by: Ludiro Prajoko
TAK ada realitas di luar bahasa, kata Rorty. Dan, boleh jadi, tak ada bahasa di luar kuasa.
Gejala aneh dalam transaksi makna, muncul seiring serbuan kosa kata: radikal, intoleran, Pancasila, anarkis, investasi, cipta, kerja, kebakaran, mahkamah, puntung rokok, margin, halaman, typo, ….., yang menyerbu diskursus publik dewasa ini.
Kecanggihan teknologi komunikasi-informasi mengesahkan setiap orang menyajikan informasi apapun melalui media sosial. Setiap orang adalah pembuat berita. Sejauh peristiwa itu terjadi di ruang publik, tidak ada larangan bagi siapaun untuk menyampaikan. Tentu menjadi masalah bila konten sajiannya mengandung dusta-kebohongan.
Maka, kita mengenal: hoax . Kosakata yang belum terlalu lama akrab di telinga kita. Menggeser diksi Illahiyah: fitnah. Pengertian standarnya: berita bohong, informasi yang secara sadar dikemas menjadi dusta untuk menciderai yang benar.
Motifnya beragam: ekonomi, sosial, politik, atau sekedar iseng. Juga beraneka tujuannya: mengelabuhi, menyimpangkan persepsi, membentuk opini akan “yang benar”, membentuk kebenaran yang tak benar guna menegasikan kebenaran yang benar-benar benar, menipu, menampilkan yang palsu dengan menyingkirkan yang objektif-otentik.
Hoax tumbuh subur dan merayakan dirinya dalam dunia simulacra. Difasilitasi piranti yang canggih dewasa ini, realitas dan kebenaran objektif tertawan dalam kebimbangan, ambigu. Kebenaran tidak pasti dalam dirinya sendiri, tapi ditentukan oleh kemampuan teknis menelisik seluk beluk digital forensic.
Dalam dunia yang terlanjur demikian, kata, angka, suara, warna, gambar (statis atau bergerak), adalah simbol-simbol yang bebas dirangkai menjadi narasi untuk dikunyah publik. Lebih-lebih dalam relasi dan domain, dimana opini publik menjadi perkara sangat penting. Kecermatan dan kewaspadaan terhadap hoax berandil besar menentukan nasib.
Secara umum, penebar hoax adalah pelaku kriminal yang diancam dengan hukuman penjara. Secara khusus, hoax menjadi unsur penting dalam agitasi, propaganda, lebih-lebih black campaign.
Hoax tentang Minak Jinggo diproduksi untuk membunuh karakter Raja Blambangan. Tampaknya, dalam konteks itu, hoax bukan perkara kriminal. Dan, hoax produk yang kuasa, menjadi hoax yang sempurna. Publik memang digiring dengan roti dan sirkus, senapan dan kuasa hoax .
Lalu, peristiwa unik terjadi, ketika massa mahasiswa Universitas Bataghari berdemo menolak Omnibus Law di depan gedung DPRD Jambi. Kita tahu itu dari video yang beredar di media sosial. Menayangkan seorang yang mengenakan jaket almamater sebuah universitas, ditangkap, dipiting, dipukul, ……….. Lalu, seseorang membela, sampai akhirnya dia menendang seorang polisi berseragam dengan peralatan lapangan lengkap. Terdengar jelas suara: itu perwiraku….
Sejauh pengamatan mata telanjang, tayangan itu sangat meyakinkan sebagai rekaman peristiwa yang sebenarnya. Realitas objektif. Artinya: peristiwa itu bukan rekaan. Dari tayangan itu, publik mencerna: seorang polisi (Perwira – intel) menyusup dalam massa demonstran, ketangkap polisi yang bertugas mengamankan, dipukuli,…
Apakah yang terjadi selanjutnya? Muncul berita: “Tangkap 28 orang, Polda Jambi Buru Pembuat Video Perwira Polisi Nyamar Jadi Mahasiswa”. Polisi menyangkal: tidak ada polisi yang menyamar, menyusup, dalam aksi demo mahasiswa itu.
Juga berita tentang penyebab terbakarnya gedung MA: puntung rokok. Lalu, polisi menangkap beberapa orang pekerja bangunan yang diduga sebagai pelaku: merokok sambil bekerja.
Polisi, mahasiswa, demo, tolak, buruh, puntung, rokok, tangkap, … , sejumlah kosa kata yang menampilkan kuasa simbol. Polisi=penegak hukum, penjaga ketertiban. Rokok=penyebab segala penyakit, juga kebakaran. Tolak= ketaksediaan menerima hal-hal yang baik.
Ditunjang persepsi kuasa. Buruh=tak pandai bersyukur. Demo=termakan hasutan. Ditangkap=pengacau, bajingan. Dua puluh delapan (28) jelas menunjukkan jumlah yang banyak. Menyakinkan bahwa mereka memang salah, dan penangkap sudah bertindak benar.
Kuasa menjadikan kata-kata sebagai hoax, dan hoax sebagai kata-kata yang digdaya. Hoax berkerja melingkar: mengubah kebenaran menjadi hoax , lalu mengubah dirinya menjadi kebenaran dengan menciptakan ambiguitas, keragu-raguan. Dengan demikian, hoax menampilkan kegenitannya, menggoda, mengecoh, menahan siapa saja dalam ruang antara ya dan tidak.
Publik tentu percaya tayangan video “Polisi Nyamar” itu, nyata dan benar adanya. Tapi, kuasa simbol dan persepsi kuasa memaksa, bukan untuk membatalkan keyakinan akan yang benar, tapi menariknya dalam kebimbangan. Tugas hoax memang mempermainkan, agar yang benar tak sampai pada kuasanya.
Hasilnya: kerancuan orientasi yang menggerus sensitifitas akan yang nyata dan yang palsu, yang jujur dan yang dusta. Dan, kebenaran kehilangan dimensi uniknya: terpercaya.
Kuasa hoax menjadikan dunia sebagai paduan simulacra dan simalakama. Di dalamnya, bertahan sebagai orang yang waras, bukan perkara mudah!
Komentar