TILIK.id, Jakarta — Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes tengah menggalakkan program-program literasi. Tujuannya untuk meningkatkan pemahaman dan kedewasaan masyarakat dalam memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Manurut Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Mabes Polri, Brigjen Pol Slamet Uliandi, program-program literasi itu dirasa perlu untuk mencegah terjadinya tindak pidana siber.
Brigjen Pol Slamet Uliandi mengemukakan itu ketika menerima Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa di ruang kerjanya di lantai 15 Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (12/8/2020).
Slamet Uliandi didampingi Wadirtipidsiber Kombes Golkar Pangarso. Sementara Ketum JMSI Teguh Santosa didampingi Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga Jayanto Arus Adi dan Ketua Bidang Kesekretariatan Ari Rahman.
Juga hadir tiga anggota Bidang Hukum dan Advokasi JMSI, yakni Hardi Firman, Eko Sembiring, dan Lana Silalahi.
Slamet Uliandi mengatakan, pihaknya membutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar program literasi yang dikembangkan dapat mengenai sasaran dan efektif.
Dimana salah satu pihak yang dinilai perlu untuk dilibatkan adalah JMSI sebagai organisasi perusahaan media massa berbasis internet.
“Untuk hal-hal tersebut mungkin saya perlu diskusi. Narasi-narasi kita punya. Namun perlu adanya penambahan dari rekan-rekan (JMSI),” ujarnya.
Oleh karena itu, Slamet mengajak JMSI untuk turut serta dalam menyusun rencana tindak lanjut (RTL) program literasi tersebut.
Ia menjelasakan, saat ini tercatat sekitar 175 juta anggota masyarakat Indonesia yang terbilang aktif berselancar di dunia maya, dengan menggunakan berbagai device.
“Januari 2020 rata-rata waktu yang dihabiskan setiap orang di jaringan internet selama empat jam per hari. Ini meningkat dari tiga jam per hari pada tahun sebelumnya,” ujar dia.
Bahkan waktu berselancar di dunia maya bakal meningkat di era pandemi. Karenanya dikhawatirkan masih sangat banyak orang tidak perduli apakah informasi atau berita yang diterima adalah fake (bohong) atau tidak.
“Belum lagi, saat ini media mainstream cenderung terpancing menggunakan isu yang berkembang di media sosial. Makanya, saya perlu diskusi dengan JMSI bagimana kami seharusnya bertindak,” katanya.
Ketum JMSI, Teguh Santosa, mengatakan masyarakat pers di tanah air terganggu oleh fenomena media sosial. Awalnya, media sosial dipandang sebagai sumber informasi alternatif yang penting bagi publik. Namun, dalam kenyataannya justru menjadi instrumen yang digunakan berbagai pihak untuk menyebarkan kabar bohong atau hoax dan ujaran kebencian.
Media massa berbasis internet (media siber) juga merasa terganggu karena media siber dan media sosial menggunakan platform yang sama. Hal tersebut membuat publik tidak dapat membedakan karya jurnalistik yang diproduksi oleh media siber yang tunduk pada kaidah-kaidah jurnalistik.
Di era pandemi Covid-19, ada fenomena dimana kepercayaan publik pada media sosial turun secara signifikan, sementara kepercayaan publik kepada media siber pun mengalami peningkatan yang juga signifikan.
Teguh menduga, kelihatannya masyarakat secara umum telah menyadari bahwa media sosial lebih sering menampilkan isu-isu yang kontra produktif.
“Jejak-jejak kelam media sosial dapat dilihat dalam Pilkada 2017, Pilkada 2018, dan Pemilu 2019 yang lalu. Residunya masih ada,” katanya.
Namun demikian, literasi pada perusahaan media siber anggota JMSI harus terus dilakukan agar tidak terpeleset melakukan hal-hal yang seharusnya dihindarkan di dunia siber.
Teguh berharap, nota kesepahaman (MoU) antara Mabes Polri dan Dewan Pers mengenai penanganan kasus pers dapat terus dijadikan rujukan oleh kedua lembaga.
Pada akhir pertemuan, kedua pihak sepakat untuk melanjutkan kerjasama literasi yang melibatkan Polda dan pengurus JMSI di daerah. Hal ini akan dibahas dalam kesempatan berikutnya. (lma)
Komentar