by Bang Sèm
SENJA teramat pendek dalam waktu, namun teramat panjang untuk memahami hakekat terang dan gelap, sebagaimana halnya subuh memberi dimensi yang begitu luas untuk memahami hakekat gelap dan terang.
Pada suatu senja, dua pekan lalu, dua orang sahabat, mantan ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Manado dan cabang Bandung, mengajukan pertanyaan sederhana, “Apa yang membuat kita bangga menjadi kader HMI?” Pertanyaan sejenis pernah ditanyakan anak bungsu saya.
Saya tak perlu berpikir lama untuk menjawab pertanyaan itu. “Bahagia !” Terutama, kebahagiaan batin yang luar biasa. Di balik kata yang menjadi ‘soul’ sebagai kader HMI, itu ada tiga hal yang amat berdaya di balik kata itu. “Yakin usaha sampai,” spirit yang menggerakkan nalar, naluri, rasa dan dria; “Turut Al Qur’an Hadits,” sebagai komitmen, “Jalan Keselamatan” sebagai penegasan pada pilihan cara (way) dan bukan sebagai intuitive reason, tiga anasir raison de être manusia berkualitas Insan Cita, pondasi menjadi kader bangsa dengan gairah ke-Indonesia-an, ghirah ke- Islam-an, dan exigences – ke-Ilmu-an.
Insan Cita sebagai basis nilai pernyataan tujuan HMI, bagi saya, merupakan esensi kualitas manusia sebagai kader tempaan. Tak ada organisasi lain, termasuk partai politik atau bisnis yang pernyataan tujuannya sekuat ini: insan akademis (intellectuality), insan pencipta (creativity – innovation mindset), insan pengabdi (humain dévoué) – ‘âbid, bernafaskan islam (spiritual power), betanggungjawab (responsabilité – esprit et âme d’obligation), atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT (civilization responsibilities).
Insan Cita dalam satu tarikan nafas sebagai objective perkaderan yang harus dicapai dengan prinsip: yakin usaha sampai, turut Al Qur’an hadits, jalan keselamatan, muaranya adalah bahagia (di dunia, di akhirat, dan bebas malapetaka), prinsip dasar perjuangan dalam panduan moral: ilmu amaliah, amal ilmiah.
Karenanya, proses perkaderan HMI tidak berujung pada pembentukan kualitas sumberdaya manusia (human resources) yang pasif berbasis skill dan kompetensi belaka. Jauh dari itu, yang proses pematangan kualitas modal manusia (human capital dan human invesment) bagi masyarakat, negara, dan bangsa, yang dalam konteks ke-Islam-an memenuhi parameter: ya’lû wa lâ yu’lá alaih ! Kualifikasi manusia afkâr – raîs al-rajuli – manusia kepala, bukan hamba perut – ‘abd al-buthûn.
Proses pendidikan di lembaga pendidikan tinggi yang dicapai lebih banyak merupakan proses bagaimana ‘menjadi sarjana – akademisi berketerampilan khas,’ tapi di proses pendidikan kader atau kaderisasi di HMI lebih banyak sebagai proses bagaimana ‘menjadi cendekiawan’ – ulûl al-bâb, manusia pilihan di seluruh lapangan kehidupan.
Ini yang membuat saya bangga sebagai kader HMI sampai awal dekade 80-an dan sebagai ‘alumni’ HMI sampai dekade 90-an. Dekade berikutnya, saya tak bangga lagi, saya mengalami ‘kehilangan rasa bangga,’ – lose fierté. Terutama, ketika terjadi reduksi atas berbagai nilai ke-HMI-an — kecuali egaliterianitas, kosmopolitanitas, dan demokrasi — saat ‘yakin usaha sampai’ menjadi jargon dan menanggalkan prinsip asasi: turut Al Qur’an Hadits, Jalan Keselamatan.
Korps Bukan Kerumunan
KETIKA nilai asasi tereduksi menjadi sekadar jargon dan sesanti (tagline) yang kemudian berkembang adalah ambivalensia, kecenderungan untuk selalu mengagung-agungkan kebesaran dan kehebatan masa lampau, ketik terpuruk danb tersuruk di hari ini.
Saya salut menyaksikan sedikit alumni HMI yang masih sangat konsisten dan tak lelah memainkan peran utama sebagai cendekiawan – intelektual yang tak terjebak intelektualisme, sebagai akademisi yang tak sekadar menyandang atribut – jabatan sebagai guru besar; sebagai negarawan di tengah arus besar politisi menjadi petinggi dengan syahwat kekuasaan memburu jabatan yang menjebak dirinya dalam jebakan fantasi – berkelindan dengan pragmatisme politik dan politik transaksional yang menyeret kekuasaan negeri ini ke dalam kerangkeng oligarki.
Saya salut menyaksikan sedikit alumni HMI yang masih konsisten memainkan peran utama sebagai bagian dari sedikit ulama berdaya ombak di begitu banyak pemuka agama yang menjadi buih di samudera; sebagai entrepreneur – wirausahawan pilar perekonomian bangsa; sebagai sedikit profesional kompeten di tengah gelombang besar clerk – white collar communities di lapangan bisnis;
Saya salut menyaksikan sedikit alumni HMI yang masih konsisten dan konsekuen sebagai pemimpin dan menggunakan otoritas kepemimpinannya untuk memperjuangkan keadilan mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat atau umat di tengah lautan petinggi negeri.
Saya menghormati berbagai inisiatif yang mengemuka dari sedikit alumni yang masih memikirkan Korps Alumni HMI (KAHMI) yang di usianya ke 54 tahun, mestinya sangat dewasa untuk memelihara eksistensinya secara sosiologis sebagai suar kecendekiaan.
Saya memahami kegelisahan, keprihatinan dan kegusaran mereka, melihat konstelasi KAHMI di tengah dinamika kehidupan masyarakat, negara dan bangsa, yang cenderung menjadi sekadar wadah silaturrahmi menyalurkan ambivalensia sambil kangen-kangenan.
Boleh jadi saya keliru, ketika selalu menghidupkan ekspektasi atas eksistensi KAHMI sebagai korps bukan sebagai kerumunan, sebagaimana saya menghidupkan ekspektasi pada FORHATI (Forum Alumni HMI-wati) yang justru lebih eksis sebagai korps katimbang forum.
Dalam konsepsi islam, korps laksana tubuh manusia yang tidak sekadar mempunyai nalar, naluri, dan dria, tetapi juga punya rasa (sense). Sesosok tubuh dalam suatu komunitas atau lingkungan sosiologis, bersentuhan rasa dengan tubuh lain. Dalam hal ini umat ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an. Karenanya mesti punya kepekaan. Tak cukup sekadar merumuskan fantasi ke dalam jargon, misal, ‘solusi untuk bangsa.’ Namun, sungguh seluruh dinamika aktivitasnya merupakan solusi untuk bangsa.
Apalagi kini, ketika bangsa ini sedang dilumat oleh ketidak-pastian hidup, akibat kemampuan menemukan dan mengelola cara mengatasi masalah, terkubur oleh kegembiraan dan sukacita bermain-main dengan alasan (khasnya intuitive reason).
Transformasi Berbasis Insan Cita
PROSES perkaderan HMI (setidaknya sampai dekade 1980-an), mengalir semangat islami yang secara praktis diikuti para spinozian, bahwa ketika salah satu bagian dari tubuh terluka, maka bagian tubuh lainnya merasakan sakit. Ketika umat terluka, mestinya sebagai korps, KAHMI bereaksi cepat dan merespon dalam gerak praercursor. Tidak mengambil jarak dengan persoalan umat. Bereaksi cepat dan bahkan merespon lebih awal dibanding yang lain.
Sebagai korps (bukan kerumunan), KAHMI yang warganya merupakan para sarjana dan kaum terdidik, yang menjadi ‘ruh’ sekaligus jiwa (spirit) atas tubuh organisasi alumni, semestinya menghadirkan gerak cartesian, sebagai ekspresi integritasi kaum intelektual.
Kaum yang menjadi sumber nyala ghirah, gairah, dan eksigensi secara ontologis (penyatuan substantif) dengan fikiran-fikiran original, yang mengharmonisasi kesadaran, antusiasme, simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta secara epistemologis. Memberi makna secara aksentuatif atas modal identitas yang dimilikinya.
Sebagai korps, KAHMI mempunyai potensi sangat besar dari keragaman profesi, orientasi, dan perspektif alumni HMI dalam memainkan peran utama dalam dinamika bangsa, kini dan ke depan.
Paling tidak, ketika bangsa ini dihadapkan oleh tantangan-tantangan aktual, seperti: Menaklukan pandemi, membalik kemiskinan – terutama dalam melihat pandangan convexius ekonomi atas kekayaan sumberdaya alam dan kekayaan masalah politik yang menimbulkan kemiskinan persisten – secara struktural dan kultural); Melakukan konvergensi cara memaknai dan mengelola demografi (sehingga sungguh menjadi bonus dan bukan bencana); Mengimbangi singularitas – dengan tingkat ketergantungan berlebih terhadap percepatan teknologi informasi; Melayari — sekaligus memanfaatkan — transhumanisme dalam konteks mengimbangi percepatan skill dengan kelambanan kearifan terkait dengan gerak perkembangan artificial intelligent dan nanotechnology; Mengembangkan budaya kreatif dan inovatif berbasis sains dan teknologi; Menghadapi risiko eksistensial manusia dengan pengkajian mendalam proyeksi sosiologis tentang manusia dan bangsa Indonesia; Menaklukan fakta-fakta brutal (proxy war, guerre biologique, mouvement agnostique – gerakan atheisme baru, arah baru politik ekonomi dunia ke Asia Pasifik, virtual religion, termasuk rontoknya kapitalisme global dan sosialisme mondial, deglobalisasi versus glokalisasi origin, transformasi pendidikan dan lainnya); Memelopori gaya hidup lestari; dan Merancang Peradaban Baru.
Saya merespon baik pemikiran sejumlah alumni HMI pada berbagai kesempatan — termasuk di kalangan diaspora Indonesia di luar negeri — boleh jadi, perlu kesepakatan untuk mengembalikan KAHMI ke azimuth-nya sebagai Korps Alumni HMI. Antara lain dengan melakukan reformulasi format dan mediumnya, termasuk melakukan perubahan struktur organisasi yang lebih sesuai dan adaptif dengan perkembangan zaman dan tantangan abad ke 21.
Berangkat dari perspektif Insan Cita, saya sepakat dengan pandangan sejumlah alumni, bahwa KAHMI perlu menentukan sikap melaklukan transformasi (perubahan efektif dan efisien), dengan menajamkan focal concern-nya, paling tidak dalam konteks: ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan organisasi. Tentu dengan mengidentifikasi driving forces-nya. Mulai dengan perubahan minda (mindset changes). Dengan modal insan (yang kelak menjadi modal sosial) yang — mestinya — berkualitas Insan Cita, KAHMI dapat menentukan arah baru perubahan.
Barangkali, pilihan KAHMI sederhana saja, ‘berubah atau punah.’
Komentar