Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
SETIAP warga negara punya hak suara dan cari suara. Hak suara artinya memilih. Hak cari suara artinya jadi calon. Bisa calon walikota, bupati, gubernur, DPR, DPD atau presiden.
Sampai di sini gak ada yang salah jika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi jadi calon walikota Solo. Itu hak setiap warga negara. Jangan gara-gara jadi anak presiden, lalu haknya hilang dan gak boleh nyalon. Itu namanya memasung hak seseorang. Gak boleh.
Itu politik dinasti? Nanti dulu. Jangan buru-buru membuat stigma. Dibilang politik dinasti kalau Jokowi intervensi dengan menggunakan kekuasaannya. Misal, Jokowi panggil partai koalisi atau sejumlah pihak yang terkait dengan pilkada Solo ke istana untuk dukung putranya. Ini gak boleh. Sebab, istana itu milik rakyat. Gak boleh dipakai untuk kepentingan keluarga.
Jika Jokowi menggunakan aparat dan kekayaan negara untuk membantu pemenangan sang putra, itu baru politik dinasti. Kalau anda curiga, anda harus membuktikan.
Kewajiban rakyat untuk mengawasi. Jangan ada Aparatur Negara yang ikut membantu untuk memenangkan Gibran. Demokrasi mengharamkannya. Gak boleh. Harus disemprit. Rakyat wajib mencegahnya. Dengan cara apa? Protes! Gak digubris? Setidaknya punya pengaruh terhadap pilihan rakyat.
Tapi, sebagai anak presiden mencalonkan diri jadi walikota, apakah itu etis? Apalagi menggusur kader partai yang sudah senior dan berpengalaman? Lagi-lagi, soal etis tidaknya, bukan karena dia anak presiden. Salah kaprah. Kecuali sudut pandangannya diarahkan pada aspek pengalaman dan kematangan. Nah, dari sudut pandang ini, anda bisa menganalisis sisi etika itu.
Kalau anda menganggap Gibran belum layak, simple saja kok, jangan dipilih. Pak Jokowi sudah bilang, urusan Gibran itu urusan rakyat. Sebagai rakyat, anda yang berhak menentukan suara. Tidak memilih juga gak apa-apa.
Gak sreg, pilih saja calon yang lain. Gampang! Emang ada calon lain? Ya, setidaknya ada kotak kosong jika Gibran gak ada lawan. Dalam demokrasi, setiap pemilih bebas menentukan pilihannya.
Kalau warga Solo menganggap Gibran belum layak, ya jangan pilih. Simple bukan? Kalau anda pilih calon yang gak layak, berarti anda menjerumuskannya. Kasihan!
$oal Gibran, anda jangan bandingkan dengan Puan Maharani. Ya beda. Beda pengalaman dan beda kematangannya. Puan sudah puluhan tahun aktif dan belajar jadi kader partai. Menempa diri dengan berbagai pengalaman. Lalu jadi menteri, dan sekarang jadi ketua DPR. Gak diragukan soal kematangannya.
Beda juga dengan AHY. Meski belum nampak prestasinya, setidaknya ia pernah jadi perwira di TNI. Pernah bertugas di sejumlah negara. Sedikit banyak mengerti tentang kelola negara. Begitu juga dengan Yenny Wahid, putri Gusdur. Puluhan tahun aktif di LSM dan pernah jadi pengurus PKB.
Kesimpulannya, pertama, Gibran punya hak politik. Dan ini dilindungi konstitusi. Kalau anda punya bukti ada politik dinasti, gugat. Itu kewajiban anda menyelamatkan negara. Jangan sampai negara melakukan intervensi dalam pemilu di Solo. Itu saja.
Kedua, dianggap layak atau tidak, matang atau karbitan, anda warga Solo punya hak suara. Berikan suara dengan obyektif. Itu bagian dari komitmen berbangsa yang baik. Jika anda menaruh suara ke calon yang tidak tepat, tidak layak dan tidak berkemampuan, itu penghianatan kepada bangsa dan negara.
Pilihan ada di tangan anda. Di tangan anda pula, nasib masa depan kota Solo akan ditentukan. Jangan salah memilih. Jatuhkan pilihan dengan rasionalitas dan akal sehat. Berikan suara kepada calon yang anda anggap punya kapasitas untuk memimpin Solo. Setelah itu, anda baru berhak teriak “Aku Pancasila”. Jangan teriak “Aku Pancasila” kalau pilih kepala daerah asal-asalan.
Jakarta, 19 Juli 2020
Komentar