by Bang Sém Haésy
AKU tak cukup tahu lagi, apa nama negeriku. Untuk menyebutnya negeri amnesia, aku tak cukup tega. Juga tak elok.
Mau bersedih, aku sudah lupa cara bersedih, karena terlalu banyak hal dan peristiwa yang membuatku bersedih, bahkan membuatku meneteskan air mata.
Mau terbahak, aku kuatir bahaknya menambah ruwet persoalan. Kadang aku memasang kesan berduka lewat mata, padahal aku tersenyum. Masker (pelitup) yang kupakai, memungkinkan aku menyembunyikan senyum.
Terlalu banyak infodemi yang seliweran, bahkan ke soal pelitup yang berjenis-jenis, dan pelitup yang sangat banyak dipakai khalayak, ternyata tak sesuai standar kesehatan.
Kemarin (Rabu, 16 September 2020) aku tersenyum kecut di balik pelitup, lalu terkekeh ketika mengambil jarak fisik lumayan jauh dengan orang sekelilingku. Aku terkekeh melebihi hari-hari sebelumnya, ketika sejumlah petinggi dengan jabatan strategis menunjukkan ketidak-patutan dan ketidaklayakan sebagai pejabat negara.
Mengekspresikan otak dan jalan pikiran kitsch maker, katimbang problem solver. Aku menyebut mereka petinggi politisi bongsor belum akil balig. Para pencari kambing hitam, ketika tak punya cara mengatasi masalah. Mudah terjengat oleh sensivitas yang tak perlu.
Kemarin aku terkekeh, karena ternyata ada yang lebih parah lagi. Seorang petinggi sepuh yang tak cukup ilmu dan piawai untuk mengurus negara menampakkan bagaimana kapasitas. Mungkin lantaran lama tak terdengar pendapatnya (sebaiknya memang tak berpendapat, supaya kita lupa), dia mengambil inisiatif untuk berkomentar.
Ah,, kuma ayyy..! Dia mengkritisi bagaimana pemerintah yang dia ikut memimpinnya dalam menangani serangan nanomonster Covid-19. Menurut dia, ada ego sektoral dan tumpang tindih kewenangan yang menjadi penghambat penanganan pandemi viruc corona jenis baru.
Hi hi hi.. kuma ayyy…! Dia juga bicara, banyak regulasi dan kewenangan yang saling tumpang tindih, sehingga terjadi perlambatan-perlambatan eksekusi kebijakan.
Hi hi hi.. kuma ayyy…! Kata dia, pandemi Covid-19 mestinya menjadi kesempatan memperbaiki pola pikir dan perilaku birokratis yang menghambat berbagai kebijakan dan pelayanan kepada masyarakat.
Haahhh… isin kule.., ketika dia mengemukakan data kita yang masih lemah dan berkabut.. Data kita ada, tapi masih berkabut, jadi kita harus bisa menghilangkan kekabutan pada data-data ini.
Sungguh aku tak paham, apa yang sedang diwawarnya. Ego sektoral. Tumpang tindih kewenangan. Perlambatan eksekusi. Data berkabut.
Wushhh.. pandanganku buram, kala nafasku menyeruak di sela pelitup, ke arah kacamata, sehingga lensa kacamataku berkabut.
Sambil membuka kacamata dan menggosok lensanya, aku berharap cucuku menelepon, seperti biasa. Aku ingin lekas bertanya pada cucuku, pasal korelasi kata dan kalimat dalam pernyataan petinggi itu.
Aku ingin tahu dari cucuku yang kini kelas lima primary school di salah satu ma’ahad yang telah mendidiknya menjadi bocah yang cerdas, cendekia, dan berakhlak, pasal data berkabut itu.
Aku ingin menyimak pendapatnya, seperti ketika dia menjelaskan hubungan kata-kata dengan angka-angka atau ketika dia menjelaskan kepadaku bagaimana mengurai kata-kata dalam soal matematika dengan menggunakan bahasa angka-angka. Ah.. sayang, cucuku tak menelepon, kemarin. Dia memang hanya punya dua kali kesempatan berkomunikasi dengan keluarga dalam sepekan.
Soal data berkabut yang tak kupahami, kutanggalkan saja dulu. Aku hanya bisa menduga-duga, mungkin petinggi sepuh ini sedang gulana, menyaksikan petinggi bongsor mengubah kata menjadi tuding mencari kambing hitam. Kala angka-angka di bursa saham yang selalu menawarkan harapan dan kecemasan. Lalu drop sekonyong-konyong, maka segera terbersit di benak atau di telinganya, konon angka di panel bursa saham itu menggelincir, akibat kata-kata seorang pemimpin yang menunjukkan ketidak-piawaian para petinggi menangani masalah.
Tiba-tiba aku teringat almarhumah Nyai Nuun, nenekku. Beliau selalu berpesan kepadaku dan para cucunya yang lainnya, “Jangan mengomentari sesuatu yang komentarmu menunjukkan bagaimana buruknya kerjamu.”
Dari Nyai Nuun, sebagaimana halnya ibuku, sering kuperoleh hikmah kehidupan tentang bagaimana mesti bersikap dan bertindak dalam mengemban amanah.
Tugas petinggi bukan mengomentari keadaan pemerintahan yang dia ikut memimpinnya, karena rakyat tidak pernah memilihnya untuk mengomentari keadaan. Rakyat memilih petinggi untuk memimpin aksi menyelesaikan masalah, ketika masalah itu ada dan mungkin menjadi mainan para petinggi bawahannya.
Pernyataan yang musti keluar dari mulut petinggi, apalagi petinggi sepuh, harus bernilai cara (way) mengatasi masalah. Bukan beropini yang menjadi tugasnya para opinion leader dan opinion maker, guna menghasilkan second opinion.
Pernyataan yang musti keluar dari petinggi mesti terang dan gamblang: wajar, jelas, dapat dipertanggungjawabkan, akuntabel, dan mandiri. Lugas bahasanya, sehingga tidak membuat rakyat mesti menafsir atau mentakwil.
Aha… kuma ayyy..! Di masa pandemi nanomonster Covid-19 jangan bermain-main dengan kata-klata berkabut untuk menjelaskan data berkabut, karena bisa membuat informasi berkabut, dan bikin rakyat kala kabut, ketika raungan sirine mobil jenazah kian kerap terdengar mengantar korban ke makam berkabut !
Komentar