Bang Sem
ANIES Rasyid Baswedan Gubernur Jakarta yang goodbener, bukan gubernur yang gabener, yang senang sentak sengor dan berkilah.
Anies Gubernur yang berfikir, bersikap dan bertindak dengan cara, bukan dengan alasan. Bukan juga seorang yang mudah sempoyongan digempur hasad dan hasud.
Sejak dalam kandungan, lahir, tumbuh dan berkembang, dia sudah berada dalam asuhan ibunya, perempuan cendekia yang hidup dengan akal budi.
Sejak tumbuh kembang dia beroleh keteguhan sikap dari ayahnya dan berguru tentang bagaimana berjuang untuk bangsa dan negara ini.
Dia berteman dengan kawan-kawan dari kampung yang berada di tengah sentra budaya dan peradaban Jawa.
Sejak masa kanak-kanak, kala bertualang, petualangannya kreatif. Termasuk mengarungi sungai dengan rakit buatan sendiri.
Bila kebanyakan orang mengikuti latihan kepemimpinan alias leadership training course kala belia atau mahasiswa, Anies ‘mengikuti’-nya sejak anak-anak.
Kakeknya sendiri, AR Baswedan – pejuang, pahlawan nasional yang memandunya berfikir melalui proses pembelanjaaran matntiq dan semantik alamiah dan naluriah.
Dari kakeknya juga dia mendapat ‘pelatihan khas,’ tentang bagaimana menjadi pejabat publik secara fungsional – profesional dan memandang segala sesuatu yang proporsional, demokratis, dan tentu cerdas.
Masa remajanya pun kreatif. Lewat programa siaran Tanah Merdeka TVRI – Yogyakarta, dia belajar menyimak dan bertanya berbagai tokoh nasional, yang kala itu, bahkan tak semua wartawan bisa mewawancarai.
Ketika mahasiswa, dia ditempa dalam lingkungan organisasi kemahasiswaan yang menempatkan perkaderan sebagai programa utama.
Visi organisasi kemahasiswaan yang diikutinya jelas kepemimpinan berbasis kebangsaan: keindonesiaan, keislaman, dan keilmuan.
Organisasi ekstra universitas yang dimasukinya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) masa itu, sungguh bertumpu pada proses menempa diri menjadi insan akademis – cendekiawan, bukan sekadar menjadi sarjana dengan serenceng gelar dan jabatan akademik profesor. Ya cendekiawan, ulul albab, yang dijamin Allah akan beroleh kemuliaan dan marwah. Yang adanya menggenapkan dan tiadanya mengganjilkan.
Tentu sebagai cendekiawan, mesti selalu egaliter dan kosmopolit. Artinya, mesti demokratis.
Cendekiawan yang sungguh cendekia – bukan sekadar anggota organisasi cendekiawan – aalah insan pencipta, Kreator yang terbiasa hidup dengan kreativitas, inovasi untuk beroleh invensi. Memanifestasikan kata ke dalam perilaku nyata.
Seluruh kecendekiaan yang ditupang kreativitas dan inovasi berbasis keindonesiaan – keislaman – keilmuan, itu diperuntukkan sebagai modal personal dan sosial untuk mengabdi, berdedikasi kepada bangsa, negara, agama, dan Tuhannya.
Karenanya, Anies terbiasa aware terhadap berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan rakyat (umat). Kesadaran intelektual (bukan intelektualisma) dalam konteks dedikasi, mesti mewujud melalui pengayaan yang terintegrasi.
Karenanya, dia selalu antusias mewujudkan simpati dan empati, pandai mengapresiasi, tak pernah berhenti memelihara respek terhadap orang lain. Dengan semua ini, dia mencintai rakyat (umat), negara, bangsa, dan agamanya.
Sebagai muslim, organisasi kemahasiswaan itu menempanya untuk selalu hidup ‘bernafaskan islam.’ Maknanya, dalam kapasitas apapun, mesti memberi salam salima: keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dilandasi oleh tegaknya keadilan.
Pedomannya adalah sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan dan siasah.
Dengan pedoman ini kaum cendekia kreatif – sesungguh ulul albab, bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Anies konsisten dan konsekuen mewujudkan kualitas insan cita, itu. Dia tak tergoda dengan ‘kader’ lain yang keder, terjebak di lorong sesat kepentingan sesaat. Termasuk menjadi bagian kaum wadulan alias buzzer berbayar.
Alhasil, Anies bergerak mengikuti jalan menuju seorang rasyid yang mursyid. Karenanya dia tak melayang kala disanjung, tak juga terhuyung kala diterjang.
Seperti allahyarham kakeknya yang dijuluki kadal gurun (kadrun) dan selalu digonggong dengan bully-an dan cercaan oleh Njoto – tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) – yang dijuluki ‘anjing peking.’
Jadi, kalau menyerang Anies dengan cara-cara Njoto, termasuk menebar informasi wadul, hoax, yang terhuyung pasti bukan Anies, melainkan para wadulan (penebar fitnah dan hoax) itu sendiri.
Mau mengkritisi Anies? Silakan. Tapi mesti pakai cara, bukan dengan nafsu ingin menjatuhkan dan menafikan eksistensi dan kemuliaannya.
Menyerang Anies dengan nafsu dan kebencian, bagai membaling durian, jatuh menimpa muka sendiri.
Mengkritisi Anies, ada caranya, supaya seimbang. Pakai cara BASWEDAN, yakni:
BERANI menunjukkan prestasinya, sebelum menyatakan kegagalannya;
AKURAT dalam data dan informasi, bukan data dari trash basket, comberan, dan gorong-gorong;
SISTEMATIS dalam cara dan teknik mengkritik, sehingga jelas format dan formula mantiq – semantiknya;
WASIS dalam mengungkapkan kritik, tentu dengan memadupadan kecerdasan intelektual, spiritual, emosional, dan kultural;
EMPATI pada nasib rakyat atau umat dengan sebenar-benar empati, sehingga kritik yang disampaikan terasakan manfaatnya oleh seluruh kalangan masyarakat, bukan kepentingan kelompok dan golongan yang hanya sejuring saja.
DEDIKASIKAN kritik itu untuk kepentingan dan keperluan kolektif masyarakat, paling tidak setara dengan esensi sesanti “maju kotanya, bahagia warganya.”
AKTUAL dan proporsional, sehingga siapa saja yang membaca atau menyimak kritik melihat relevansi atau konteks isi kritik dengan realitas perubahan yang dilakoni Anies bersama wakil dan aparatusnya, merespon fenomena dengan paradigma.
NATURAL, alamiah, biasa-biasa saja, tak perlu dengan cara sensasional apalagi gaya sirkus. Naturalitas yang ditupang oleh fairness – kewajaran, transparan – jelas niat dan tujuan kritik itu disampaikan, dengan membuang tendensi, apalagi sekadar untuk memperoleh bilangan angka-angka giral, accountable – sehingga setiap data yang dipergunakan untuk mengeritik sungguh sahih, responsible – bertanggungjawab, bukan sekadar membaling apalagi menyalak, dan lakukanlah secara merdeka, bebas dari kepentingan siapapun.
Jangan pakai cara Machiavelli kalau belum sungguh menjadi machiavellian, yang sekadar tahu ‘menghalalkan segala cara.’ Sebaik-baiknya kritik adalah menggunakan segala cara yang halal.
Singkat kata, kritiklah Anies kapan saja, setelah ilmu di ‘bagasi’ pengeritik, minimal sama dengan ilmu di ‘bagasi’ Anies. Termasuk ilmu akal sehat dan akal budi.. |
Komentar