Partisipasi Politik Perempuan pada Pilkada 2020 di Masa Covid-19

Oleh: Wirdanengsih
​(Dosen FIS Universitas Negeri Padang)

PARTISIPASI politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang ikut dalam proses mempengaruhi pengambilan keputusan dalam bernegara baik secara langsung mau pun tak langsung, baik dalam arena pemilihan pemimpin maupun arena proses pengambilan keputusan itu dalam lembaga formal maupun non formal.

Semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi politik, termasuk perempuan. Bisa dikatakan apabila demokrasi mengabaikan partisipasi perempuan, tidak menanggapi suara perempuan dan membatasi perkembangan hak hak perempuan, ini memiliki suatu kesan bahwa demokrasi itu hanya untuk separuh warganya saja.

Partisipasi politik perempuan pada proses penyelenggaraan pilkada dapat sebagai pihak penyelenggara pemilu (KPU) , pemantau pemilu (Panwaslu), pemilih, dan peserta atau calon dalam pemilihan kepala daerah ini.

Dalam tulisan ini kita mengupas partisipasi politik sebagai pemilih dan calon kepala daerah pada pilkada serentak masa pendemic Covid-19.

​Hak politik perempuan sekalipun masa pendemc Covid-19 perlu perhatian khusus, artinya akses perempuan pada pemilihan di masa pendemic Covid-19 harus menjadi perhatian penting bagi penyelenggaraan pemilihan, akses terhadap informasi protokol kesehatan di TPS misalnya.

Ancaman dan Tantangan Partisipasi Politik Perempuan

Ada beberapa hal yang menjadi ancaman terhadap partisipasi politik perempuan sebagai pemilih. Di antaranya pemilih perempuan memiliki kecenderungan untuk mengambil sikap untuk tidak memilih dalam rangka menghindari Covid-19 dengan cara social distancing. Ada situasi pemilih perempuan tidak terdata karena adanya perubahan metode pendataan dari rumah ke rumah dengan pendataan berbasis TPS melalui rukun tetangga.

BACA JUGA :  Din-Rachmat dan Sinergi Muhammadiyah-NU di KAMI

Situasi intimidasi pemilih perempuan berupa politik uang/sembako/bansos mungkin saja terjadi. Ada kecenderungan kurang mengenal calon akibat keterbatasan berkampanye dalam bentuk pertemuan-pertemuan. Pemilih perempuan juga memiliki keterbatasan dalam memiliki smart phone.

Pada pendemic ini ada kecenderungan pemilih perempuan memiliki akses terbatas dalam menyampaikan aspirasi kepada calon kepala daerah, dan yang jelas juga pemilih perempuan kurang informasi tentang calon.
​​
Di lain pihak, pada Pilkada 2020, untuk partisipasi perempuan sebagai calon kepala daerah di masa pendemic memiliki tantangan tersendiri. Di antaranya, adanya kampanya di masa pendemic ini yang menwajibkan social distancing akan membatasi ruang gerak calon kepala daerah tersebut. Kampanye-kampanye juga kurang efektif disebabkan minimnya ksempatan untuk bertemu langsung dengan kelompok masyarakat yang menjadi target pemilih di beberapa kelompok dan organisasi.

​Kampanye juga memiliki biaya yang tinggi dimana kegiatan-kegiatan yang bersifat mengumpulkan orang di batasi jumlahnya. Namun menggunakan kegiatan kampanye daring sehingga memerlukan biaya teknologi, biayakomunikasi dan sebagainya.

Adanya jumlah pemilih per TPS akan mengalami pengurangan, yang berarti jumlah TPS bertambah dan berkonsekwensi kepada beban pembiayaan saksi calon. Ini cost politik semakin naik. Kemudian issue bias gender dimasa bencana pendemic Covid-19 ini juga menjadi tantangan tersendiri pada calon kepala daerah perempuan 23 orang.

BACA JUGA :  Soal Narkoba, Burhanuddin: Awasi dengan Perbanyak Tester di Publik

​Realitanya, memang partisipasi politik perempuan sebagai calon kepala masih rendah. Dari semua gubernur di Indonesia hanya 1 perempuan yang menjadi gubernur, yaitu Jawa Timur. Sedangkan bupati walikota ada 23 orang.

Memanng bicara perempuan sebagai kepala daerah tak lepas dari kontruksi sosial budaya masyarakat, ada stereotipe atau labelling yang berkembang di tengah masyarakat tentang keberadaan perempuan di berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia politik, di antaranya perempuan tidak layak menjadi pemimpin karena tinggi perasaannya dan kurang rasional, padahal kesempatan untuk memimpin ada dan diperbolehkan.

Pandangan masyarakat bahwa politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang memerlukan logika yang tinggi, penuh dengan perdebatan yang sengit, tidak baperan alias tidak main perasaan dan sebagainya.

Hal semacam itu diasumsikan sesuatu yang bisa dilakukan oleh pihak laki-laki bukan milik perempuan, sehingga perempuan tidak patut berpolitik karena perempuan dianggap kurang rasional, lebih domestik dan kurang berani mengambil resiko kehidupan dan keputusan.

Ini menjadi mainstream berpikir sebagian masyarakat yang akan menjadi faktor pendorong kenapa hari ini perempuan berpolitik tidak menjadi suatu yang penting dan prioritas dalam kehidupannya. Kalaupun ada perempuan yang terjun ke dunia politik, itupun lebih berangkat karena dia bertindak untuk menjunjung keluarganya bukan karena pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perempuan mampu dan berhak terjun ke dunia politik.

BACA JUGA :  Fahira Idris: Penunjukan 272 Plt Kepala Daerah Persoalan Krusial

​Sesungguhnya apa kesimpulan partisipasi perempuan dalam proses pilkada serentak 2020 ini? Yang jelas sebagai pemilih memiliki keterbatasan akses informasi terkait dengan proses pilkada karena lebih banyak di rumah dengan aktivitas kesibukan pekerjaan rumah.

Ada sebuah kelelahan sehingga memicu ketidak pedulian pada proses pilkada yang akan terjadi, proses pilkada kurang menjadi perhatian, lebih fokus kepada masalah keluarga karena masa pendemic ini tidak hanya persoalan pekerjaan rumah tapi masalah perekonomian keluarga juga bermasalah.

Dalam partisipasi perempuan sebagai calon kepala daerah, realita kondisi perekonomian yang turun di saat pandemic, para calon kepala daerah memiliki keterbatasan modal. Selain itu penguatan kapasitas kepala calon kepala juga kurang dipersiapkan oleh partai dan elemen karena keterbatas ruang gerak pada masa pendemic ini. Selain itu juga memiliki keterbatasan akan akses informasi, waktu dan tempat. Dukungan ormas, partai terhadap calon kepala daerah juga kecenderungan rendah dengan alasan masa pendemic covid 19.

Realita di atas akan memiliki dampak, dimana perempuan pemilih akan kehilangan suaranya, karena tidak datang ke TPS. Ini bisa digunakan oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan dalam proses pilkada,. Di sisi perempuan sebagai calon kepala daerah mungkin mengalami kekurangan bahkan kosong. Ini memiliki arti terjadi pelemahan pemenuhan hak-hak perempuan dan tingkat partisipasi politik perempuan akan rendah pada pilkada serentak masa pendemi Covid-19.

Komentar