Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
DEMO ricuh. Terjadi baku hantam aparat dan demonstran. Ada kelompok ketiga yang diduga berperan sebagai pemicu kerusuhan. Memprovokasi agar aparat dan demonstran berhadap-hadapan. Terlihat dalam video yang beredar, terjadi tindakan anarkis sejumlah pihak. Fasilitas umum dirusak, termasuk milik Pemprov DKI. Entah oleh siapa. Yang pasti, bukan oleh para demonstran. Ada tangan-tangan jahil yang memanfaatkan ketulusan dan perjuangan para pelajar, mahasiswa dan buruh dalam demo UU Ciptaker itu.
Anies hadir di tengah ketegangan itu. Lewat tengah malam, Anies datang dan berada di tengah para demonstran. Mendengarkan semua aspirasi mereka.
Kehadiran Anies berhasil menyembuhkan kekecewaan mereka dan meredam gejolak. Menampung aspirasi dan menenangkan para demonstran. Hingga mereka pulang dengan lega dan tenang.
Esoknya, dan juga hari-hari berikutnya, terjadi lagi demonstrasi. Tak berhenti, dan terus bergelombang. Bahkan hingga hari ini. Sebab, tuntutan mahasiswa, buruh, ormas Islam dan elemen umat untuk batalkan UU Ciptaker belum dipenuhi.
Beberapa demonstrasi telah memakan banyak korban. Terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan kabarnya, rumah warga, diantaranya di Kwitang Senen Jakarta Pusat, diserbu aparat. Gas air mata bertebaran di dalam rumah. Ibu-ibu dan anak-anak balita yang tak terlibat dan tak tahu menahu tentang demo ikut jadi sasaran gas air mata. Pedih! Perih! Tidak saja terasa di mata, tapi juga di hati.
Kantor Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Menteng Raya 58 diserbu. Sejumlah kaca pecah dan fasilitas dirusak. Aparat masuk ke dalam kantor dan menangkap sejumlah aktifis. Darah berceceran. Diduga banyak yang terluka. Entah darah itu keluar dari tubuh pelajar, atau bahkan. ungkin dari kepala yang robek.
Belum terkonfirmasi berapa ribu persisnya jumlah pelajar dan mahasiswa yang telah ditangkap. Entah berapa banyak yang terluka. Dan berapa banyak pula yang terkapar di rumah sakit. Ngeri bila kita melihat penganiayaan kepada mereka di berbagai video yang beredar di medsos. Betul-betul ngeri. Gak bisa membayangkan anak-anak itu ditonjok ramai-ramai, dipukul pakai tongkat dan ditendang bertubi-tubi oleh sepatu aparat.
Yang pasti, itu terjadi di Indonesia. Terjadi pada saat pelajar dan mahasiswa itu sedang demo. Bukan sedang curi lahan hutan, eksploitasi tambang atau korupsi uang negara. Tapi, mereka sedang demo! Demo untuk masa depan bangsa.
Situasi agak mencekam. Ada yang bilang sudah pada level 5,5. Kalau level 6, itu artinya dharurat sipil
Kalau level 7, berarti dharurat militer. Itu istilah yang standarisasinya dipelajari dan ditentukan oleh aparat. Intinya, sudah lumayan gawat.
Di tengah banyak demonstran yang terluka dan kantor yang rusak, Anies, Gubernur DKI Jakarta, hadir. Meninjau kantor GPII-PII yang rusak. Anies juga datang ke sejumlah rumah sakit dimana banyak pelajar dan mahasiswa yang terluka. Selain datang ke rumah warga yang ibu dan bayinya terkena gas air mata.
Mereka adalah warga DKI. Kejadiannya di wilayah DKI. Dan Anies adalah geburnur dan pemimpin bagi warga DKI. Sudah seharusnya Anies ambil peduli dan menunjukkan empati. Anies ingin memastikan untuk saat ini, mereka baik-baik saja Begitu mestinya seorang pemimpin bertindak dan punya sikap.
Silent, nyaris tak ada beritanya, tanpa kegaduhan kata-kata, dan sepi dari sorot kamera, Anies terus bekerja. Menjalankan tugasnya sebagai pemimpin ibu kota. Sampai disini, Anies “on the track” dengan ungkapannya: “Saya akan jawab semua kritik itu dengan kerja dan karya, bukan dengan kata-kata”. Dalam banyak hal, Anies nampak berusaha membuktikan apa yang pernah diungkapannya itu.
Seorang pemimpin tidak boleh lari saat warganya berada dalam masalah. Apalagi mereka terluka. Mereka anak-anak muda, pelajar maupun mahasiswa. “Anak muda itu yang punya masa depan. Mereka berhak ikut bicara karena mereka yang akan rasakan konsekuensi keputusan-keputusan besar di hari ini”, kata Anies.
Entah apa yang dirasakan Anies saat melihat kantor anak-anak GPII-PII yang porak-poranda dan 17 aktifis-pelajar ditangkap aparat di kantor mereka. Sebagian harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Kesedihan dan keprihatinan itu jelas tersirat dalam ungkapan Anies: “Kita ini harus senang kalau ada anak-anak usia sekolah sudah ikut bicara soal-soal negara”. Kalimat yang santun, tapi jelas keberpihakannya.
“Jika anak-anak bertindak salah, ya diberikan tambahan pendidikan, bukan malah dihentikan pendidikannya”, tegas Anies. Sang gubernur jelas tak rela jika anak-anak Jakarta kehilangan pendidikannya.
Nampak sekali bahwa jiwa pendidik dan leadership telah menyatu dalam diri cucu pahlawan Abdurrahman Baswedan ini.
Seorang pemimpin tidak hanya harus tahu bagimana menyapa rakyatnya, tapi juga harus bisa merasakan apa yang dialami mereka. Begitulah seorang pemimpin sejati yang selama ini dinanti dan dirindukan oleh sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia.
Jakarta, 16 Oktober 2020
Komentar