amerika, negara yang tidak punya banyak jajahan sampai saat itu, menjadi pemenang PD 2, setelah membebaskan Eropa dari pengganyangan Jerman serta, meluluhlantakkan negara fasis Jepang, berandil besar menghantarkan lahirnya negara-negara baru.
Indonesia salah satu negara produk kurun itu. Merdeka melalui perang revolusi mengenyahkan kolonialisme eksternal–Belanda. Ketika para pendiri negara berembuk menentukan batas-batas wilayahnya. Moh. Yamin dan Bung Hatta berbeda pendapat. Yamin mengikuti wilayah kekuasaan Majapahit. Bung Hatta tak hendak memasukkan Papua, cukup bangsa Melayu saja.
Soekarno menengahi: batas-batas wilayah negara kita mengikuti jejak kaki serdadu Belanda. Jejak itu juga ditemukan di Papua. Maka, Papua masuk wilayah NKRI. Walaupun baru belakangan Belanda mengakui. Bung Karno mengganti nama Papua menjadi IRIAN: Ikut Republik Indonesia Anti Nederland/Nekolim. Bung Karno memang dewa akronim.
Babakan selanjutnya berlangsung pada dekade-dekade terakhir abad 20. Dipicu oleh keruntuhan komunisme, yang segera disusul rontoknya kekuasaan Uni Sovyet dan negara-negara sosialis-komunis di Eropa Timur, akibat gigitan terus menerus yang dilakukan demokrasi serta cumbu rayu kapitalisme yang begitu erotik.
Tumbangnya sosialisme-komunisme berbanding lurus dengan tumbuhnya demokrasi. Kemudian, lahirlah negara-negara baru seturut jalur darah (etnik). Proses kelahiran itu lazim disebut disintegrasi, arus balik resorgimento ala Italia.
Salah satu negara yang mengalaminya: Ceko Slovakia. Sebuah negara kecil yang melahirkan negara mungil. Vaclav Havel mungkin seorang pemimpin yang tak mujur. Setelah sukses membebaskan bangsanya dari cengkeraman negara otoriter komunis, ia terpilih menjadi presiden pertama sekaligus terakhir Republik Ceko Slovakia. Sebab, tak lama kemudian, melalui referendum, rakyat memutuskan berpisah.
Republik Ceko dan Republik Slovakia menjadi dua titik di atlas dunia. Syukurlah, Havel meninggalkan pesan: langit kelabu kebosanan, kebekuan, dan kebisuan muncul kembali. Kita hanya terpesona akan aneka warnanya yang menyiratkan betapa sulit menampakkannya dalam iklim politik bebas kita, baik dalam arti baik maupun buruk, selalu mengalami hal-hal yang mengagetkan. Khas pesan seorang sastrawan.
Dan, Timor Timur lepas sudah. Timtim memang memiliki klaim sejarah yang kuat, karena kontrak pembentukan bangsa dan negara Indonesia mengikuti tapak kaki serdadu Belanda. Tapak kaki itu tak ditemukan di Timtim, karena Timtim tempat bagi Portugis untuk menginjak-injak.
Melalui referendum, Timtim menyongsong kemerdekaannya.
Komentar