Berebut Masuk “KAMI”

Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

GEGARA menulis tentang KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia), sejumlah orang inbox ke akun Facebook dan japri saya. Mereka bertanya: bagaimana caranya mendirikan KAMI di daerah? Tentu itu kewenangan para deklarator untuk menjawabnya.

Kedepan, nampaknya presidium dan deklarator KAMI akan disibukkan dengan gelombang pendaftaran dari rakyat yang ingin bergabung di gerbong KAMI. Satu sisi, ini menunjukkan besarnya respon dan dukungan rakyat. Di sisi lain, ini akan menguji konsistensi KAMI sebagai gerakan moral. Meski gerakan moral tetap punya peluang untuk bermetamorfosis jadi gerakan politik jika kondisi obyektif mendesaknya.

Sebagai pengamat, saya ingin mengawalinya dengan satu pertanyaan: mengapa rakyat nampak antusias menyambut lahirnya KAMI?

Resesi ekonomi, kekuasaan yang cenderung represif dan pengelolaan negara yang dicurigai banyak unsur manipulasi, membuat rakyat dalam waktu cukup lama resah. Mereka kecewa, lalu menemukan KAMI yang dianggap mampu menjadi lokomotif untuk menyuarakan kegelisahan mereka.

Kenapa bukan DPR? Bukankah DPR itu mewakili rakyat? Revisi UU KPK, diketuknya UU Minerba dan UU Corona, serta diajukannya RUU Omnibus Law dan RUU HIP/BPIP telah mengecewakan rakyat dan DPR dianggap tak lagi bisa dijadikan sebagai saluran aspirasi. Tidak hanya kepada DPR, tapi rakyat juga kecewa kepada pemerintah dan lembaga negara yang lain. Di tengah kekecewaan rakyat itu, lahirlah KAMI.

BACA JUGA :  LBP dan Gibran

Antusiasme rakyat untuk menjadi bagian dari KAMI kerena sejumlah alasan. Pertama, KAMI lahir tepat waktu. Di saat rakyat hidup susah akibat resesi dan represi, mereka butuh saluran aspirasi. Sementara ruang aspirasi yang tersedia sangat rumit dan sempit. Dalam keadaan seperti ini, kehadiran KAMI dianggap mewakili mereka.

Kedua, adanya distrust (ketidakpercayaan) rakyat kepada pengelola negara yang dianggap tak mampu memberi harapan bangsa ini keluar dari kompleksitas masalah. Terutama masalah ekonomi, hukum dan politik.

Ketiga, analisis data, bahasa dan logika yang disampaikan oleh KAMI dalam maklumat dan sejumlah narasinya dinilai sebagai sesuatu hal yang faktual dan rasional. Sebab, rakyat merasakan apa yang dimaklumatkan oleh KAMI.

Keempat, KAMI dideklarasikan oleh para tokoh lintas etnis, agama, ormas dan profesi yang oleh rakyat dipercaya memiliki tidak saja kapasitas dan integritas, tapi juga ketulusan dan tujuan yang baik untuk bangsa ini. Kehadiran para tokoh deklarator tersebut seolah menjadi jawaban atas ketidakperdayaan rakyat selama ini ketika berhadapan dengan penguasa.

BACA JUGA :  Anies-Cak Imin di Banyuwangi Disambut Relawan MANIES dengan Lagu dan Yel Yel

Kelima, bahwa reaksi berlebihan dan kontra-positif dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan lahirnya KAMI justru ikut menyebarkan informasi ke – dan mengobarkan semangat perlawanan – rakyat.

Jika mau ditambahkan keenam, ada sebagian rakyat yang menganggap bahwa bangsa ini telah hamil tua. Maksudnya? Ada situasi matang yang berpotensi mendorong terjadinya perubahan. Namanya juga anggapan. Sah-sah saja. Tentu mereka punya alasan dan analisisnya sendiri.

150 tokoh yang mendeklarasikan KAMI pada tanggal 18 Agustus lalu terdiri dari para aktifis lintas zaman. Mereka punya jejaring sosial, politik dan ekonomi yang memadai. Mulai dari tokoh ormas, ulama, TNI, para politisi, pengusaha, pers dan akademisi, semua ada di keanggotaan KAMI.

Artinya, preferensi heterogen ini mewakili kegelisahan dan kekecewaan semua lapisan rakyat terhadap pengelola negara. Terutama pemerintah dan DPR.

Jika KAMI terus konsisten dengan jati diri dan gerakan moralnya, maka dukungan rakyat akan menjadi air bah yang tak lagi bisa dianggap remeh oleh siapapun. Sikap dan respon kontra-produktif dari aliansi penguasa-parlemen justru akan menambah energi rakyat untuk memperkuat konsolidasi.

BACA JUGA :  Munas MUI Menantang Pandemi?

Isu ekonomi (krisis) dan isu kebangkitan komunisme (RUU HIP/BPIP) saat ini berpotensi menyatukan dua kekuatan terbesar bangsa ini, yaitu rakyat dan TNI. Jika ini terjadi, maka sejarah tahun 1966 bisa terulang kembali. Ada situasi yang tak jauh berbeda.

Meski pemerintah cenderung slow respon terhadap isu komunisme yang membuat semakin resah MUI dan seluruh ormas Islam, tapi tak bisa diingkari bahwa pemerintah nampak panik ketika menghadapi resesi ekonomi.

Kepanikan ekonomi tarbaca saat aliansi pemerintah-parlemen mendesak BI cetak uang 600 T. Juga keterlibatan TNI-Polri di program pemulihan ekonomi. Ini layak jadi pertanyaan: ada apa?

Apakah ini sengaja disiapkan sebagai upaya antisipatif jika pemerintah gagal mengatasi krisis ekonomi di saat rakyat di semua lapisan dan daerah terkonsolidasi oleh KAMI? Allahu A’lam.

Jakarta, 21 Agustus 2020

Komentar