by: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan
Pemerhati Bangsa)
TENTARA, kata ini dipilih untuk mencakup: TNI sebagai institusi, tokoh-tokoh Purnawirawan yang menjadi pejabat negara, dan purnawirawan pada umumnya. TNI sebagai institusi tentu mencakup Prajurit dan Perwira, secara hirarkis. Dus, tentara: sebuah keluarga besar. Kuat, solid, tertib. Semua anggota keluarga hidup seturut acuan yang paten.
Namun, perkembangan akhir-akhir ini, menampakkan semacam anomali, sesuatu yang tak selazimnya, dalam pandangan awam.
Penegakan disiplin, menyangkut hal-hal sepele menurut ukuran sipil (contoh: mengikat tali sepatu), menjadi sesuatu yang mendasar. Sanksi-hukuman menjadi lumrah, harus ditegakkan.
Anomali terasa pada kasus dua orang prajurit yang ditahan terkait penyambutan kepulangan HRS. Mungkin, memang tidak lazim bagi tentara mengagumi tokoh non tentara. Kasus itu, tampaknya lebih dari sekedar soal kekaguman kepada seorang tokoh sipil. Tapi, menunjukkan tanda-tanda ketaksesuaian batin antara prajurit dengan pimpinan.
Berbeda pandangan memang gejala yang sangat manusiawi. Terasa sebagai anomali, ketika perbedaan pandangan itu terjadi di kalangan Perwira, terkait hal yang amat mendasar bagi tentara: pemahaman atas kondisi dan persoalan bangsa. Menyangkut isu spesifik: cukong yang menguasai negeri ini.
Perbedaan itu mencuat di ruang publik. Karena beredar di medsos, video unggahan seorang Kolonel, yang mestinya hanya untuk kalangan sendiri.
Kita juga mengikuti kasus Ruslan Buton, dan lainnya yang bermunculan di medsos. Internet tampaknya rahmat terbesar setelah Tuhan tak lagi menurunkan kitab suci.
Perbedaan pandangan dan sikap terkait persoalan itu, juga berlangsung terbuka antara Purnawirawan dengan TNI Aktif. Jendral Gatot Nurmantyo, mantan Panglima, menjadi pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Kerap menyampaikan pernyataan kritis.
Sebelumnya heboh kasus P. Kivlan Zein. Juga ada video beliau marah-marah secara langsung kepada seorang jendral.
Para Jendral Purnawirawan, bebas bergerak seturut pandangan dan tempat pijaknya sendiri atas persoalan bangsa dan Negara. Awam mengerutkan dahi, melihat fragmentasi cara pandang dan cara rasa tentara atas keadaan republik ini.
Fatsun-etika: soal yang amat esensial bagi tentara. Pangkat, senioritas, menjadi sub teks antara kitab suci dan hukum. Senior amat dihormati, harus dianggap tidak pernah salah. Ada kecenderungan sipil mengadopsi fatsun itu, terlihat dari kegemaran menggunakan prasa: siap senior!
Kasus upacara di TMP Kalibata Oktober lalu, menjadi gelagat fatsun itu sedang berubah. Acara para Purnawirawan, dibubarkan Komandan Kodim. Mereka otot-ototan di trotoar.
Terlebih menyangkut soal-soal besar yang rumit: negara hukum, persatuan, revolusi, yang disinggung Pangdam Jaya tempo hari. Keluarga besar ini, dapat diduga akan menyerupai suku pengacara yang gemar memperdebatkan segala hal.
Tapi, Pangdam Jaya sudah tegas: TNI akan menghajar dengan keras, siapa saja yang mengancam persatuan, tak patuh hukum, dan coba-coba bikin revolusi. Kurang lebih begitu.
Sensitifitas dan penelisikan atas ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, Gangguan) terhadap bangsa dan negara, serta konsekuensinya pada identifikasi musuh, penentuan: tindakan, pasukan, wilayah operasi, yang jelas-jelas soal teknis militer, juga tampak tidak merujuk pada referensi yang standar.
Keluarga besar bersilang pendapat. Kisruh seputar pembentukan UU (Minerba sampai Omnibus), Pancasila dalam perspektif HIP, penguasaan SDA, hutang luar negeri, isu komunisme, ….. menjadi kurang penting, sebagaimana ditunjukkan kasus Operasi Petamburan, yang merangsang mantan Panglima bersuara keras, dan Bang Yos, seorang Jendral Purnawirawan, bersuara lain.
Zaman P. Harto dulu, keluarga besar ini: sangat keras tapi juga jelas dalam urusan bangsa dan negara. Solid, utuh, sekalipun dalam balutan misteri.
Tampaknya, ada yang tak lazim dewasa ini. Dimana akarnya?: doktrin, proses pembatinan nilai, praksis – laku hidup dalam markas, _corporate culture_ (lazimnya perusahaan), …… atau, zaman memang berganti, membawa anomali.
Komentar