Oleh Yusril Ihza Mahendra
KEMARIN, Senin tanggal 2 November 2020, Presiden Jokowi telah menandatangani UU No 11 Tahun 2020. Dengan demikian RUU Tentang Cipta Kerja yang menyulut banyak kontroversi telah final menjadi undang-undang yang berlaku setelah diumumkan oleh Menkumham dalam Lembaran Negara RI pada hari yang sama.
Ada sejumlah masalah yang kini dihadapi Pemerintah —dan seharusnya juga DPR— dengan disahkannya UU Cipta Kerja ini. Pertama adalah penolakan keras dari berbagai kalangan, terutama kalangan pekerja yang menilai UU ini sebuah kemunduran yang merugikan kepentingan mereka. Demo besar-besaran yang digerakkan Serikat Pekerja dan didukung elemen lain dalam masyarakat dalam
menolak UU Cipta Kerja menambah keadaan yang sudah runyam akibat Pandemi Covid 19 menjadi semakin mengkhawatirkan.
Sejumlah akademisi dan aktivis sosial juga mengkritik UU yang proses pembuatannya kurang transparan. Pembahasannya terkesan tergesa-gesa sehinga menabrak undang-undang lain. UU ini juga dinilai terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lanjutan baik kepada Peraturan Pemerintah maupun kepada Peraturan Presiden.
Pendelegasian pengaturan yang begitu banyak, menimbulkan kekhawatiran para akademisi akan makin membesarnya kekuasaan Presiden yang potensial menabrak asas-asas demokrasi. Potensi seperti itu dianggap bertentangan dengan cita-cita Reformasi 22 tahun yang lalu.
Uji Formil dan Materil ke MK
Sejak sebelum ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 3 November silam, sudah ada pihak-pihak yang mendaftarkan permohonan pengujian UU Cipta Kerja ini ke MK. Presiden Jokowi sendiri dalam statemen kepada masyarakat tanggal 9 Otober yang lalu, telah mempersilahkan elemen-elemem masyarakat yang tidak puas, dan bahkan menolak UU Cipta Kerja ini untuk mengujinya di MK.
Keinginan mereka yang ingin menguji UU Cipta Kerja ke MK, baik uji formil maupun materil memang pantas didukung agar MK secara obyektif dapat memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses pembentukan UU Cipta Kerja ini menabrak prosedur pembentukan undang-undang — termasuk melakukan amanden terhadap undang-undang—atau tidak. MK akan menggunakan norma-norma dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2019 untuk menilainya.
Sebagaimana kita maklum, Omnibus Law adalah sebuah undang-undang yang mencakup berbagai pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak langsung. Dalam proses pembentukannya, ombibus law sangat mungkin akan merubah undang-undang yang ada disamping memberikan pengaturan baru terhadap sesuatu masalah.
Persoalannya kemudian adalah apakah proses pengubahan atau amandemen terhadap undang-undang lain itu sejalan atau tidak dengan norma dan prosedur perubahan sebagaimana diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
Debat tentang kesesuaian prosedur seperti saya kemukakan di atas akan sangat panjang dengan melibatkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, maka dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang melalui pembentukan omnibus law adalah tidak sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011. Tentu akan ada pandangan yang sebaliknya.
Kita ingin menyimak seperti apa argumentasi Pemerintah dan DPR di MK nanti dalam menjawab persoalan prosedur ini. Pemerintah dan DPR memang harus hati-hati dan argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja dengan menggunakan cara omnibus ini.
Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tapa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945.
Selain uji formil terkait prosedur pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang menerapkan pola Omnibus Law, uji materil tentu akan terkait dengan pengujian substansi norma yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja terhadap norma konstitusi di dalam UUD 1945.
Mengingat cakupan masalah dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini begitu luas, maka setiap Pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka. Kita tentu ingin menyimak apa argumen para Pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan Pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materil tersebut.
Persoalan Salah Ketik
Persoalan yang juga mendapat banyak sorotan dalam UU No 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini adalah banyaknya kesalahan pengetikan. Ini semua terjadi karena proses pembentukan undang-undang ini dilakukan tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan.
Namun seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. UU yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani Presiden dan sudah diundangkan dalam lembaran negara. Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak.
Bagaimanakah cara memperbaiki salah ketik seperti itu? Haruskah Presiden mengajukan UU Perubahan atas UU No 12 Tahun 2020? Ataukah mengajukan Perpu untuk memperbaikinya?
Saya berpendapat kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam undang-undang itu, maka Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu.
Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu.
Selama ini adanya salah ketik dalam
naskah yang telah disetuji bersama antara Presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah beberapa kali terjadi. Mensesneg yang segera mengetahui hal tersebut karena harus membaca naskah RUU secara teliti sebelum diajukan ke Presiden untuk ditandatangani, biasanya melakukan pembicaraan informal dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis. Setelah diperbaiki baru diajukan lagi ke Presiden dengan memo dan catatan dari Mensesneg.
Kesalahan ketik kali ini memang beda. Kesalahan itu baru diketahui setelah Presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam lembaran negara.
Bentuk Tim Penampung Aspirasi
Mengingat banyaknya komplain terhadap UU No 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, maka ada baiknya jika Pemerintah membentuk tim untuk mengkaji dan sekaligus menampung aspirasi masyarakat yang tidak puas atas undang-undang ini.
Langkah ini penting untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa Pemerintah tanggap terhadap aspirasi dan sadar bahwa UU No 12 Tahun 2020 itu perlu disempurnakan. Terjadinya demo besar-besaran di berbagai kota tidaklah dapat dipandang sepi.
Aspirasi para pekerja, akademisi, aktivis sosial dan mahadiswa sangat perlu mendapat tanggapan Pemerintah sebagai pelaksanaan demokrasi. Pemerintah harus punya keberanian berdialog dengan elemen madyatakat yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja ini. Dengan dialog itu, Pemerintah akan menyadari bahwa undang-undang Cipta Kerja ini mengandung banyak kekurangan yg perlu diperbaiki dan disempurnakan.
Tim Penampung Aspirasi ini juga dapat menerima sebanyak mungkin masukan elemen-elemen masyarakat dalam menyusun begitu banyak Peraturan Pemerintah yang diperlukan untuk menjalankan Undang-Undang Cipta Kerja ini.
Dialog untuk menerima masukan ini sekaligus berfungsi untuk menjelaskan hal-hal yang memang perlu dijelaskan kepada rakyat. Seringkali elemen-elemen masyarakat komplain, protes dan menolak sesuatu tanpa pemahaman yang memadai tentang apa yang mereka tentang.
Di zaman ketika teknologi informasi berkembang demikian canggih, semakin banyak orang yang malas membaca dan menelaah sesuatu dengan mendalam. Pemahaman dibentuk oleh tulisan-tulisan singkat dan audio-visual yang terkadang memelesetkan sesuatu, sehingga jauh dari apa yang sesungguhnya harus dipahami.
Tugas Pemerintah adalah menjelaskan segala sesuatu yang terkait dengan UU Cipta Kerja ini dengan bahasa yang mudah dipahami semua kalangan. Tugas itu memang melelahkan, tetapi Pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali melakukannya.
Jakarta, 3 November 2020
Komentar