by Geisz Chalifah
SEJAK bulan April 2016, terakhir kalinya menjadi pembicara di iNews TV. Saya menyatakan pada diri sendiri untuk tak mau lagi tampil di layar kaca terutama dalam forum-forum perdebatan politik
Sejak saat itu dan sampai bertahun-tahun kemudian, (lebih dari 4 tahun), saya selalu menghindar dan menolak setiap permintaan dari media TV untuk bicara.
Bukan saja tak mau tampil tapi juga sangat amat jarang mengikuti perdebatan spt itu walaupun sekadar menonton.
Menjadi wajah publik, (dikenali oleh publik secara luas) adalah ketidaknyamanan. Segala hal yang bersifat privacy menjadi terbatas dan menjadi sorotan, belum lagi bila terjadi kesalahan perilaku yang disengaja maupun yang tidak disengaja, bila terekam kamera akan segera menjadi terkaman makhluk-makhluk buas penebar fitnah.
Secara bisnis yang saya geluti, saya juga tak memerlukannya, karena semua bisnis yang saya lakukan adalah bisnis barang jadi seperti properti, penerbitan buku, dll. Yang sama sekali tak memerlukan popularitas pribadi.
Namun entah bagaimana cara Aiman Wicaksono (Kompas TV) merayu saya utk bicara tentang banjir Jakarta, yang menurut teman-teman juga bahwa bully-an pada Anies sudah melewati batas kewajaran dan harus dilawan.
Saya meyakini bahwa manusia-manusia yang membuat video pribadi dengan wajahnya disorot kamera lalu membuat narasi berisi kedengkian terhadap Anies Baswedan, mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kecendrungan sakit jiwa.
Ingin narsis berlebihan, ingin terkenal dan agar ditonton oleh banyak orang, maka muatannya diberi narasi kontroversial yang seolah-olah berdasarkan data namun datanya hasil imaginasinya sendiri. Beserta kalimat berisi kedengkian menyertai, sesuai dengan kehitaman hati yang dipenuhi kebencian.
Akan tetapi cerita alam berkehendak lain. Anak-anak sayapun “protes” dengan cara yang sopan. Mereka sangat berkeberatan saya tampil di media TV terutama bila melayani orang-orang yang hanya bersuara besar namun tak ada isinya.
Menurut anak-anak saya itu: Orang-orang seperti itu hanya sedang mempermalukan dirinya sendiri.
Setelah di acaranya Aiman lalu datang lagi lainnya, lalu kemudian telepon dari ILC meminta untuk hadir di acara itu.
Saya mengatakan pada Mba Titie (TV One) untuk menghubungi yang lain saja. Saya tak menyangsikan sedikitpun untuk saya sanggup berada di forum seperti itu. Namun secara pribadi saya mengkhawatirkan implikasinya.
Satu jam kemudian masuk WA dari seorang teman, mengatakan agar saya bersedia hadir di acara tsb.
Maka selesai sudah. Pintu menuju dunia sempit (kehilangan privacy) terbuka lebar.
Selasa 22 September 2020, saya ke gunung, di seputar daerah Leuwiliang meninjau lokasi tanah. Di atas perbukitan yang sunyi sebuah kedai kopi berdiri.
Saya mengopi dikedai
itu, lalu seorang pria bertanya dengan santun: Bapak Geis Chalifah?
Saya menjawab: Iya benar.
Lalu mengalirlah cerita dari Pak Agus, tentang yang dilihatnya di TV, tentang kegelisahannya melihat situasi saat ini.
Diakhiri dengan pesan yang sangat amat dalam: “Teruslah bersuara pak, jagalah pak Anies. Dia pemimpin baik.”
Untuk kesekian kalinya pesan semacam itu saya terima, bahkan seringkali pula saya dapatkan ketika saya berada di luar Jakarta.
Komentar