by: Ludiro Prajoko
TEMPUS mutantur, et nos mutamur in illis: Waktu berubah dan kita pun ikut berubah di dalamnya. Kata pepatah Latin. Manusia memang dibekali kesadaran waktu. Dengan itu manusia memiliki: masa lalu yang diawetkan dalam kenangan, hari-hari ini, dan masa depan. Lalu, manusia meramal, menyusun rencana, memrediksi, membuat proyeksi, dan mencantholkan sesuatu di masa depan: harapan.
Manusia mengeksternalisasikan kemanusiaannya melalui hidup bersama. Tak terelakkan, mencuat fenomena kekuasaan. Kehadiran kekuasaan yang tak menindas, senantiasa menjadi dambaan. Sialnya, kebanyakan manusia cenderung tak berdaya. Dimana-mana, mereka ditindas. Sejarah manusia berhimpitan dengan sejarah penindasan.
Untunglah harapan tak pernah habis, selama masih tersedia masa depan. Memang, masa depan mengandung kecohan. Tapi, manusia cukup waspada. Dipilahlah masa depan itu: yang terbayangkan dan yang jauh– melampaui yang terbayangkan, yang dihayati melalui konsep: akhirat.
Tuhan memang menjelaskan konsep waktu: Ashr, waktu relatif, waktu yang dapat dihitung, detik sampai millennium. Bergulir membawa maut. Setiap yang ada dalam waktu ini, mencumbui kekasihnya: kematian. Dan, waktu absolut, Dahr, yang tak diketahui kapan mulai dan berakhirnya. Disanalah yang abadi terbentang.
Kapasitas untuk berubah menjadi keunikan manusia dalam menyikapi waktu. Dan, manusia, sungguh, mahkluk yang cepat berubah. Dilecut moderenitas dan hasrat, manusia terlalu cepat sampai kedapan, meninggalkan banyak hal segera kuno. Manusia moderen menghasilkan fosil hanya dalam beberapa tahun. Layaknya perkakas elektronik. Fenomena itu tidak hanya berlaku terhadap perkakas hidup sehari-hari, tetapi juga piranti perjuangan untuk mewujudnya harapan: hidup yang tak lagi ditindas.
Contoh mengesankan: wong cilik. Pengggambaran, penghayatan orang Jawa atas seseorang-sekelompok orang yang dibaikan, lantaran mereka tak memiliki daya, tak menguasai sumberdaya. Marx menyebutnya proletar, mereka yang harta kekayaannya hanya berupa proles: anak dan cucu. Mereka jelata, ditampilkan melalui simbol-simbol ketakberartian. Diartikulasikan oleh orang Jawa, melalui, antara lain: nama. Nama diri Paijo, Markeso, … sesungguhnya tak memiliki arti, sekedar mewartakan kejelataan.
Secara agak sembrono, wong cilik diidentikkan dengan rakyat. Rakyat memang disesaki wong cilik. Tapi, wong cilik tidak serta merta rakyat. Wong cilik cenderung pada perspektif sosial-ekonomi. Ada dimensi ke-rakyat-an yang tidak selalu melekat pada wong cilik: ketertindasan, ketidak adilan. Wong cilik tak diberangus peluang mobilitasnya: sosial, ekonomi, vertikal, …. .
Perubahan juga menyorongkan peluang dan kabar baik bagi wong cilik. Lalu, sekejap memboyong wong cilik menjadi wong gede. Tapi, rakyat selamanya rakyat, karena masa depan tak steril dari benih apenindasan. Juga, tak ada vaksin penangkal ketidakadilan. Masa depan memang menyimpan harapan dan kengerian.
Kejelian melihat wong cilik itu, dalam perjuangan politik, diidealisasi menjadi ideologi politik. Karena perjuangan politik harus rapi, terstruktur. Jadilah Partai Wong Cilik (PWC). Bergerak dalam suka duka dan luka seperlunya. Melawan rejim yang dimaki-maki sepanjang waktu: otoriter, korup!
Tempus mutantur … dan, zaman berubah. PWC menjelma menjadi Partai Wong Gede (PWG). Tampak cukup jelas pada bagian pantat (kursi dan posisi yang diduduki). Disebabkan, pertama: meraup banyak suara dalam kompetisi berebut Vox Dei – Suara Tuhan. PWG tahu pasti, jargon demokrasi: dari, oleh, dan untuk rakyat, memang mengecoh. Rakyat musykil menduduki posisi oleh. Selalu oleh itu elit- wong gede. Kedua: wong cilik sudah tamat. Wong cilik sudah meninggalkan ke-cilik-kannya. Wong gede melupakan ke-wong cilik-kannya.
Wong gede lantas menyintas melalui: Reproduksi, berkuasa selalu membawa kerentanan, mudah tergoda mencetak ulang hal-hal yang dulu dikutuk: KKN. Menyesuaikan dengan tingkat depresiasi rupiah, korupsi tembus hitungan trilliun. Angkatan muda wong cilik yang well educated, trengginas melibatkan diri, dan secara cerdas memaknai korupsi: sejenis usaha bersama berbasis e-KTP. Para teman ribut berdesakan menduduki kursi Komisaris BUMN. KKN menekuk para pengutuknya. Pelelahan hukum karena tak henti dipaksa beratraksi menyihir keadilan. Hukum diambang frustrasi, murung mengeluh lantaran selalu dipermainkan. Tempo hari menyulap seorang lelaki hingga lenyap. Merkantilisasi, kekuasaan dan jalan menuju kuasa, sejenis kopi dan gabah. Komoditas yang memang harus diretailkan. Juga menjual asset dan sumberdaya alam. Akuisisi sejarah, mengubah akta kelahiran, juga memerger sila-sila. Hibridasi, mengawin silangkan demokrasi dengan monarki. Kaidah demokrasi twice is enough tak berlaku. Gagasan ini digencarkan melalui lidah-lidah yang giat menjulur-menjilat. Kekuasaan mengalir seturut jalan darah. Dekonstruksi Negara hukum melalui aneka tindak, kebijakan, dan produksi perundangan yang mengobjektifikasi Negara kekuasaan, dan ……. (silakan dilanjutkan sembari minum kopi).
Claudianus, seorang penyair yang hidup pada masa ketika kekaisaran Romawi menjelang runtuh. Karyanya bercorak panegyrics: puja puji kepada tokoh, khususnya Kaisar Honorius yang memerintah Romawi Barat dan, sang Panglima Perang Flavius Stilicho. Romawi Barat akhirnya dilumat kaum Visigoth dari Skandinavia. Mereka dipandang layaknya gerombolan yang turun dari gunung-gunung, dipimpin Alaric, sang jagoan. Merebut dan menguasai Romawi dua abad lebih.
Meratapi kehancuran Roma, sang penyair hanya bisa mengumpat: Asperius nihil est humili, cum surgit in altum: Tidak ada yang lebih ganas daripada ketika wong cilik berkuasa.
Komentar